Jakarta - Suatu hari seorang sumber berita memberi bocoran informasi. Informasinya cukup mengagetkan. Di mana, seorang ulama di sebuah daerah telah mencabuli puluhan anak di bawah umur. Tidak hanya itu, dia juga membocorkan informasi dugaan pencabulan di sebuah yayasan yatim piatu di daerah yang sama.
Sumber itu memberi banyak informasi kepada saya. Dia adalah seorang aktivis perlindungan anak sekaligus pengacara para korban pelecehan seksual. Jurnalis mana yang tak terhenyak dengan informasi itu. Semua wartawan akan berkata, ya, saya tertarik mendalami kasus ini.
Informasi ini muncul jauh sebelum munculnya film Spotlight. Investigasi The Boston Globe yang mengungkap jaringan pelecehan seks anak di Boston. Koran lokal itu berhasil mengungkap jaringan kejahatan pelecehan seksual di Gereja Katolik.
Informasi yang saya terima itu hampir sama dengan cerita pelecehan seksual yang diungkap Globe. Bedanya, informasi ini tidak terjadi di semua tempat ibadah. Dugaannya hanya ada seorang ulama yang memiliki rumah ibadah. Dia kemudian memanfaatkan kekuasaannya dengan melakukan pelecehan seksual kepada murid-muridnya.
Sumber saya menceritakan, ulama itu telah berulang kali tertangkap basah oleh warga. Kasus ini tak pernah berujung pada peradilan. Hal ini karena warga menganggap ulama tersebut adalah tokoh penting di daerah. Informasi yang beredar, dia tak tersentuh hukum.
Adrenalin saya terpacu, buru-buru melaporkan informasi awal ini ke redaktur. Saya ceritakan latarbelakang sumber tersebut kepadanya. Semua informasi saya ceritakan, termasuk terkait dugaan pelecehan seksual di sebuah yayasan yatim piatu.
Redaktur saya tersenyum merespon. Lalu menggebrak kursi panjang. Saya masih ingat yang ia katakan kepada saya. "Riset lagi," kata dia.
Saya agak terhenyak, melihat responnya. Kupikir kasus ini akan segera diselidiki dan berakhir pada penulisan. Ternyata tidak. Saya hanya turuti kemauannya, untuk meriset informasi itu.
Saya telusuri semua informasi awal itu melalui google dan sumber-sumber berita. Tapi tak dapat apapun. Hanya sebagian kecil informasi yang menunjukkan itu ada. Sebagian lainnya belum terlalu kuat digunakan sebagai bahan awal untuk ditelusuri.
Dari sini, saya baru paham niat baik redaktur untuk menyelematkan saya dari jerembab banyaknya informasi tak akurat. Poin penting yang saya dapatkan adalah verifikasi, verifikasi, verifikasi. Redaktur saya berulang kali menggebrak-gebrak kursi dan mengatakan demikian. Caranya, dengan observasi, wawancara, dan riset.
Itu bagian kecil dari disiplin yang kami lakukan di Tempo. Mustafa Silalahi, dan redaktur lain yang pernah mengajari saya sering berkeras soal ini. Bahwa Tempo tidak memiliki toleransi terhadap kredibilitas sumber. Sumber pertama adalah pelaku, lalu saksi kunci, pihak yang mengetahui atau berhubungan dengan kejadian, pihak berwenang, dan terakhir pengamat.
Kualitas sumber biasanya ditentukan dari apakah dia sebagai pelaku atau saksi kunci atas kejadian tersebut. Sehingga sumber dapat menceritakan kronologis kejadian dan bagaimana hal itu terjadi. Lalu di titik ini, fungsi observasi dan riset dimainkan untuk validasi keterangan pelaku. Memilah-pilah mana fakta dan yang bukan.
Bisa saja, jika kami datang jauh-jauh untuk menelusuri informasi yang saya dapatkan itu. Tapi pada hampir dipastikan akan berakhir sia-sia. Karena itu redaktur meminta saya meminta saya untuk melakukan riset terkait informasi ini.
Saya berulang kali gagal menulis karena informasi yang saya dapatkan kurang sahih. Ini adalah contoh kecil, sistem verifikasi yang harus kami terapkan sebagai seorang jurnalis. Sebagai jurnalis bawang, cerita saya ini bukan apa-apa. Di Tempo banyak wartawan hebat telah mendapatkan informasi yang mencengangkan tapi berakhir di keranjang sampah, seperti yang saya alami. Tak masalah, itu melecut kami untuk terus disiplin.
Ikuti tulisan menarik avit hidayat lainnya di sini.