x

Ilustrasi Twitter. REUTERS/Dado Ruvic

Iklan

Qaris Tajudin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Puasa Twitwar

Ibadah bukanlah tujuan, melainkan perantara bagi kita untuk menjadi orang yang lebih baik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bagi orang kota, menahan keinginan makan dan minum mungkin tidak terlalu berat. Apalagi banyak di antara kita yang sudah terbiasa berdiet, mengatur makan secara ketat. Hal terberat saat berpuasa, sesungguhnya, adalah berhenti berbicara buruk melalui telepon seluler. Godaan gencar membuat kita akhirnya menyebarkan meme yang lucu tapi menghina orang lain, memberi komentar sepedas sambal pada posting-an Facebook teman, dan mengunggah foto kita saat beribadah dengan harapan mendapat gambar hati atau jempol.

Kita tahu, setiap ibadah adalah latihan. Ibadah bukanlah tujuan, melainkan perantara bagi kita untuk menjadi orang yang lebih baik. Misalnya, sembahyang yang dilaksanakan dengan benar akan mencegah kita berbuat keji. Jadi, kalau ada orang yang senang berbuat keji seperti Usamah bin Ladin atau para teroris lainnya, sesungguhnya salat mereka belum beres. Mereka masih belum bisa meresapi ar-rahman dan ar-rahim (Maha Kasih dan Maha Sayang) yang dibaca minimal tiga kali setiap rakaat.

Demikian juga dengan puasa. Saya tak perlu menjelaskan dengan detail apa tujuan Tuhan mewajibkan kita berpuasa. Hal yang paling sering disebut para penceramah adalah puasa merupakan empati terhadap orang miskin dan latihan untuk mengendalikan emosi. Tujuan akhir semua latihan yang kita lakukan dengan mengerjakan ibadah adalah, seperti yang dikatakan Nabi Muhammad: "Aku ini diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak."

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Seharusnya, orang yang rajin bersalat dan berpuasa adalah orang yang paling sopan di muka bumi ini. Sayangnya, tidak selalu demikian. Coba kita buka Twitter dan perhatikan sejumlah akun milik orang-orang yang mengaku memperjuangkan Islam. Banyak akun yang santun, tapi banyak juga yang kerjanya memaki-maki kelompok yang tak sepaham dengannya, bahkan menyebarkan fitnah.

Saat pemilihan presiden lalu, saya harus unfriend sejumlah teman di Facebook hanya gara-gara tidak tahan menghadapi gempuran fitnah, berita bohong, serta cacian terhadap salah satu calon presiden. Bukan karena saya mendukung calon yang kerap dilecehkan, melainkan, menurut saya, hal itu tak pantas dikeluarkan dan dipublikasikan.

Anehnya, banyak posting-an hitam itu disebarkan oleh orang-orang yang selama ini dipanggil ustad oleh masyarakat sekitar. Cacian kasar, fitnah tak berdasar, komentar negatif yang memicu permusuhan, semua itu amat jauh dari kebajikan yang mereka ceramahkan. Dengan mengunggah komentar-komentar negatif seperti itu, seolah-olah kita mengatakan: "Ya, kalau mencaci dan memfitnah orang yang tidak sepaham dengan kita enggak apa-apa."

Tentu saja itu pandangan yang salah. Pandangan seperti itu bertentangan 180 derajat dengan ayat 125 surat Lebah (An-Nahl). "Ajaklah mereka ke jalan Tuhanmu, dengan cara yang bijak dan nasihat yang baik. Dan, jika berdebat, debatlah dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmulah yang lebih tahu siapa yang sesat dan Dia lebih mengetahui siapa yang dapat petunjuk."

Menurut ayat itu, ajakan kepada orang berseberangan justru harus dilakukan lebih baik. Sebab, yang mengetahui seseorang sesat atau tidak hanyalah Tuhan, bukan kita.

Ikuti tulisan menarik Qaris Tajudin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan