x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dari Pulau Buru ke Venesia

Featur-featur Sindhunata yang penuh warna kemanusiaan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Dari Pulau Buru Ke Venesia

Penulis: Sindhunata

Tahun Terbit: 2006

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Penerbit Buku Kompas                                                                               

Tebal: xii + 200

ISBN: 979-709-276-3

 

Feature yang baik adalah feature yang tetap relevan untuk dibaca meski kasusnya sendiri telah lewat masanya. Sebagai sebuah tulisan yang berbasis kepada sebuah peristiwa atau obyek, feature memang diikat dengan peristiwa dan obyek yang ditulisnya. Namun seorang penulis feature yang baik, sang penulis akan membuat tulisannya go beyond peristiwa atau obyek yang mengikatnya. Nilai-nilai yang ditambahkan dalam mengulas obyek atau peristiwa membuat feature tersebut tetap memiliki makna dan enak dibaca.

Salah satu penulis feature yang dianggap empu adalah Sindhunata. Feature-feature Sindhunata memiliki nilai-nilai kemanusiaan yang melekat di dalamnya. Sindhunata menggunakan peristiwa dan obyek hanya sebagai sebuah medium saja. Sesungguhnya yang ditulisnya adalah kemanusiaan itu sendiri. Itulah sebabnya tulisan-tulisan Sindhunata tetap relevan untuk dibaca meski peristiwa atau obyeknya sudah tidak up to date lagi. Selain dari nilai-nilai kemanusiaan yang diusungnya, Sindhunata juga melengkapi featurenya dengan rincian peristiwa atau obyek yang ditulisnya. Setiap artikel selalu disertai dengan paparan yang rinci tetapi mengalir tentang obyek atau peristiwa yang diberitakannya. Dalam kisah tentang upacara kematian di Toraja misalnya. Shindunata menggambarkan bagaimana proses si penjagal memapraskan parangnya ke leher kerbau. Ia juga menceritakan dengan detail bagaimana anak-anak berebut darah yang keluar dari leher kerbau mulai saat si kerbau goyah sampau jatuh terkapar. Saat mengisahkan patung Pieta karya Michelangelo, Sindhunata masuk kepada detail kaki dan ekspresi wajah Maria dan wajah dewasa Sang Kristus yang wafat (hal. 193). Itulah yang menjadi alasan mengapa tulisan-tulisan Sindhunata dikumpulkan dan dibukukan.

Dari kumpulan kisah yang ditulisnya dari Pulau Buru, Sindhunata mengungkap bahwa manusia sangat mendambakan kebebasan. Bagi para tahanan di Pulau Buru, kebebasan berarti dipulangkan ke Jawa. Pulang ke tempat asal dan berkumpul dengan para keluarganya (hal. 19). Meski mereka telah dianggap bebas oleh tentara, namun kebebasan versi tentara itu sama sekali bukan kebebasan yang didambakan oleh para tahanan. “Di sini tidak ada kawat berduri atau senapan. Mereka Bebas,” kata Letkol Karyono (hal. 7). Jelas sekali bahwa makna kebebasan bukan sekedar bebas dari rantai atau belenggu, atau kungkungan kawat berduri dan todongan senapan. Kebebasan adalah saat manusia bisa tinggal di tempat yang diinginkan dan menyatu dengan keluarga yang dicintainya.

Kebebasan yang belum bisa terwujud menyebabkan manusia berangan-angan bahwa dirinya bebas. Setidaknya dalam benaknya merasa pernah bebas. Sindhunata menggambarkan dengan sangat indah tetapi trajik tentang kebebasan dalam angan-angan ini. Dalam artikelnya “Pulang ke Jawa”, ia menggambarkan bahwa para tahanan mulai menyiapkan diri untuk bermimpi saat malam tiba dan lampu listrik sudah dipadamkan. Mereka menyiapkan diri untuk “pulang” bertemu dengan anak dan istrinya. Bermimpi tentang kebahagiaan yang dirasakannya. Namun saat pagi tiba, atau bahkan sering juga tengah malam saat mereka terbangun kebebasan dalam angan-angan itupun direngut kembali oleh kenyataan. Kerinduannya akan anak-anak yang dicintai diwujudkan dengan menamai binatang-binatang dengan nama anak-anak yang dicintai. Ada anjing, kucing, sapi dan kerbau yang diberi nama Lucy, Larasati, Susi dan nama-nama anak-anak lainnya. Para tahanan politik ini memperlakukan para binatang seperti memperlakukan anak-anak mereka. Kerinduan kepada anak-anaknya ditumpahkan dalam bentuk perlakuan saya kepada para binatang. “Kami buat begitu, hanya sekedar untuk mengingat anak-anak kami yang sangat kami rindukan,” kata Moestopo salah seorang tahanan politik (hal. 9).

Dalam artikel-artikelnya tentang prosesi penguburan di Tanah Toraja, Sindhunata menyindir keras adat-istiadat yang boros dan hanya untuk menjaga gengsi. Ia menulis: “Masih banyak orang miskin atau berkekurangan di Tanah Toraja. Namun, kehidupan mereka malahan terasa disepak untuk makin terpuruk jauh ke kemiskinan karena sistem adat yang demikian kaku itu” (hal. 35). Sindhunata menggugat pelaksanaan adat penguburan yang dilaksanakan oleh para bangsawan Toraja. Ia menganggap bahwa pelaksanaan penguburan yang dipakai untuk menarik turis itu sebuah kesalahan yang harus segera dihentikan. Apalagi ketika prosesi yang seharusnya menghormati sang mati, dijadikan sebuah tontonan. Sindhunata menyindir dengan membandingkan upacara penguburan bangsawan yang megah dengan upacara penguburan orang miskin yang sederhana (hal. 45). Meski sederhana, makna kehilangan malah lebih terasa daripada penguburan mahal yang malah membuat banyak penduduk menjadi loyo.

Adat yang boros disertai dengan sikap gengsi yang tinggi akan membawa orang-orang Toraja kepada kemiskinan yang lebih parah. Secara sinis Sindhunata menyampaikan bahwa adat semacam ini akan berhenti ketika pada orang kaya tersebut jatuh miskin. Sebab para cendekiawan – yang adalah kerabat para bangsawan tak berani bersuara, apalagi bertindak. Anak-anak mudanya mengelak bahwa orang tualah yang berkuasa. Gereja juga tak mampu meredam keborosan dan kesombongan para bangsawan kaya ini.

Tentang Bali Sindhunata mengeluh. Pariwisata telah mengubah Bali. Ia mengeluh tentang perjudian yang telah mengambil alih ritual sabung ayam. Sabung ayam menjadi sebuah maksiat yang legal (hal. 67). Sindhunata juga mengeluhkan tentang kekelaman malam Pantai Kuta yang penuh dengan bisnis seks yang kejam. Para guide liar yang menjadi calo para perempuan yang bekerja malam. Belum lagi tentang narkoba yang secara bebas tersembunyi diperdagangkan. Bali memang sudah tidak nyaman.

Upaya Sindhunata untuk mendudukkan para pasien rumah sakit jiwa “Lali Jiwo” di Jogjakarta adalah tetap manusia. Penyakit kejiwaan membawa orang-orang kehilangan jiwanya. Namun mereka tetap masih manusia. “Para pasien itu memang masih manusia. Kalau orang memperhatikannya sebagai manusia dan tetap menghargainya, sedikit banyak mereka akan merasa, sekurang-kurangnya tidak akan mengganas seperti sebelumnya,” ungkap Sindhunata (hal.102). Para penderita penyakit jiwa ini mengalami kehilangan kesadarannya sebagai manusia. Peno yang kembali ke masa kanak-kanak namun tanpa kegembiraan, Sidin yang selalu tertawa dan tidak pernah marah dan Seno yang dihantui oleh halusinasi-halusinasi perang yang kejam adalah beberapa contoh. Yulia yang tiba-tiba menjadi penyair karena ditinggal suaminya kawin lagi. Saat sadar, Yulia tak lagi bisa mengingat puisi yang selalu diulangnya saat penyakitnya kambuh (hal 93). 

Perjalanannya ke Kedah mengungkapkan betapa kerja keras bisa membuat sebuah keberhasilan. Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah Malaysia untuk mengajak petani di Kedah, para pemuda untuk berwiraswasta telah memberi bukti bahwa upaya semacam itu bisa berhasil. Sering kali pegiat pembangunan hanya memperhatikan faktor teknis saja, tanpa menimbang kesiapan manusianya. Dalam kasus proyek pertanian yang dikerjakan oleh MADA (Muda Agriculture Development Authority) dan upaya membangun ekonomi orang melayu oleh Majelis Amanat Rakyat (MARA), upaya mengembangkan sumberdaya manusia adalah kunci untuk keberhasilan sebuah perubahan.

Di Venesia Sindhunata berefleksi. Keindahan dan sejarah panjang Venesia, serta berbagai produk seni, puisi, lukisan, patung telah membuatnya berkontemplasi tentang kehidupan. Venesia adalah tempat dimana diyakini bisa mengabadikan perjodohan. Itulah sebabnya banyak calon pengantin atau pasangan yang sudah menikah pergi ke Venesia untuk mendapat pemberkatan.

Dalam kontemplasinya Sindhunata bisa melompat dari air ke politik. Dari burung merpati kepada kekuasaan dan dari singa – lambang Santo Markus ke kerakusan manusia dari harta iman ke ketamakan (hal 184). Atau dari khotbah penderitaan Bunda Maria kepada pengusiran perempuan-perempuan tua yang menonton peragawati yang sedang melakukan photo session sebuah gaun pengantin. Para perempuan tua dianggap akan merusak foto yang dibuat (hal. 153). Sindhunata mengeluh tentang betapa kuatnya kapitalisme yang menggerus Venesia yang filosofis.

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB