x

Iklan

yswitopr

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ketika Negara Dikangkangi

Apalah artinya Bangsa Indonesia diakui oleh negara lain, sementara tidak oleh rakyatnya sendiri?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pada hari Selasa, 6 September 2016, yang lalu telah terjadi peristiwa intoleransi di Solo. Sebuah kegiatan keagamaan nyewu (peringatan 1000 hari) dibubarkan secara paksa oleh beberapa orang. Perayaan Ekaristi peringatan arwah yang dipimpin oleh Romo Andre MSF tersebut diadakan di pendapa Kelurahan Penumping, Solo.

Peristiwa ini menimbulkan tanya: mengapa bisa terjadi? Bukankah Negara Kesatuan Republik Indonesia ini memberikan jaminan bagi pemeluk agama dan termasuk menjalankan ibadahnya?

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pelanggaran Prosedur?

Kegiatan keagamaan tersebut diadakan di pendapa kelurahan. Mungkin kita berpikir adalah salah menggunakan fasilitas negara untuk ritual keagamaan.

Sebelum sampai kepada penilaian itu, marilah kita melihat apa yang menjadi kebiasaan di Kelurahan Penumping. Adalah menjadi kebiasaan bahwa pendapa tersebut digunakan untuk umum, termasuk kegiatan ibadah. Kegiatan-kegiatan tersebut bisa diadakan di pendapa setelah mendapat ijin dari kelurahan. Adanya izin ini menandakan Negara (baca: Kelurahan) telah memberikan jaminan dan sekaligus bukti tidak ada prosedur yang dilanggar.

“Kami sudah mendapatkan izin dari kelurahan sehingga tidak seharusnya acara itu dibubarkan paksa,” jelas Paulina Ursula. Adanya ijin yang telah diberikan Lurah Penumping kepada keluarga satu minggu sebelum acara menandaskan bahwa misa arwah tersebut sah.

Fakta ini menunjukkan bahwa alasan pelanggaran prosedur yang sering didengungkan oleh kelompok intoleran tidaklah tepat alias salah sasaran. Dalih pelanggaran prosedur ini terjadi juga di tempat lain. Bahkan IMB yang sudah turun pun bisa digugat untuk dibatalkan. Ini menjadi fenomena yang menarik untuk ditelisik lebih lanjut. Mengapa Negara seolah mandul menghadapi kelompok intoleran?

 

Pelaku Intoleran adalah warga setempat?

Saya bahkan berani menyimpulkan bahwa pelaku intoleran bukanlah warga sekitar kejadian. Dalam kejadian di Penumping, Lurah Penumping dengan jelas mengatakan bahwa ia tidak mengenal orang-orang yang membubarkan misa arwah dengan paksa itu. Lurah Penumping sendiri hadir dalam kegiatan tersebut karena acara nyewu itu dibagi dalam dua bagian. Bagian pertama adalah misa arwah untuk umat Katolik. Bagian kedua adalah undangan untuk masyarakat sekitar.

Selain fakta Lurah Penumping yang tidak mengenal para pelaku, ada fakta lain. Bapak Wahyudi, istri mendiang, adalah warga yang mau membaur. Ia ikut arisan di RT. 95% anggota arisan Muslim dan semuanya diundang dalam acara nyewu tersebut. Meskipun acara misa arwah belum selesai seperti direncanakan, namun msayarakat yang datang berkenan menunggu hingga misa arwah selesai. Bukankah ini pertanda penerimaan masyarakat pada keluarga bapak Wahyudi?

“Takmir Masjid merasa jengkel dan malu karena beliau juga diundang ke acara itu” ungkap Paulina. Dalam konteks ini tampak jelas bahwa keluarga bapak Wahyudi adalah warga yang diterima di tengah masyarakat. Jika demikian, apakah mungkin masyarakat sekitar yang melakukan pembubaran secara paksa sementara mereka sendiri hadir pada bagian kedua dalam acara nyewu tersebut?

Pelaku bukan warga setempat juga terjadi di kasus-kasus intoleran lain. Mereka datang dari tempat lain untuk mengusik keharmonisan yang telah terjalin di tengah masyarakat. Tentu persoalan ini menimbulkan pertanyaan besar: kok bisa? Sementara masyarakat sekitar adem ayem, orang dari daerah lain justru datang untuk memanaskan situasi yang sudah kondusif. Siapa yang menggerakkan pelaku-pelaku intoleran ini?

Pertanyaan ini semakin menjadi karena para pelaku tidak hanya menggunakan agama sebagai alasan. Para pelaku juga meneriakkan kata-kata rasis. “Cina Kristen minggat…” adalah salah satu contoh kalimat yang demikian rasis. Ini adalah bumi Indonesia dan melindungi setiap warga negaranya. Bumi Indonesia bukanlah monopoli kelompok tertentu.

*****

Peristiwa di Penumping adalah sebuah pertanda bahwa negara ini telah dikangkangi oleh kelompok-kelompok intoleran. Kelompok yang ingin menjadikan kelompoknya sebagai yang paling suci dan benar. Kejadian-kejadian intoleransi terus menerus menerpa negeri ini. Tidak seharusnya negara tinggal diam.

Kedaulatan negara tidak hanya berlaku ketika negara ini berhadapan dengan negara lain yang ingin mengganggu stabilitas negara. Apalah artinya Bangsa Indonesia diakui oleh negara lain, sementara tidak oleh rakyatnya sendiri? Kedaulatan negara harus tampak di dalam, yaitu dihadapan rakyatnya sendiri.

Mengapa kita berteriak lantang ketika kedaulatan negara ini dilecehkan oleh bangsa lain? Mengapa kita diam ketika kedaulatan negara ini diinjak-injak oleh sekelompok rakyat yang intoleran dan rasis? Kedaulatan negara dipertaruhkan bukan hanya soal intenvensi negara lain, tetapi terutama karena SARA. Dan pelakunya adalah rakyat sendiri. Saatnya negara menunjukkan kedaulatannya, meski harus berhadapan dengan rakyatnya sendiri yang intoleras dan rasis.

Ikuti tulisan menarik yswitopr lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB