x

Ratusan anak yatim dan duafa menulis surat untuk Presiden RI disela-sela kegiatan buka puasa bersama di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, 19 Juni 2016. Gerakan menulis dengan tangan ini digagas oleh Standardpen Industries kerjasama dengan Y

Iklan

Putu Setia

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Puasa dan Upawasa

Puasa ada di setiap agama. Yang berbeda adalah waktunya dan sedikit caranya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Putu Setia 

Pendeta Hindu @mpujayaprema

Puasa ada di setiap agama. Yang berbeda adalah waktunya dan sedikit caranya. Bagi umat Islam, puasa itu ada di bulanRamadan, bulan yang penuh berkah. Di agama lain, waktunya berbeda. Di Hindu, misalnya, waktunya tersebar di setiap bulan, saat-saat mendekati bulan purnama dan bulan mati.

Cara dalam berpuasa bisa beda. Awalnya bisa sama, yakni pantang untuk makan dan minum dari sejak sebelum matahari terbit sampai matahari terbenam. Tapi setelah itu ada aturan yang tidak sama, misalnya, ada puasa di dalam Hindu yang berlangsung 36 jam dengan catatan di malam hari hanya makan gserba putihh. Masih ada pengendalian diri yang disimbolkan dengan makan yang tidak boleh bebas.

Puasa dalam Hindu disebut upawasa. Upa artinya dekat, dan wasa artinya Tuhan. Upawasa artinya mendekat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Lewat upawasa melakukan pengendalian hawa nafsu. Dengan nafsu yang terkendali, kepekaan tumbuh, merasakan sesuatu yang barangkali biasa dilakoni oleh kaum papa, rasa lapar dan haus yang bukan disebabkan oleh keinginan berpuasa, melainkan ketiadaan yang dimakan.

Dengan berpuasa, muncul keinginan memberikan sedekah atau punia di dalam istilah Hindu. Menolong sesama makhluk ciptaan Tuhan adalah salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Karena itu, upawasa yang disertai dengan memberikan punia kepada kaum papa adalah upawasa yang seharusnya dilakukan, bukan sekadar tidak makan dan tidak minum.

Puasa yang dilakoni umat Islam juga salah satunya berujung pada pemberian sedekah kepada kaum miskin, yaitu membayar zakat, karena harta yang dimiliki sebagian hak kaum duafa. Dengan langkah-langkah itu, hati menjadi bersih, dan Idul Fitri adalah kebersihan hati nurani yang dirayakan, kembali suci lahir-batin dan saling memaafkan menjadi pelengkap dari ritual dalam puasa Ramadan.

Dalam masyarakat majemuk di negeri seperti Indonesia ini, seyogianya cara pandang yang punya nilai kebersamaan seperti ini yang patut ditonjolkan. Bukan mengumbar perbedaan yang tentu saja banyak ada, karena agama diciptakan beragam untuk bisa dipilih oleh umat yang juga beragam.

Ibarat tujuan agama ada di puncak gunung, umat manusia dipersilakan memilih jalan yang disukai, ada yang berliku karena di sana mereka menemukan kebahagiaan, ada yang lurus mendaki karena di situ ada tantangan yang membahagiakan pula. Toh ujung-ujungnya adalah puncak gunung.

Dengan analogi seperti ini, maka toleransi wajib hukumnya. Menghormati orang yang sedang menjalankan ibadah puasa sama pentingnya dengan menghormati orang yang tidak sedang berpuasa. Hak orang-orang yang tidak berpuasa tak bisa ditutup hanya karena ada orang yang sedang berpuasa. Begitu pun sebaliknya, mentang-mentang tidak berpuasa, lalu mengumbar godaan yang bisa memperlemah iman yang berpuasa.

Memang betul, kalau lulus menghadapi godaan, maka puasa terasa lebih nikmat. Puasa itu ibadah yang sangat pribadi, tak bisa dilakoni dengan kepura-puraan. Orang yang taat dalam ibadah puasa pasti fokus dalam pengendalian diri, dan tak terlalu cerewet mengurusi orang lain yang tak puasa.

Ikuti tulisan menarik Putu Setia lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler