Baiklah, Ekonomi Turki Memang Bagus, tapi...
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBEkonomi Turki memang tak terlihat sedang dalam krisis. Tapi, misalkan itu bangunan, fondasinya problematik.
Sebagian amunisi dari argumen para pendukung rezim Recep Tayyip Erdogan dan Partai Keadilan dan Pembangunan yang berkuasa di Turki adalah kemajuan ekonomi negara itu. Buat mereka, prestasi ini saja sudah lebih dari cukup untuk menutup mata terhadap kekurangan Presiden Erdogan yang sebenarnya sangat serius di area lain seperti antikritik, represif terhadap kebebasan berpendapat, menggencet minoritas, dan langkah-langkah politiknya yang mengarah ke kediktatoran. Tapi, sebenarnya, bahkan dalam ekonomi yang dianggap sebagai prestasi mengkilap itu secara substansial terkandung kondisi yang problematik.
Sejauh ini, sekurang-kurangnya di permukaan, ekonomi Turki memang tak terlihat sedang mengalami krisis. Masalahnya, ibarat bangunan, ekonomi itu berdiri di atas fondasi yang lemah.
Pertumbuhan memang masih terjadi, hanya, dibandingkan dengan yang dicapai ketika Erdogan menjabat Perdana Menteri (2003-2014), lajunya sudah jauh lebih rendah (dulu pernah 7-8 persen per tahun, kini di bawah 5 persen). Penyumbang terbesar dari pertumbuhan itu adalah konsumsi--serupa dengan yang terjadi pada ekonomi Indonesia. International Monetary Fund memperkirakan ekonomi Turki akan terus menyusut, tumbuh hanya 3,5 persen pada 2018.
Indikator lain adalah defisit neraca berjalan. Angkanya sudah teramat besar, dan ajek; di mana-mana kondisi seperti ini bakal membunyikan alarm kewaspadaan. Tahun lalu harga minyak yang rendah dan berkurangnya impor barang-barang lain karena melemahnya lira Turki masih menolong defisit bertahan di 4,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Tapi industri wisata yang lesu, sebagai dampak dari serangkaian serangan terorisme akhir-akhir ini, diperkirakan bakal semakin menggelembungkan defisit, jadi 5 persen tahun ini dan 5,4 persen pada 2017.
Sebenarnya keadaan tekor itu tak bakal jadi masalah andaikata optimisme pemilik dana dan investor asing bisa dijaga terus-menerus. Dalam kenyataannya, ini bukan perkara mudah. Penghambatnya, sebelum kudeta gagal pada 16 Juli lalu, menurut para analis: nilai tukar lira yang sangat rentan menyusut.
Situasinya jadi tampak sangat tak menguntungkan jika diperhitungkan pula pula jumlah utang luar negeri yang makin gendut, akibat dari kenaikan terus-menerus--jika pada 2008 total nilainya merupakan 38 persen dari PDB, pada 2015 sudah menggelembung jadi 55 persen. Sebagian besar utang itu dalam mata uang asing.
Kemerosotan nilai tukar lira yang tak bisa dicegah bakal menimbulkan situasi besar pasak daripada tiang di perusahaan-perusahaan. Jika pemilik dana dan investor asing galau, lalu memilih hengkang, Turki bakal seperti musafir yang kehabisan air dan terjebak di tengah padang pasir.
Yang masih bisa membantu Turki terhindar dari bencana, menurut para analis, adalah fakta bahwa kebanyakan utang itu berjangka panjang. Untungnya pula banyak perusahaan, misalnya yang bidang usahanya energi dan properti, mematok harga dalam dolar--yang jadi berfungsi layaknya lindung nilai jika terjadi depresiasi lira.
Ada satu hal menguntungkan lagi, sesuatu yang bersifat eksternal: efek dari referendum yang mengeluarkan Inggris dari Uni Eropa (Brexit) dan lesunya ekonomi global. Kedua situasi ini memupus kekhawatiran bakal ada pengerekan suku bunga di negara-negara kaya--yang bisa menimbulkan pelarian modal dari negara-negara yang pasarnya baru mau maju.
Tentu saja penyebab rapuhnya faktor-faktor fundamental tersebut tak bisa dibiarkan. Pemerintah Turki menghadapi pekerjaan rumah bertumpuk; semua itu mesti dibereskan jika pertumbuhan ekonomi mau terus dipacu. Apalagi jika Turki hendak dihindarkan dari “perangkap pendapatan menengah”--kondisi ketika suatu negara tak bisa naik kelas ke tingkat pendapatan yang lebih tinggi karena hambatan-hambatan yang menyebabkan rendahnya investasi dan pertumbuhan di industri sekunder, serta terbatasnya diversifikasi industri dan buruknya kondisi pasar tenaga kerja.
Para analis umumnya sependapat bahwa semua masalah itu membutuhkan kesediaan untuk merombak aturan. Pemerintah Turki harus menjadikan lebih mudah setiap kegiatan yang berujung pada kemauan menabung, kemudahan berinvestasi dan merekrut tenaga kerja, serta perbaikan kualitas pendidikan.
Di situlah Erdogan dinilai justru sibuk dengan pikirannya sendiri, dan lebih kepincut dengan langkah-langkah reparasi yang bersifat tambal sulam. Kerap keinginannya bahkan tak masuk akal. Misalnya dia secara terbuka mengkritik bank sentral (yang mestinya independen, setidaknya di atas kertas) karena mempertahankan suku bunga yang tinggi; dia menuduh ada “lobi suku bunga” yang sengaja mencekik hasrat untuk berinvestasi. Atau dia menyatakan bahwa suku bunga rendah bakal menurunkan inflasi--sesuatu yang bertolak belakang dengan pendapat umum selama ini.
Di negara mana pun, kemauan untuk mereformasi aturan-aturan yang mengekang umumnya terhambat oleh tarik-menarik di antara pemilik-pemilik kepentingan yang merapat ke pemegang kekuasaan atau elite. Reformasi jadi lebih sulit diwujudkan jika penguasa mengambil manfaat juga dari kondisi itu, apa pun motifnya. Erdogan, yang dikabarkan memiliki kekayaan 139 juta poundsterling dan sekurang-kurangnya tiga istana, serta istri yang hobi belanja barang-barang mewah, akan terbebaskan dari kecurigaan bahwa dia sesungguhnya melayani para pemilik kepentingan dan dirinya sendiri hanya jika dia sepenuhnya berani memenuhi tuntutan reformasi itu.
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Dear Capres, Gausa Banyak Janji!
Selasa, 27 Juni 2023 20:16 WIBMaartje, Sepeda, dan Bandung
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler