x

Iklan

DAMANG AVERROES AL-KHAWARIZMI

MAHASISWA PPS HUKUM UMI
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dicari Imam Tarawih Bersuara Merdu

Ayat-ayat Tuhan yang bersenandung merdu, percaya atau tidak percaya, pastinya akan menerobos gelapnya hati, memintal cahaya iman

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di tengah arus demoralisasi dan kekeringan jiwa anak bangsa di negeri ini, sepertinya kita butuh sosok imam mesjid bersuara merdu nan syahdu. Ia dibutukan karena akan membangkitkan pudarnya spirit keimanan, dari masa ke masa. Tak perlu dinanya, mengapa anak-anak muda jauh lebih phobia mengidolakan artis beken, menyemarakkan setiap konser dan orkestra, ketimbang meramaikan jamaah tarawih di beberapa mesjid, padahal hati nurani mengakuinya, kalau di sanalah rumah suci kita bersama.

Boleh jadi sebagai sebab-musababnya, adalah rumah suci yang kita miliki, sedikitpun telah luntur pesonanya. Sehingganya, anak-anak muda tidak lagi memiliki ketertarikan terhadap segala risalah ketuhanan yang tercandera dalam ayat-ayat qur’ani.

Bersuara Merdu

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pertanyaannya, benarkah kita dilanda krisis imam mesjid bersuara merdu saat ini? Tercipta sebuah keadaan, pada bulan suci ramadhan hanya menjadi ritual untuk menggugurkan sunnah ibadah tarwih di malam hari, tanpa usaha merebut hikmat dan kesan yang dapat membawa anak-anak kita menjadi dekat, mengenali Tuhan dalam esensinya.

Padahal, kalaulah ayat-ayat suci itu tertuturkan dalam bait syahdu, siapa yang bisa menyangka anak-anak yang berusia belia, termasuk anak punk, anak jalanan geng motor yang hobinya mengganggu orang, mereka semua akan terketuk hatinya, lalu mencari, menelusuri dari mana asalnya senandung ayat yang bisa-bisanya mengguncang batinnya itu.

Ayat-ayat Tuhan yang bersenandung merdu, percaya atau tidak percaya, pastinya akan menerobos gelapnya hati, memintal cahaya iman, mencairkan pikiran yang lagi beku, mendesirkan darah akan kuasanya sang khalik, di atas segala-galanya.

Pada malamnya itu, dunia terasa sempit, walau langit kelam, tetapi dengan gemintangnya pada memancarkan cahaya kerinduan. Segenap ummat manusia seolah menemukan kedirian dalam ontentisitasnya.

Hidup terasa damai karena lantunan yang amat merdu. Jangankan detak nadi yang dapat terhitung, setiap hembusan nafas pun terasa hitungannya, ia pelan tersemburkan, terhentak keluar, lalu tertarik lagi dalam rongga-rongga pernafasan, hingga memenuhi saraf-saraf diri. Kejadian ini berulang-ulang, laksana pemuncak rindu, yang akan menepikan segala sifat ketamakan, juga keculasan.

Bahwa yang demikian itu, tidaklah mungkin tercipta pada situasional “artis” yang bersuara merdu. Sekalipun suara mereka terdendang syahdu, melankolis. Toh kalau memberi pengaruh, paling tidak hanyalah keguncangan batin yang berefek pada semakin resah dan gelisahnya hati. Pintu-pintu kedamaian dalam terangnya jiwa, malah makin terkunci rapat. Keridhoan dan hidayah-Nya makin sulit terjangkau.

Mari menanya diri kita masing-masing saat ini; adakah kedirian yang merasa terpanggil di saat mereka yang berperan sebagai imam mesjid yang menuturkan kata perkata, dari setiap lantunan ayat-ayat Tuhan tersebut, pernah membangkitkan rasa ketulusan agar bertandang menunaikan shalat sunnah tarawih saat itu juga? Ataukah jangan-jangan, lebih banyak jamaah menunaikan shalat, hanya turut meramaikan, sekedar mengikuti kebiasaan karibnya, sehingga menjadi hal biasa ketika waktu ramadhan pupus waktunya, jamaah tarawih makin pupus pula.

Persoalan bagaimana kita menjalani bulan suci ramadhan, agar terhindarkan dari orang-orang yang merugi, menghindarkan situasi seolah hanya ingin menumpuk pahala. Maka, berusahalah sekuat-kuatnya menghadirkan “imam mesjid” yang bisa menjadi pelepas dahaga atas hausnya jiwa yang menimpa banyak ummat manusia dewasa ini.

Succes story Nabiullah Muhammad SAW men-syiarkan agama Islam dalam konteks ini, sekiranya bisa menjadi pelajaran berharga buat kita semua. Ada banyak orang kemudian terpanggil memeluk agama Islam, bukan karena bujuk rayu nabi dan para sahabatnya. Namun seruan demikian terplantasi menjadi “hidayah” hanya dengan suara kemerduan yang dilantunkan oleh para penghapal ayat suci al-qur’an di masa itu.

Rasulullah yang dikawal para sahabat, selalu mendahulukan Bilal sebagai muadzin, tak ada yang bisa menggantikannya. Oleh karena Bilal memang memiliki suara merdu yang dapat membangkitkan semangat dan rasa cintanya Ummat Islam pada keyakinan, damai dan menyejukkan hati pula. Dan lagi-lagi, simaklah kerasnya kepribadian Umar bin Khatab memusuhi rasulullah, pada akhirnya memeluk Islam karena perkara ayat-ayat suci al-qur’an yang melumpuhkan nalarnya, sampai hatinya merasakan Islam sebagai agama yang membawa risalah kebenaran.

Soal dibutuhkannya imam mesjid tarawih bersuara merdu, sekiranya juga bisa dilacak sosio-historisnya, ketika Abu Bakar Asshiddiq didaulat sebagai khalifah pertama sepeninggal rasulullah. Bahwa untuk menguatkan soliditas ummat Islam waktu itu, diakui kalau Abu Bakar dengan suaranya yang terlantun merdu, akan membayar kerinduan orang kebanyakan pada rasulullah, sebagaimana dialah yang menerima wahyu tersebut.

Tarawih Paradoks

Hanyalah dengan imam mesjid bersuara merdu akan menisbatkan pada keadaan tarawih paradoks. Suara yang terdendang merdu, semua jamaah akan lupa pada siapa yang ada di depannya. Suara syahdu itu meruntuhkan dimensi kejahatan, ego personal, tamak, dan bentuk-bentuk kedengkian lainnya. Imam dan jamaahnya sedang melebur dalam satu titik tunggal, keesaan Tuhan yang maha kuasa, tidak ada pangkat dan jabatan diantara mereka, tidak ada lagi kekayaan dan kemiskinan yang menjadi sekat-sekatnya.

Ayat-ayat Tuhan itu yang terlirih, fasih di bibir, mata pada terkatup, tak ada lagi diantara mereka yang mengingat kesenangan duniawi. Dengan sentuhan ayat-ayat qur’ani, segala harta dan pekerjaan menjadi terlupakan.

Inilah tarawih paradoks, mesjid tidak melompong jamaahnya, tak ada lagi ruang-ruang kosong. Semua ruangan pada terisi, ramai, tetapi kemudian menjadi “sepi” berkat kedahsyatan sang imam mesjid dalam menerangkan nilai estetik dan esoteriknya ayat-ayat qur’ani.

Tarawih paradoks tidaklah menimbulkan rasa “keterpaksaan” kepada setiap orang agar meninggalkan pekerjaannya. Sebab ini bukan soal meninggalkan pekerjaan, ini soal seruan, panggilan yang telah menyentuh alam bawah sadar kita semua.

Dahsyatnya ayat-ayat qurani menghentak gendang telinga, menggendor pintu batin setiap orang, maka anak-anak muda yang hobinya memetik gitar di malam hari, akan melemparkan gitar yang digenggamannya. Seorang pencuri yang lagi menyusun siasat membobol rumah saudaranya, maka  niat jahatnya menjadi tertunda. Mereka yang lagi tertidur pulas, pasca buka puasa beberapa saat yang lalu, matanya akan terbelalak, dan tiba-tiba “terdorong keras” menunaikan ibadah tarawih secara berjamaah di mesjid.

Ini hanya soal waktu, penguasa alam-semesta dan segala isinya  akan bertasbih dalam diri hamba-hambanya. Kerinduan itu pada akhirnya bertemu di peraduannya,  tenang dan damai dalam kasih sayang-Nya. Oleh karena ayat qur’ani akan  menetak hati siapa saja, menuju kesunyian yang abadi. Wall?hu a’lamu bi al-shaww?b. (*)

Ikuti tulisan menarik DAMANG AVERROES AL-KHAWARIZMI lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler