x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pandangan Kemanusiaan Voltair dalam Si Lugu

Awas! Agama, aliran, ras bisa menjadi titik awal penistaan terhadap liyan. Politikus cenderung menggunakannya untuk kepentingannya tanpa peduli kemanusiaan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Si Lugu

Judul Asli: L’Ingenu

Penulis: Voltair

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penterjemah: Ida Sundari Husen

Tahun Terbit: 2003 (edisi kelima)

Penerbit: Yayasan Obor Indonesia                                                                            

Tebal: xi + 118

ISBN: 979-461-032-1

 

 

Untuk apa membaca dongeng yang ditulis pada abad 18? Dongeng Perancis lagi! Apa gunanya? Membaca dongeng selalu menarik. Sebab dongeng adalah salah satu karya tulis yang tak lekang oleh waktu dan tak retak karena kala. Dongeng dipakai untuk memuat nasihat-nasihat atau ajaran-ajaran yang perlu diteladani. Dongeng memiliki sifat ringan, tidak menggurui sehingga bisa menjadi wahana yang tidak konfrontatif dalam membawa sebuah pendapat/ajaran/nasihat. Namun karena dongeng biasanya menggunakan seting tokoh, geografi dan budaya tertentu untuk membangun alurnya. Maka membaca dongeng memerlukan pengetahuan yang cukup tentang latar belakang dimana dongeng tersebut dicipta. Kita tertolong karena kepiawaian Voltaire dalam mengemas dongengnya. Alur cerita Voltaire sangat sederhana, ungkap Ida Sundari Husen – sang penterjemah. Kita tetap bisa menikmati dongeng ini tanpa harus memiliki pengetahuan yang cukup tentang Perancis abad 18. Sebab kisahnya memang mudah dipahami.

Dongeng Voltaire berkisah tentang seorang pemuda bernama Si Lugu. Seorang pemuda Kanada keturunan suku Indian Huron. Ia diberi nama Si Lugu oleh orang Inggris karena ia selalu mengatakan dengan polos apa yang dia pikirkan dan selalu melakukan semua yang dia inginkan. Dia datang ke sebuah pantai di Perancis. Dari sinilah cerita tersebut mulai.

Baiklah saya kisahkan kembali secara singkat dongeng karya Voltair ini. Si Lugu yang disangka orang Huron akhirnya diketahui bahwa sesungguhnya dia adalah kemenakan dari Pastor de Karkabon. Ia adalah anak dari saudara sang Pastur yang pindah ke Kanada sebagai seorang tentara. Sang Pastur berupaya untuk mendidik Si Lugu supaya kelak bisa menggantikannya sebagai pastor. Dengan kecerdasannya Si Lugi secara cepat memahami isi kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Si Lugu siap untuk dibabtis. Setelah melalui proses pembabtisan yang dramatis, Si Lugu jatuh cinta kepada Nona de Saint-Yves. Percintaan ini terlarang karena Nona de Saint-Yves adalah ibu permandiannya. Dalam tradisi Katholik, adalah terlarang menikahi ibu permandiannya sendiri, kecuali mendapat persetujuan dari Paus – sang Kepala Gereja. Karena kenekatan Si Lugu yang ingin menikahi kekasihnya, sampai-sampai Nona de Saint-Yves harus diungsikan di biara.

Dalam kefrustasiannya karena tak bisa membebaskan kekasihnya, Si Lugu membunuh orang Inggris yang mau menyerang desanya. Keberhasilannya membebaskan desa dari serangan Inggris ini membuat Si Lugu mendapat banyak anugerah dari para tetua desa. Ia didorong untuk menghadap raja supaya mendapatkan penghargaan. Maka berangkatlah Si Lugu ke Paris untuk menghadap raja.

Perjalanannya ke Paris ini bukannya menghasilkan penghargaan, tetapi malah membuatnya masuk penjara. Di penjara dia bertemu dengan Gordon, seorang penganut aliran Jansenisme. Si Lugu membaca buku-buku yang dimiliki oleh Gordon. Pengetahuan Si Lugu berkembang pesat. Namun cara Si Lugu memandang dunia tetap tidak berubah. Malah komentar-komentar Si Lugu yang tanpa prasangka membuat Gordon menyadari kepicikannya.

Menyadari bahwa kekasihnya ada dalam bahaya, Nona Saint-Yves berupaya membebaskan Si Lugu. Mula-mula dia menipu sang Hakim supaya bisa keluar dari biara. Selanjutnya ia menemui beberapa pejabat untuk mengupayakan pembebasan Si Lugu kekasihnya. Upaya pembebasan Si Lugu hanya bisa dilakukan apabila Nona Saint-Yves mau menyerahkan kegadisannya kepada Yang Mulia Saint Pouange - pejabat Wakil Menteri yang berhak mengeluarkan surat pembebasan. Meski sangat berat, karena cinta, Nona Saint-Yves yang sudah mendapat nasihat dari Pastor Jesuit bersedia menyerahkan kegadisannya demi kebebasan sang kekasih. Demikian pula untuk membebaskan Gordon, Nona Saint-Yves sekali lagi harus menemani tidur sang Wakil Menteri.

Kebebasan Si Lugu dan Gordon dirayakan seluruh keluarga. Keluarga Karkabon dan Pastor Saint-Yves akhirnya menyetujui pernikahan antara Nona Saint-Yves dengan Si Lugu. Sayangnya penderitaan yang begitu hebat yang dialami oleh Nona Saint-Yves membuatnya sakit dan akhirnya meninggal.

Kisah tragis ini akhirnya ditutup dengan diangkatnya Si Lugu menjadi perwira militer di Kerajaan Perancis. Si Lugu hidup sebagai tentara yang sukses. Ia tetap berteman dengan Gordon, seorang penganut Jansenisme yang sudah sadar dari kepicikannya.

 

Berbeda dengan Nietzsche yang memberi nama manusia idamannya sebagai “Manusia Unggul” dimana manusia harus bertanggung jawab atas dirinya sendiri dan tak perlu bersandar bahkan kepada Tuhan, Voltair tidak. Voltair lebih menekankan kemanusiaan dalam relasi antar manusia. Voltair hanya menyebutkan bahwa kebebasan dan obyek untuk dicintai adalah dua syarat pokok supaya manusia hidup sempurna. Dalam dongeng Si Lugu ini, Voltair menunjukkan bahwa manusia seharusnya menyampaikan pendapat yang asli, tanpa prasangka dan bertindak sesuai dengan apa yang diingini. Obyek yang dicintai, dalam hal ini adalah Nona Saint-Yves adalah motivasi untuk hidup. Obyek yang dicintai membuat gairah hidup manusia. Kebebasan dan obyek yang dicintai harus diperjuangkan, walau harganya adalah nyawa.

Voltair mengkritik perdebatan agama, aliran dan dogma yang sampai harus saling menindas bahkan membunuh. Menurut Voltair mempertahankan agama, aliran dan dogma adalah sebuah kebodohan. Agama, aliran dan dogma bukanlah hal utama dalam hidup manusia. Sebab agama, aliran dan dogma tanpa menghargai kemanusiaan sesungguhnya adalah pengingkaran terhadap eksistensi manusia itu sendiri. Voltair menggunakan dialog antara Si Lugu dengan Gordon si penganut Jansenisme yang kemudian mendapat pencerahan.

Pandangan Voltair tentang pejabat negara dan pejabat agama (dalam hal ini adalah gereja) sangatlah buruk. Para pejabat ini, baik pejabat negara maupun pejabat gereja adalah orang-orang yang mengasihani dirinya sendiri. Mereka adalah orang-orang yang harus mendapatkan hak-hak khusus supaya eksistensinya bisa tegak. Para pejabat gereja (pastor) yang sulit ditemui karena sedang rapat dengan nona A atau nona B di ruang tertutup. Atau pejabat negara yang harus mendapat imbalan tertentu untuk keputusan yang mereka buat, yang mestinya sudah menjadi tugas mereka.

Yang lebih parah lagi, Voltair mengungkapkan kerjasama antara pejabat negara dengan pejabat agama akan menimbulkan kekejaman dan kezaliman. Kisah Nona Saint-Yves yang melaporkan permintaan Wakil Menteri untuk menidurinya kepada kepala gereja adalah contohnya. Bukannya mengutuk sang Wakil Menteri, si Pastor kepala gereja malah mencari dalil bahwa pengorbanan untuk cinta bukanlah dosa.

Secara khusus, Voltair mengungkapkan bahwa setiap keberhasilan pria selalu ada perempuan yang berkorban. Secara ekstrim Voltair memberi contoh bagaimana jabatan di pemerintahan didapat dari pengorbanan para istri. Para pejabat pemerintah (lelaki) mendapatkan kedudukannya karena perempuan yang menjadi istrinya rela berkorban dengan menjadi penghangat ranjang pimpinan suaminya. Perempuan memang makhluk yang rela berkorban bagi kebahagiaan umat manusia.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB