x

Petugas KPK menunjukkan barang bukti uang Dolar Singapur saat konferensi pers operasi tangkap tangan di Gedung KPK, Jakarta, 29 Juni 2016. Dalam OTT KPK ini diamankan barang bukti 40.000 Dolar Singapura dan bukti transfer Rp 500 juta. ANTARA/Hafidz M

Iklan

marwan mas

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tidak Gentar Memerangi Korupsi

Memerangi korupsi harus benar-benar nyata dan terukur, tidak boleh hanya retorika yang tidak memiliki kepastian dan cenderung kompromistis.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Marwan Mas, Guru Besar Ilmu Hukum dan Pengajar Tindak Pidana Korupsi Universitas Bosowa, Makassar

Memasuki paruh waktu pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK), tingkat kepercayaan dan kepuasan publik semakin meningkat. Indikasi itu dapat dilihat pada hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) 20-22 Maret 2016. Suvei itu menyimpulkan bahwa tingkat kepuasan dan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan Presiden Jokowi-JK telah meningkat mencapai 59% (Iyaa.com, 19/4/2016).

Rakyat memberikan penilaian positif terhadap kemampuan dan kewibawaan Jokowi-JK sebagai pemimpin nasional, termasuk dalam penegakan hukum atau pemberantasan korupsi. Sedangkan hasil survei Kompas pada awal tahun 2016 yang dirilis (15/2/2016), kinerja pemerintahan Jokowi-JK di bidang hukum (terutama pemberantasan korupsi) dan politik, secara umum menunjukkan lebih rendah dibandingkan pembangunan bidang ekonomi dan kesejahteraan sosial.   

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sejak periode pertama survei evaluasi kinerja pemerintahan pada Januari 2015 hingga periode kelima Januari 2016, citra Presiden Jokowi terbilang tinggi. Survei SMRC itu seyogianya dijadikan dasar penilaian bahwa pemerintahan ini diharapkan mampu melangkah lebih jauh dalam memberangus perilaku korupsi dan perbaikan kehidupan demokrasi. Hanya saja, kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari satu sisi belum menunjukkan langkah yang maksimal dalam mengungkap dugaan korupsi pembelian sebagian lahan Rumah Sakit Sumber Waras oleh Pemerintah DKI Jakarta.

Berdasarkan hasil investigasi audit BPK terhadap pembelian sebagian lahan Rumah Sakit Sumber Waras, terjadi kesalahan prosedur yang berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar Rp191 miliar. Tetapi ternyata KPK dalam penyelidikannya menyebut belum menemukan “perbuatan melawan hukum” tindak pidana korupsi dalam pembelian lahan RS Sumber Waras. Hal itu disampaikan Pimpinan KPK saat rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR (14/6/2016).

Kelihatan betul kalau KPK jilid-IV masih saja “gagap” jika mengusut dugaan korupsi yang terkait “kerugian keuangan negara” yang diakibatkan oleh “perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang”. Kedua unsur korupsi yang dilarang itu bertujuan untuk memperkaya atau menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain yang "dapat" merugikan keuangan negara. Hal itu diatur dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Nomor 31/1999, diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Korupsi). Sangat berbeda jika operasi tangkap tangan (OTT), KPK begitu sigap bertindak karena diawali dengan menyadap telepon pelaku suap sehingga alat bukti sangat jelas  saat dilakukan OTT.

Terus Melangkah

Kalau penyelidikan KPK terhadap dugaan korupsi yang terkait kerugian keuangan negara tidak bersinergi dengan hasil audit KPK sehingga perkara itu tidak tuntas, dikhawatirkan tingkat kepercayaan rakyat pada pemerintahan Presiden Jokowi-JK kembali melemah. Kita ingin KPK tidak hanya mahir melakukan OTT karena sebelumnya menyadap telepon pelaku suap, tetapi yang juga penting mengungkap perkara korupsi yang merugikan keuangan negara. Kerugian keuangan negara itulah yang harus diburu untuk mengembalikan aset negara (asset revovery) yang diduga dikorup oleh para koruptor kelas kakap.

Tetapi satu aspek yang mendapat apresiasi publik adalah ketegasan Presiden Jokowi menunda revisi UU Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Namun, tetap dikritisi banyak kalangan lantaran penundaan saja “tanpa menghentikan” rencana revisi, tak ubahnya seperti meretas “bom waktu” yang sewaktu-waktu meledak. Lebih ideal sekiranya Presiden Jokowi bersikap tegas dengan “membatalkan” rencana revisi UU KPK. Kita ingin janji kampanye untuk memperkuat kewenangan KPK betul-betul direalisasi. Betapa tidak, KPK sebagai institusi antirasuah masih dipercaya rakyat untuk membongkar korupsi yang sudah menjadi penyakit kronis.

Sebab bisa saja revisi UU KPK diajukan kembali DPR setelah publik dan pers beralih perhatiannya. Realitas selama ini, begitu mudah mengalihkan perhatian publik dari isu penting ke isu lainnya untuk menutupi terbongkarnya isu penting itu. Rakyat berharap agar kewenangan KPK yang selama ini berjalan efektif membongkar korupsi kelas kakap, tidak dijadikan sasaran untuk dilumpuhkan. Kalau hanya “menunda revisi” yang pada akhirnya akan dibahas lagi, dipastikan akan kembali menimbulkan kegaduhan di ruang publik karena semua komponen masyarakat yang antikorupsi akan bereaksi.

Kiranya perlu diatensi bahwa sebagian besar rakyat, aktivis antikorupsi, media antikorupsi, mahasiswa antikorupsi, dan akademisi antikorupsi tidak akan pernah menoleransi revisi UU KPK yang isinya melemahkan kewenangan KPK. Negeri ini butuh konsistensi dan keberanian yang tidak biasa untuk mewujudkan Indonesia bebas korupsi. Segenap elemen bangsa harus bersatu memerangi perilaku korupsi. Kita harus melangkah memerangi perilaku korup. Membiarkan koruptor melangkah bebas menilap uang rakyat, sama saja dengan mengantar republik ini ke dalam jurang kehancuran.

Sebetulnya di awal tahun 2016 ada hal yang menggembirakan terkait keberhasilan memerangi korupsi. Indikasi itu terlihat pada membaiknya skor dan posisi Indonesia dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tahun 2015, sesuai hasil suvei Transparency International (TI) yang dirilis Januari 2016 (Media Indonesia, 29/1/2016). Indonesia memperoleh skor 36 dan menempati urutan ke-88 dari 168 negara yang disurvei. Ini sejalan dengan hasil survei SMRC yang juga menunjukkan adanya kemajuan pemberantasan korupsi.

Hanya saja, meskipun pemberantasan korupsi mulai membaik, Indonesia masih tergolong negara yang terancam pembangunan dan kesejahteraan rakyatnya akibat ancaman korupsi. Korupsi masih menjadi ancaman bagi keselamatan uang negara dari tangan jahil yang hanya mencari keuntungan sendiri. Tetapi kita tidak boleh pesimis, harus terus melangkah memerangi korupsi secara bersama tanpa pandang status dan kedudukan.

Upaya Pencegahan

Menyikapi kejahatan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), sebagaimana ditetapkan dalam Konvensi Internasional PBB di Vienna, 7 Oktober 2013, kita tidak boleh permisif melihat berbagai kelihaian para koruptor dalam mengakali uang negara. Apalagi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) telah mengklasifikasi korupsi sebagai kejahatan hak asasi manusia (human rights crime) dan kejahatan kemanusiaan (crime against humanity). Jika perilaku korup terus dibiarkan tanpa tindakan tegas, maka hak sosial-ekonomi rakyat akan terus dirampas oleh para koruptor.

Kita tidak ingin perilaku korupsi menimbulkan persepsi keliru bagi generasi masa depan gara-gara menganggapnya “sebagai budaya” sehingga menirunya. Dalam berbagai ceramah dan tulisan saya di media massa, selalu saya ungkap bahwa korupsi harus dilawan secara bersama. Semua komponen bangsa harus bersatu padu, jangan membiarkan KPK, kepolisian, dan kejaksaan berjalan sendiri. Kita ingin ada paradigma baru pemberantasan korupsi yang berorientasi pada kepentingan bangsa dan rakyat.

Salah satu langkah penting untuk menjaga agar uang negara tidak diselewengkan oleh penyelenggara negara dan aparat hukum, adalah melakukan “upaya pencegahan” oleh setiap institusi negara, pemerintah daerah, dan kalangan swasta. Pencegahan harus dilakukan secara sinergi dengan penegak hukum. Konsep “revolusi mental” oleh Presiden Jokowi harus diimplementasi secara benar dan konsisten. Setidaknya menjaga integritas dan moralitas penyelenggara negara, pegawai negeri sipil (PNS), dan aparat hukum dalam melaksanakan amanah rakyat. Termasuk memangkas ratusan izin usaha dan mekanisme pengadaan barang dan jasa di kementerian dan pemerintahan daerah.

Pencegahan diintensifkan dalam proses penganggaran dan penyerapannya. Maka itu, langkah Kejaksaan Agung membentuk Tim Pengawal, Pengamanan Pemerintahan, dan Pembangunan (TP4) untuk mengawasi proses pengadaan barang dan jasa pada pemerintah daerah patut didukung. TP4 mengawasi pelaksanaan pengadaan barang dan jasa dari aspek administratif dan teknis juridis untuk mencegah perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang. Dalam pengawasan itu, TP4 juga memberikan pendampingan saat pelelangan, pengerjaan, dan pembebasan tanah.

Pentingnya pengawasan karna umumnya korupsi dimulai dari sektor pengadaan barang dan jasa, penerbitan berbagai perizinan dengan transaksi suap atau uang pelicin kepada pejabat, sampai pada upaya pengaturan pemenang lelang. Jika sudah diawasi ketat tetapi masih saja ada penyelenggara negara, aparatur sipil negara (ASN), dan aparat penegak hukum yang sengaja berbuat curang, maka harus diproses hukum sampai ke pengadilan. Tidak boleh ada toleransi bagi mereka yang mencuri uang rakyat.

Survei Transparency International dan SMRC memberi optimisme baru. Kita tidak boleh gentar memerangi korupsi. Harus terus melangkah pasti dengan menyusun agenda strategi melawan perilaku korupsi secara bersama. Pemerintah, aparat hukum, dan partisipasi warga masyarakat menjadi amunisi yang efektif untuk menebas perilaku korup tanpa pandang bulu. Memerangi korupsi harus benar-benar nyata dan terukur, tidak boleh hanya retorika yang tidak memiliki kepastian dan cenderung kompromistis. Selain dapat membangun tatanan dunia baru dalam mengamankan uang negara, juga dapat membuat koruptor dan calon koruptor yang antre di berbagai institusi negara tidak berkutik.

Pencegahan lain yang juga perlu diintensifkan adalah menggelorakan “pendidikan antikorupsi” sejak pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Itu salah satu model pencegahan yang juga efektif, karena sejak awal mendidik anak-anak kita berperilaku jujur, berintegritas, dan memiliki moralitas yang tinggi dengan tidak mengambil sesuatu yang bukan miliknya. Harus ada keberanian memformulasi upaya pencegahan, setidaknya dimulai dengan mendidik anak-anak sebagai pelopor antikorupsi.(*)

Makassar, 15 Juli  2016

Ikuti tulisan menarik marwan mas lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler