x

Iklan

Swasti Mukti

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Enam Huruf

“Pergi. Bisa jadi mati. Menurutmu enaknya bagaimana? Kamu tanya soal ibu punya siapa?”

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Aia.

 

“Pak, kenapa begitu sih? Kan aneh …”

 

Untuk kesekian ribu kalinya ia bertanya pada Bapak. Lagi-lagi tentang namanya, yang juga telah sekian ribu kali dipertanyakan oleh teman-temannya.

 

“Nggakpapa, kan bagus mudah diingat,” jawab Bapak, tak pernah lelah dan berubah sejak kali pertama.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Aia kembali menyibukkan diri dengan cucian piring di dapur, sambil berteori sendiri. Bapaknya, entah dapat wangsit dari mana, gemar memberi nama-nama yang singkat pada kedua anaknya: Aua dan Aia. Tiga huruf saja, vokal semua. Padahal mereka tidak kembar, usia terpaut dua tahun.

alphabet art

Mungkin waktu kami lahir dulu Bapak belum lancar baca tulis. Ah, mana mungkin! Kan Bapak tamatan SMP.

 

Mungkin Bapak khawatir akan pikun jika sudah tua nanti, jadi memberi nama anaknya yang singkat-singkat saja.

 

Ketidakjelasan tentang inspirasi Bapak dalam penamaan ini sama tidak jelasnya dengan ingatan Aua dan Aia tentang ibu-ibu mereka.

 

Ibu-ibu. Ah, lagi-lagi terbentur kata. Betul memang dua bersaudara itu terlahir dari ibu yang berbeda. Dua-duanya sudah tiada.

 

“Pak, memangnya ibu kemana?” pernah suatu saat abangnya bertanya.

 

“Pergi. Bisa jadi mati. Menurutmu enaknya bagaimana? Kamu tanya soal ibu punya siapa?”

 

Eeeh, Bapak bisa-bisanya menyuruh kami memilih. Karena sama-sama tidak ingat bagaimana, dimana, dan mengapa tentang ibu-ibu kami, Bapak pernah berpesan:

 

Wajar kalian tidak ingat, justru menyenangkan kalian bisa mengarang sosok ibu sesuka hati. Karanglah yang baik, yang penting jangan mengarang apa-apa soal Bapak.

 

Hingga suatu saat, ketika Bapak belum pulang bekerja, Abangnya berteori.

 

Ada lima huruf vokal dalam abjad kita, dan 21 sisanya adalah huruf konsonan. Huruf vokal kadang disebut huruf hidup, dan konsonan disebut huruf mati. Nama-nama manusia pada umumnya terdiri dari susunan huruf vokal dan konsonan, artinya sesaat kita hidup dan sewaktu-waktu bisa mati. Menurutku, nama kita berdua melambangkan kehidupan. Bagi kita, bagi Bapak.

 

“Teorimu masuk akal, Bang. Punya teori juga tentang ibu? Atau ibu-ibu?” tanya Aia sekedar untuk menghormati usaha abangnya dalam menyusun teori yang penuh metafora itu.

 

Huruf-huruf konsonan melambangkan ibu kita. Atau ibu-ibu, terserahlah. Mereka tidak pernah ada, sah dianggap mati. Meninggalkan Bapak membesarkan kita berdua sendirian. Soal siapa mereka? Mungkin sama tidak pentingnya dengan nama-nama yang terpahat di nisan-nisan di kuburan di samping pembuangan sampah sana.

 

Aia jengkel, teori abangnya tidak menjawab apa-apa. Dari dulu kepalanya selalu di awang-awang, tinggal tunggu waktu ubun-ubun abangnya bocor terbentur bintang. Aia geli, karena mustahil ubun-ubun abangnya terbentur bintang tanpa lebih dahulu terantuk atap seng rumah mereka yang bergambar galaksi bau karat.

 

Malam itu, mereka berkumpul seperti biasa mengelilingi bakul nasi dan sayur lauk ala kadarnya, dan tanpa mukadimah Bapak melontarkan wacana.

 

“Kalian boleh ganti nama. Itu juga kalau mau. Ada waktu dua hari untuk memutuskan,” ujar Bapak sembari menjilati jari-jarinya. Ritual. Ada yang bilang sunnah Rasul.

 

Ternyata sore tadi Bapak sempat menghadiri sosialisasi dari Pak RT tentang pembuatan KTP, KK, dan lain-lain tetekbengek supaya dianggap orang Indonesia.

 

Hahh?? Ganti nama??

 

“Kalian senang toh? Pilih sendiri nama kalian maunya jadi apa, boleh lengkap dengan arti dan kisah dibaliknya,” kelakar Bapak.

 

Aia menyenggol kaki abangnya yang masih melongo pasca mendengar pengumuman terpenting abad ini. Aia sudah mulai mendaftar nama-nama putri raja zaman dahulu di kepalanya. Abangnya masih diam, menyibukkan diri dengan remah gorengan tempe yang tersisa di dasar piringnya.

 

“Pak, waktu bikin surat-suratnya bisa sekalian diadakan nama ibu? Kita sebut siapa kek, asal ada,” tiba-tiba Aua menimpali Bapakknya.

 

“Ngawur! Mau kalian ganti nama ala bule juga di KK cuma ada kita bertiga. Ber-ti-ga! Seperti jumlah huruf di nama kalian,” jawab Bapak.

 

Sisa malam itu berlalu dalam diam, masing-masingnya terbenam dalam percabangan jikalau-jikalau yang seolah tak ada ujung pangkalnya.

 

“Ya sudah,” teriak  Aia dari kamarnya seraya menarik selimutnya hingga menutup kepala.

 

“Ya sudah,” tambah Aua dari bangku bambu di beranda depan rumah mereka.

 

Dua hari kemudian.

 

“Ya sudah,” kata Pak RT sambil memanyunkan mulut serta memperbarui daftar penduduk di wilayah kekuasaannya.

 

Kepala keluarga.

 

Ditambah dua nama. Enam huruf. Semua sama. Tetap tidak ada ibunya. Atau ibu-ibunya. Tak masalah baginya yang penting mereka rutin bayar kas RT.

Ikuti tulisan menarik Swasti Mukti lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler