x

Iklan

Frans Ari Prasetyo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kebangkitan (Semu) Indonesia

Indonesia tidak akan menjadi kekuatan baru, baik di asia maupun di pentas Internasional sebagaimana banyak diperkirakan selama ini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Indonesia tidak akan menjadi kekuatan baru, baik di asia maupun di pentas Internasional sebagaimana banyak diperkirakan selama ini. Tidak terlihat adanya intensi dan kapasitas pemimpin politik dan ekonomi untuk memproyeksikan kekuatan sumberdaya Indonesia keluar atau ke kancah internasional. Demikian kesimpulan yang dapat ditarik dari kuliah umum dari Prof. Richard Robinson di Universitas Melbourne (5/7/2016) yang dipandu oleh Prof. Vedi R Hadiz. Seperti kita ketahui bersama, Ricard Robinson dikenal dengan karya-karya ekonomi politik-nya tentang Indonesia, diantaranya Indonesia : The Rise of Capital dikenal sebagai referensi yang berpengaruh dalam studi-studi ekonomi politik terkait Indonesia.  Dalam pemaparannya kali ini Ricard Robinson mengkritisi mengenai anggapan popular tentang “ kebangkitan Indonesia” sebagai kekuatan regional dan internasional. Merujuk kepada iIstilah Kapbiro atau kapitalisme birokrat yang diutarakan Ricard Robinson dalam The Rice of Capital menjadi salah satu poin mengenai, bagaimana anggapan popular kebangkitan Indonesia ini terasa semu dalam konteks yang terjadi sekarang ini.

Anggapan popular ini berhembus kencang setelah euphoria pemilu 2014 yang kemudian ditunjukan melalui paket-paket kerja dan kebijakan negara. Stimulus-stimulus ini sejatinya memang diperuntukann untuk mengerjar ‘mimpi’ Indonesia sebagai kekuatan ‘ekonomi-politik’ yang bangkit dari tidurnya. Legitimasinya kemudian semakin kuat berhembus, setelah banyak pakar digandeng untuk memberikan kontribusi pemikirannya  yang akhirnya  berpendapat bahwa “kebangkitan” tersebut didorong oleh kemampuan menjaga pertumbuhan ekonomi dan keberhasilan melewati transisi demokrasi. Selain itu Indonesia dipuji  sebagai role model, bagaimana demokrasi dapat bekerja di negara dengan mayoritas muslim. Tidak salah memang, tetapi dasar pijakannya apa ?.

Ricard Robinson, kemudian mempertanyakan dasar-dasar pandangan tersebut. Disebutkannya,  bahwa kekuatan ekonomi dan sosial di Indonesia dibangun dengan cara yang tidak mensyaratkan proyeksi eksternal dari kekuatan negaranya.  Secara historis konstalasi domestik kepentingan-kepentingan sosial cenderung menentukan, apakah proyeksi kekuatan negara diperlukan dalam kebangkitan negara-negara besar sebelumnya. Maka soal, apakah Indonesia dengan segala sumberdaya yang tersedianya tidak memiliki intensi dan kapasitas untuk memproyeksikan kekuatan negara ke panggung internasional ?. Ricard Robinson, menjawabnya, “ Kita menyadari bahwa jika sebuah negara memproyeksikan kekuatannya ke panggung internasional, maka negara itu bisa menjadi negara yang kuat, dan negara yang kuat itu diukur dai kemampuannya mempengaruhi “the setting of rules dan seterusnya “.  Dalam realitasnya yang kita lihat adalah dua atau tiga blok dengan satu blok yang sangat dominan. Kita, melihat Uni Eropa yang terus bertarung dengan AS dalam isu perdagangan dan hak cipta Intelektual, dan AS memegang hegemoni dalam bidang ini. Maka, kebanyakan negara akan sulit untuk bisa masuk dan mempengaruhi hal itu. Yang paling bisa mereka lakukan adalah memenangkan perdebatan di forum ini atau di forum itu, dan mencoba menegosiasikan satu hal.  Menurut Ricard Robonson, ini salah satu alasan mengapa kita melihat, argumen mengenai kebangkitan Indonesia sebagai kekuatan baru Asia memiliki kelemahan. Indonesia mungkin memiliki intensi untuk menunjukan pengaruhnya, tapi dalam bidang apa ?. Tidak ada pengembangan suatu tujuan yang jelas untuk misalnya mengekspor keahlian tertentu.

Selanjutnya, Ricard Robinson berpendapat bahwa tidak adanya intensi ini karena tidak ada desakan dari dalam, bisa dikatakan ekonomi domestik itu, semuanya menyangkut perdebatan mengenai deal-deal terbaik secara dometik semata-mata, dan tentu saja tidak perlu dipertanyakan bahwa Indonesia tidak memiliki kapasitas memproyeksikan kekuatan dirinya ke panggung Internasional. Sumberdaya alam yang melimpah, pertumbuhan kelas menengah yang bombastis, bonus demografi yang sedang dimiliki sekarang ini disertai oleh bumbu sebagai negara muslim terbesar yang sukses melakukan transisi demokrasi, nyatanya tidak juga memberikan satu pegangan utuh tentang ‘kekuatan’ Indonesia untuk bangkit. Tidak adanya perencanaan dan upaya sistematis secara domestik untuk itu. Kelemahan kepemimpinan, hingga tidak jelasnya keunggulan bangsa, seperti teknologi dll menjadi contoh bagaimana kelemahan Indonesia ini ditunjukan dalam wacana Internasional.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Contoh kelemahan itu bisa kita lihat dari proyek Tanggul Garuda, karena dengan mudahnya dibodohi konsultan dan pemerintah asing, sementara kekuatan sendiri dari para peneliti lokal termasik LIPI tidak dimanfaatkan hanya karena kekuasaan yang egois tentu dilatarbelakangi oleh deal-deal tadi. Hal yang sama terjadi dalam proyek kereka cepat yang juga sebagai cerminan betapa begitu cepat dan mudahnya dibodohi dan dilakukannya penggerusan nalar dan kekuatan domestik negara ini hanya demi pencapaian semu pembangunan.  Selain itu, kepentingan-kepentingan yang diusung oleh para oligarki hingga rente pembangunan sampai level desa membuat Indonesia seperti kapal oleng di lautan yang bersiap akan karam dalam waktu tertentu. Bagaimana bisa, semua skema pembangunan berdasarkan instruksi dan pesanan asing termasuk skema pembiayaannya. Semua serba pinjam walaupun negara defisit, sepertinya meminjam dana asing itu sebagai kepercayaan internasional kepada negara, padahal tidak sama sekali. Itu sama dengan penggerogotan asset bangsa. Negara seolah tidak berdaya jika tidak pinjam dana asing terutama untuk pembangunan infrastuktur yang jelas nyata sedang terjadi sekarang ini. Lalu, bagaimana membayarnya? Bukan urusan yang penting pinjam dan bangun.

Perencanaan dan proyeksi negara Indonesia bukannya tidak ada, tetapi telah di setting oleh kekuatan asing dan modal internasional. Jadi sampai saat ini Indonesia belum mampu berdiri diatas kaki-nya sendiri. Memang ada keran globalisasi yang tidak bisa ditolak, tetapi membiarkannya tidak terlalu deras mengucur dan terbawa arus derasnya dengan cara mengontrol keran tersebut supaya hanya  sampai tahap ‘menetes’ saja.  Melalui kekuatan domestik-lah langkah strategis untuk bisa berdiri mandiri secara domestik  sebagai pondasi lalu kemudian menunjukan kapasitas tersebut sebagai kekuatan baru yang didengungkan selama ini.

Apa yang diutarakan Ricard Robinson ada benarnya. Kebangkitan negara yang digelorakan itu baru sampai sebatas produksi gimmick politik. Konteks pembangunan negara merupakan tolak ukur yang paling ‘diamini’ oleh semua pihak untuk saat ini, namun sebenarnya semua skenario pembangunan telah direncanakan bukan oleh kekuatan domestik tapi oleh asing dan kekuatan kapitalisme global.

Pemerintahan RI sejak jaman Orba sampai sekarang ini, tidak mempunyai desain industrialisasi yang kuat dan mandiri dari hulu sampai hilir, industrialisasi yang muncul dibawah desain global.  Industrial leadership  tidak terbangun diaras domestik, hanya mengandalkan industri ekstraktif dengan nilai ekonomi rendah. Minyak dan tambang diambil lalu diekspor murah, pohon ditebang dijual cepat, ikan ditangkap lalu dijual cepat. Pola kerja indristri ekstraktif tadi malah memberikan celah terbentuknya mafia ekonomi dan konglomerat-konglomerat lokal yang sejatinya melakukan kerja deal-deal domestik antara penguasa dan pengusaha. Selain  itu, oligarki politik juga memainkan peran besar sebagai relasi kuasa dengan para cukong ekstraktif tadi. Contoh lainnya disektor riil , bisa dibayangkan sebuah negara dengan garis pantai terpanjang diseluruh dunia tetapi untuk produk garam saja harus impor. Selain itu, bayangkan untuk negara yang tanahnya mayoritas subur dan layak dinanami, dengan hanya menancapkan batang ketela pohon (singkong) saja bisa berhasil. Tapi ironisnya sekarang, singkong pun harus impor dari negara lain, seperti Vietnam. Pola pikir terus pinjam dan impor ini yang membuat Indonesia tidak bisa berdiri diatas kaki sendiri, bagaimana untuk bangkit berdiri saja sulit. Maka lengkaplah sudah Indonesia sebagai  negara tanpa konsep solusi yang sistematis, semua hanya berdasarkan deal-deal domestik semata untuk kepentingan domestik selegitir orang bukan untuk (kebangkitan) bangsa yang dicita-citakan itu. Itu hanya semu, setidaknya sampai hari ini. 

*Ilustrasi diambil dari Buku Sejarah Gerakan Kiri Indonesia Untuk Pemula, hal-477. 

Frans Ari Prasetyo 

-Peneliti Mandiri

Ikuti tulisan menarik Frans Ari Prasetyo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler