x

Iklan

Fandy Hutari

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Donasi dan Cacat Sejarah

Nama Ilyas Karim kembali mengemuka setelah rumahnya di Rawajati, Jakarta Selatan menjadi salah satu yang digusur awal bulan ini. Siapa Ilyas Karim?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kamis (1/9) pagi, situasi di Jalan Rawajati Barat, Pancoran, Jakarta Selatan, memanas. Ratusan aparat gabungan menerobos masuk ke pemukiman warga. Namun, warga melakukan perlawanan. Ricuh pun terjadi.

Pagi itu, bangunan pinggir rel kereta api memang menjadi target penertiban. Daerah tersebut rencananya akan dijadikan ruang terbuka hijau. Sejak 2015 lalu, Pemerintah Kota Jakarta Selatan sudah mengeluarkan surat edaran untuk mengosongkan wilayah tersebut.

Salah seorang warga yang terdampak penggusuran tersebut adalah Ilyas Karim. Pria sepuh ini mendaku sebagai salah satu dari dua pengibar bendera merah putih saat proklamasi kemerdekaan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebuah aksi solidaritas pun muncul dari penulis Jonru Ginting. Pria yang biasa mengangkat isu-isu politik di fanpage Facebook-nya itu, tetiba membuka penggalangan dana di salah satu situs donasi.

“Ya ini sudah nasib. Bukti nyata pemerintah tidak menghargai sejarah dan tak tahu sejarah,” kata Ilyas, seperti dikutip Jonru dari JPNN.com untuk artikel singkat situs donasi itu.

Pria berusia 85 tahun itu memang sudah lama tinggal di Rawajati. Disebutkan, ia sudah tinggal sejak 35 tahun silam. Tak lupa, Jonru pun memampang foto Ilyas dan foto saat pengibaran bendera itu di atas artikel.

Tak tanggung-tanggung, Jonru menargetkan angka Rp50 juta sebagai patokan akhir donasi ke keluarga Ilyas, melalui Jonru Media Center. Saat ini, angkanya sudah lebih dari Rp50 juta.

Jika kita amati di sini, donasi tersebut digiring ke persepsi orang bahwa Ilyas Karim adalah salah satu dari pelaku sejarah pengibar bendera pertama di kediaman Bung Karno, Jalan Pegangsaan Timur 56, Cikini, Jakarta Pusat.

Dalam foto tersebut, ada tanda panah berwarna kuning menunjuk ke arah pemuda bercelana pendek. Di sebelah pemuda itu ada Shudanco Singgih yang ikut mengerek bendera. Peristiwa itu disaksikan poleh Bung Karno, Bung Hatta, Fatmawati, dan Rahmi Hatta.

Pemuda bercelana pendek yang membelakangi kamera itu yang diklaim sebagai Ilyas Karim. Buktinya? Hanya sebuah fotokopian foto yang dipampang di situs itu. Dalam keterangan foto itu----entah foto tersebut berasal dari mana, kemungkinan buku pelajaran sejarah---ada tiga kejanggalan.

Pertama, pria berseragam tentara PETA yang mengerek bendera bukanlah Shudanco Singgih, tapi Latief Hendraningrat. Soekarno sendiri yang mengatakan hal itu di buku biografinya yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat.

“Tidak ada orang yang ditugaskan untuk mengerek bendera. Tiada persiapan untuk itu. Dan, tak seorang pun berpikir sampai ke situ. Kapten Latief Hendraningrat sebagai salah seorang di antara beberapa gelintir orang berpakaian seragam berada dekat tiang,” kata Bung Karno dalam biografinya itu.

Kemudian, adanya sosok Rachmi Hatta di sana. Benarkah ia Rachmi Hatta? Ini jelas logikanya menyimpang. Rachmi sendiri baru menikah dengan Bung Hatta pada 18 November 1945, tiga bulan setelah proklamasi. Mungkinkah perempuan yang belum menikah secara resmi sudah menyandang nama suaminya di belakang namanya?

Suatu hari, Bung Hatta pernah mengucap sumpah. Ia tak akan pernah menikah sebelum Indonesia merdeka. Sumpah itu ia buktikan dengan mempersunting Rachmi Rachim yang kala itu masih berusia 19 tahun, tiga bulan pascaproklamasi.

Atas fakta tadi, menurut kurator Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jaka Perbawa, tak ada peran dan kepentingan Rachmi hadir saat 17 Agustus 1945. Sebab, kenal saja belum dengan Bung Hatta. Jaka menyebut, foto perempuan bersanggul itu adalah SK Trimurti.

Jika foto itu berasal dari sumber terbitan zaman Orde Baru, kemungkinan besar penguasa masa itu sengaja mengganti nama SK Trimurti menjadi Rachmi Hatta. Kenapa? Jika sumber foto itu dari sebuah buku yang tak salah cetak, mungkin saja untuk menghilangkan jasa para pejuang dari golongan kiri.

Untuk diketahui, SK Trimurti adalah istri dari pengetik naskah proklamasi, Sayuti Melik. Pada 1950, ia mendirikan organisasi perempuan Gerakan Wanita Indonesia Sedar (Gerwis),yang kemudian berubah nama menjadi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani).

Organisasi ini kerap dihubung-hubungkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Padahal, Gerwani adalah organisasi independen yang mengangkat isu sosialisme dan feminisme, seperti urusan hukum perkawinan, hak buruh, dan nasionalisme. Pascatragedi 1965 organisasi ini selalu dikaitkan dengan tindakan amoral dan gangguan.

Kejanggalan terakhir adalah foto pemuda bercelana pendek dalam foto. Ilyas mengaku, pemuda itu adalah dirinya. Kisah pengakuan Ilyas sebenarnya sudah lama. Kisah ini muncul dan menjadi perbincangan publik pada 2008 hingga 2011 lalu. Namun, banyak kalangan membantah jika pemuda bercelana pendek itu adalah Ilyas.

Mengacu pada buku Revolusi Agustus; Nasionalisme Terpasung dan Diplomasi Internasional karya Suhartono W Pranoto, disebutkan bahwa pemuda itu bernama Suhud. “Tepat pukul 10.00, upacara dimulai. Latief Hendraningrat memasang bendera pusaka dan menaikkannya ke tiang bambu yang dibantu pemuda Suhud,” tulis Suhartono.

Pada Agustus 2011, anak Bung Hatta, Halida Hatta, pun sudah membantah pemuda bercelana pendek itu adalah Ilyas Karim. Menurut Halida, tak ada yang bernama Ilyas Karim dalam pengibaran bendera pertama. Lebih lanjut, Halida mengatakan selain Bung Karno dan Bung Hatta, tokoh-tokoh yang ada di foto pengibaran bendera pertama adalah SK Trimurti, Latief Hendraningrat, Wangsa Wijaya, Soewirjo, dan Suhud Sastro Kusumo.

Sebenarnya, pengakuan Ilyas mirip dengan Andaryoko Wisnuprabu. Masih ingat? Pada 2008, ia membuat geger sejarah Indonesia. Ia mengaku sebagai Supriyadi, pahlawan Pembela Tanah Air (Peta) yang hilang tak tahu rimbanya pada Februari 1945 setelah melakukan pemberontakan kepada Jepang di Blitar, Jawa Timur.

Kisah Andaryoko yang mendaku Supriyadi itu diabadikan dalam bentuk buku Mencari Supriyadi; Kesaksian Pembantu Utama Bung Karno oleh sejarawan Baskara T Wardaya. Namun, pengakuan pria yang wafat pada 2009 lalu itu dibantah banyak pihak.

Dalam sebuah diskusi buku Mencari Supriyadi pada 2008, Andaryoko diberondong beberapa pertanyaan terkait riwayat Supriyadi, seperti Supriyadi lulusan mana, siapa guru asal Padang yang mengajarnya dahulu, di asrama mana Supriyadi tinggal, serta bersama siapa saja di asrama itu. Hasilnya, Andaryoko tak bisa menjawab.  

Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam pun meragukan kalau Andaryoko adalah Supriyadi. Namun, Asvi tak menampik kalau Andaryoko adalah anggota Peta Blitar. Dalam sebuah wawancara dengan salah satu situs media online, Asvi mengatakan, setelah Indonesia merdeka ia bekerja menjadi pegawai pemerintahan di Semarang, Jawa Tengah.

“Tapi menurut saya, dia bukan Supriyadi, karena kalau asli kenapa tidak muncul dari dulu,” kata Asvi.

Setelah muncul kembali beberapa pihak yang menyebut Ilyas Karim bukan sang pengibar bendera pertama, judul artikel di situs donasi itu pun berubah. Awalnya, memakai judul “Dukung H Ilyas Karim (Pengibar Bendera Proklamasi)”. Kemudian menjadi “Bantu H Ilyas Karim, Veteran yang Rumahnya Digusur”.

Terlepas dari itu, dalam ensiklopedia online Wikipedia, disebutkan bahwa Ilyas memang seorang pensiunan TNI. Tercatat, ia adalah anggota Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Bandung, yang berubah namanya menjadi Siliwangi.

Nasib Ilyas sebagai seorang veteran memang kelam. Ia pernah mengalami beberapa kali penggusuran. Setelah dua tahun pensiun, pada 1982 ia diusir dari tempat tinggalnya di asrama tentara Siliwangi Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Lalu, ia membangun rumah seluas 50 meter persegi do atas sebidang tanah pinggir rel kereta api Kalibata, Jakarta Selatan pada 1985. Tanah itu adalah pinjaman Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA)---sekarang PT Kereta Api.

Tapi, malang tak bisa ditolak. Pada 2008, ia mendapatkan surat dari Pemprov DKI Jakarta dan harus angkat kaki dari rumahnya pada 2009 karena akan dibangun rumah susun milik pemerintah. Pada 2011, Ilyas sempat dijanjikan oleh Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto menempatkan sebuah apartemen di Kalibata City. Akan tetapi, janji tinggal janji.

Meski demikian, usaha Jonru membantu orang yang sedang kesusahan memang patut diapresiasi. Saya angkat topi. Namun, menurut saya, tak perlu menambahkan bumbu sejarah yang masih kontroversial. Selain itu, ada baiknya pula Jonru membantu warga lain yang ikut terdampak penggusuran. Jika masih bisa membantu.

Jika Ilyas merasa benar ia adalah pelaku pengibar bendera pertama, tentu bisa membuktikannya dengan berbagai data. Sebab, menurut sejarawan Kuntowijoyo, sejarah itu memiliki sifat berdasarkan fakta, diakronis, ideografis, unik, dan empiris. Sejarah bersifat empiris itu bersandar pada pengalaman manusia yang sebenarnya, baik itu secara indrawi atau batiniah. Oleh karena itu, sejarah memerlukan bukti-bukti, baik secara tertulis seperti prasasti, kronik, catatan, dokumentasi, serta tak tertulis seperti artefak, fosil, dan candi.

Namun, kita harus angkat topi dengan perjuangan Ilyas. Selain pernah menjadi anggota TKR, ia pun pernah bertugas sebagai pasukan perdamaian di Libanon dan Vietnam. Jasa Ilyas sebagai pejuang tentu harus kita hargai. Tapi, bukan sebagai salah seorang pengerek bendera pusaka.

 

Fandy Hutari, wartawan dan penulis lepas. Mengasuh blog www.fandyhutari.com

Ikuti tulisan menarik Fandy Hutari lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB