x

Iklan

Rendi Lustanto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ada Apa dengan Kedai Kopi Indie?

fenomena maraknya kedai kopi indie disekitar jabodetabek yang menyasar kelas menengah ngehek dan mengakibatkan munculnya kapitalisme bentuk baru

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Beberapa hari ini setelah saya disibukan dengan hingar bingar acara Buka puasa bersama dengan para kolega dan teman kuliah, salah satu teman saya dari Fakultas Hukum UI mengajak saya untuk menikmati kopi pada kedai kopi Indie di pinggiran Kota Depok, yah hanya beberapa menit dari Margonda jika ditempuh dengan kendaraan bermotor (note: Jika Juanda dan Margonda tidak macet). Celetukan teman saya, “lidah lo harus dibiasakan dengan kopi indonesia, jangan Americano muluk”. Yah mungkin saya sebagai mahasiswa kere yang mampunya menikmati kopi Americano hasil racikan industri yang notabenenya bukan merupakan High Speciality kopi (karena kopi instan). Mau gimana lagi cuy, untuk ke kedai kopi sebagai mahasiswa Filsafat semester empat merasa itu sebuah kemewahan yang tiada tara,  paper dan bahan bacaan menunggu kita setiap pekan yang jumplahnya lebih besar dari seluruh Kedai kopi yang ada di Jakarta maupun Depok, belum lagi kuis yang ada di matkul tertentu yang membuat hati serasa copot ketika mengetahui hasil nilainya fluktuatif seperti kantong mahasiswanya.

Salah seorang teman saya mengutip perkataan peracik kopi favorite nya, “Indonesia harus berusaha membangun ketahanan pangan melalui kopi”. Jujur saya seketika tersedak sekaligus ngakak, kemudian saya bilang, bukanya dari jaman Belanda yang membawa komoditas ini masuk ke Indonesia sampai sekarang produksi kopi kita sudah mencukupi konsumsi kopi nasional serta kita sebagai salah satu ekportir kopi ketiga di dunia setelah Brasil dan Vietnam, Jadi  cita cita lo itu udah terpenuhi, kelas menengah ngehek aja yang mengkonsumsi kopi jenis Americano yang dijual di gerai gerai kopi ternama seperti Starbu*k untuk meningkatkan prestis yang mereka dapat. Kemudian ada gerakan untuk minum kopi produksi dalam negri dengan jargon “Speciality Kopi Indonesia”, kok ketinggalan zaman banget sih !!! hey dari mana aja, orang tua gue yang tinggal dilereng Gunung Lawu dari dulu hanya mengkonsumsi kopi yang mereka produksi sendiri, sebagian besar penduduk Indonesia di segala penjuru negri akan memproses bubuk kopi mereka sendiri dengan membeli green bean yang dijual dipasar yang merupakan produksi lokal, kedai kedai kopi di Aceh ataupun warkop di daerah Jawa Timur yang senantiasa meracik bubuk kopi yang ingin mereka jual dengan berbagai komposisi yang penuh pertimbangan para penjual di warkop tersebut, tentunya dengan harga yang murah di kantong  rakyat, tidak mencekik seperti di kedai kopi multinasioanal atau kedai kopi indie itu.

Berarti jargon “nasionalisme” dan “ketahanan pangan” hanya ditujukan untuk mereka kaum menengah ngehek yang haus akan pencarian identitas dan pengakuan sebagai manusia yang kece dan kekinian itu ya, dan parahnya hal ini dilirik oleh monster yang bernama “kapitalisme” untuk meperluas jejaringnya dan membentuk rhizome kedalam life style kelas menengah, bagi kelas mengah, “jika gue minum kopi di kedai kopi indie maka gue menyelamatkan kopi indonesia, gue membantu petani indonesia, gue bangga dengan indonesia”, wow kapitalisme berhasil menggunakan inovasi dan kreativitas yang dimiliki dan menggunakan kendaraan nasionalisme konsumtif untuk mengeruk keuntungan yang sebesar besarnya, coba liat betapa menjamurnya pertumbuhan kedai kopi indie di Jakarta dan Depok, belum lagi kedai kopi di daerah Jabodetabek yang lainya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Keberhasilan rhizome kapitalisme itu ditunjukan dengan munculnya hasrat konsumtif untuk memanjakan gaya hidup dengan berkunjung ke kedai kopi tersebut, padahal belum tentu sebagai penikmat pemula kopi mampu mencecap perbedan antara speciality kopi dan  kopi kualitas  receh, sebenarnya kita dapat melakukan rekayasa sosial, untuk melihat apakah kelas menengah ngehek ini benar benar sebagai penikmat kopi atau hanya pencari eksistensi  dibalik ngetren nya kedai kopi indie, jika di kedai kopi indie menjual kopi yang ada di pasaran, namun diracik dengan menggunakan mekanisme yang digunakan untuk meracik speciality kopi itu, apakah mereka masih bisa membedakan mana kopi speciality mana kopi industri, ahahahaha (ide konyol).

Fenomena seperti ini harus kita lihat dan kaji secara serius untuk mendalami motif kapitalisme dalam menancapkan hegemoninya. Kita tahu bahwa di era Karl Marx ketika mengkritik kapitalisme melalui sudut pandang produksi yang mengakibatkan berbagai kesenjangan, namun lambat laun seiring berjalanya waktu kapitalisme berevolusi semakin tangguh dengan masuk ke ranah konsumsi guna memperluas jejaring nya. Kritik yang dilontarkan oleh Marx harus kita interpretasi ulang dengan melihat kondisi yang ada di masyarakat sekarang, manusia sebagai mahluk sosial cenderung mengalami perubahan yang sangat unik bahwa terjadi pergeseran konsumi dari yang awalnya untuk bertahan hidup menjadi upaya untuk meningkatkan status sosial nya, Bahkan tanpa disadari pola konsumsi ini sudah berubah menjadi lecutan hasrat yang harus dipenuhi walaupun sebenarnya utilitas dari barang yang dikonsumsi ini tidak begitu mendesak. Kemendesakan untuk mengkonsumsi bukan dikarenakan untuk mempertahankan kehidupan namun disebabkan oleh kebutuhan akan simbol-simbol yang menjadi pembeda antara satu individu dengan individu yang lainya. Intinya masyarakat sudah masuk dalam tataran baru kehidupan yang dimotori oleh kehausan akan Symbolic Borders satu sama lain.

Jika kita melihat fenomena diatas mengenai behavior kelas menengah yang gandrung dengan kedai kopi indie, menurut saya terdapat berbagai motif yang menyelinap dibalik itu semua. Pertama terdapat tren bahwa konsumsi kopi di kedai kopi multinasional seperti (strarbu*k), merupakan suatu hal yang biasa dan terkesan mainstream, kedua terdapat paham nasionalisme jika terlalu berlebihan saya takut jika hal ini dapat menyemaikan benih-benih fasisme dalam sekup konsumsi, yang paling menarik adalah fenomena kebutuhan akan konsumsi simbol yang ada dalam masyarakat kelas menengah itu sendiri. tanpa kita sadari lahir berbagai asumsi yang ada dalam masyarakat permainan simbol, bahwa terdapat diversifikasi tempat ngopi, jika kita mampu ngopi di kedai kopi Multinasional itu akan tertempel pada diri kita sebagai kelas masyarakat borjuis yang sangat kapitalistik, kemudian ketika kita ngopi di kedai kopi indie akan tertempel sebagai golongan yang memihak petani kecil karena mengkonsumsi kopi produksi dala negri, tapi apakah kita sudah melakukan riset yang mendalam sampai menemukan fakta lapangan bahwa setiap cangkir kopi yang kita minum memberikan sumbangsih yang positiv bagi kesejahteraan petani kopi indonesia, dan yang terakir bagi manusia-manusia seperti saya yang biasanya minum kopi remah-remah speciality kopi (kopi kemasan) kemudian mendapat label golongan penikmat kopi “receh”. Yah apa mau dikata jika ingin mendapat label “penikmat kopi sejati dan peduli terhadap petani”, harus ke kedai kopi indie yang harganya membuat masyarakat kecil hanya senyum senyum pahit, sepahit specialty kopi.

 

 

Ikuti tulisan menarik Rendi Lustanto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terkini