x

Iklan

L Murbandono Hs

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Puasa dan Gereja

Puasa adalah berkata ya untuk ya, berkata tidak untuk tidak. Puasa itu anti korupsi dan siap mengaku "dosa". Puasa itu murah hati, ramah, bijak, damai.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

(Ilustrasi: cantik.com)

Sewaktu umat Islam di seluruh dunia menjalankan ibadah puasa, kiranya perasaan rohani sosial akan kian damai jika kaum beragama lainnya di bumi sama juga merenungkan hakikat puasa yang universal itu dalam  perspektif  masing-masing. Sebab, tiap agama apa pun  umumnya mempunyai puasa pula.

Dalam kerangka peradaban Kristiani atau Gereja, hal-ihwal puasa bisa direnungkan lewat  banyak ayat dalam Kitab Suci Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian Baru (PB).  Dalam Matius 6:16-18, umat Nasrani diandaikan otomatis berpuasa.  Yesus berkata, "ketika engkau berpuasa", bukan "jika engkau berpuasa".  Puasa dan dunia kristen adalah dua kata yang tak bisa dipisahkan. Ibarat api dengan nyala.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sejumlah ayat Kitab Suci juga memberi info tentang apa yang sebaiknya dilakukan saat berpuasa. Misalnya, saat berpuasa sebaiknya berdoa (Daniel 9:3 dan Yeremia 14:12), merendahkan hati (Ulangan 9:18 dan Nehemia 9:1), dan membaca firman Tuhan dalam Kitab Suci (Yeremia 36:6).

Kapan puasa sebaiknya dilakukan? Pada waktu yang khusus atau kapan saja? Dalam tradisi Gereja yang memuat pluriformitas, terdapat berbagai aturan ritual dan formal, semisal dilakukan di masa-masa menjelang Paskah dalam tradisi Katolik dan berbagai ritus Timur.

Namun secara umum, Kitab Suci baik PL maupun PB juga menyediakan berbagai petunjuk mengenai kapan dan dalam hal bagaimana puasa tersebut dilakukan. Dilakukan individual atau bersama-sama, berikut ini sebagian daftar tentang kapan berpuasa tersebut. Di antaranya, orang disarankan berpuasa saat terancam bahaya (Ester 4:16, Daniel 6:18, dan Kis 27:33-34), saat terancam bencana nasional (Hakim 20:26, 2 Taw 20:3 dan Yoel 1:14; 2:12-15), manakala terancam penghakiman (Yeremia 36:9 dan Yunus 3:5-10), sebelum mengadakan perjalanan (Esra 8: 21-23), pada saat pengakuan dosa di muka umum (Nehemia 9:1-2 dan 1 Samuel 7:6).

Dalam pertobatan pribadi (1 Raja 21:27-29 dan Esra 10:6), saat doa umat (Daniel 9:3), ketika menanggapi pernyataan dari Allah (Daniel 10:1-3 dan Kisah 9:9), saat tahbisan imam atau mengirim utusan (Kisah 13:3 dan 14:23), pada saat mendengar berita buruk (Nehemia 1:4, 2 dan Samuel 1:12), saat keluarga, sahabat, atau umat sedang sakit (2 Samuel 12:16 dan Mazmur 35:13), saat ada orang meninggal (1 Samuel 31:13 dan 2 Samuel 3:35).

Mengapa umat beragama berpuasa? Sebagai bagian dari hakikatnya, mungkin bisa sedikit ditelusuri dalam puasa yang paling umum, khususnya perihal tidak makan dan tidak minum untuk jangka waktu tertentu. Maksud utama atau pesan rohaniahnya adalah menahan diri. Dengan puasa, batin mengatakan kepada raga dan hasrat, bahwa roh menguasai kehidupan. Bahwa manusia tidak cukup hanya hidup dengan makanan jasmaniah. Maka, puasa membawa manfaat rohaniah yang perkasa (Matius 17:21).

 

Berpuasa sebagai Pedoman Hidup

Bahwa puasa merupakan tradisi yang mulia, bisa disimak dalam tokoh-tokoh besar Gereja. Misalnya, dalam situasi khusus, Musa, Elia, dan Yesus berpuasa penuh selama 40 hari (Keluaran 24:18, 1 Raja 19:8, Matius 4:1-2). Menahan diri terhadap kenikmatan bisa disimak dari Daniel yang berpuasa selama tiga minggu (Daniel 10:2-3). Dengan menahan diri, mereka yang berpuasa akan makin dekat kepada Yang Mahatinggi (1 Kor.7:5). Bahkan lebih jauh, sebagaimana halnya Daud, murid-murid Yohanes, Hana, Paulus, Kornelius dan beberapa orang lain berpuasa sebagai gaya hidup. (Mazmur 109:24, 69:10, Matius 9:14, Lukas 2:37, Kisah 10:30, 13:3, 14:23, 2 Kor.11:27).

Seluruh uraian di atas menunjukkan, puasa selalu menciptakan suasana yang positif, akomodatif, dan berpengharapan. Ketika dalam puasa terjadi cacimaki, keributan, ancam-mengancam, pertengkaran, dan hal-hal negatif sejenisnya, maka puasa tersebut tidak akan berkenan bagi Yang Mahatinggi (Zakaria 7:5-6 dan Yesaya 58:1-5).

Masalahnya, sebagaimana bisa dibaca dalam Yesaya 58:6-12 dan Zakaria 7:8, 8:16-19, puasa yang dikehendaki Yang Mahakuasa adalah puasa yang bukan sekedar menahan diri atas makanan dan minuman, melainkan puasa dengan tujuan pertobatan diri dan hidup demi dan dalam Sang Pencipta, sebagai puncak dan sumber segala jenis pembebasan dan pemerdekaan, bukan untuk satu atau sekian hari, tapi untuk selamanya.

 

Puasa adalah anugerah

Agar mampu mengusir ketidakadilan

Agar berani melawan perbudakan

Agar mampu merangkul kaum tertindas

Agar ikhlas berbagi dengan mereka yang lapar

Agar siap jadi peneduh mereka yang kepanasan

Puasa adalah payung bagi mereka yang kehujanan

Puasa adalah tongkat bagi mereka yang pincang

Puasa adalah kesediaan membalut luka

Puasa adalah berkata ya untuk ya

Puasa adalah berkata tidak untuk tidak

Puasa adalah siap berhenti korupsi

Puasa adalah siap mengaku "dosa"

Puasa itu murah hati dan ramah

Puasa itu lembut dan sejuk

Puasa itu indah bijaksana

 

Ujungnya dan singkatnya puasa adalah cinta kasih, sebab puasa adalah syukur kepada Mahasegala.

 

Gunung Merbabu, Juni 2016

*****

Ikuti tulisan menarik L Murbandono Hs lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

14 jam lalu

Terpopuler