x

Iklan

Mario Tando

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Budi Pekerti Keluarga (Akar Sebuah Tanaman)

Tentang sistem pendidikan budi pekerti sebagai bekal manusia menjalani kehidupan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

KELUARGA: BUDI PEKERTI

(AKAR SEBUAH TANAMAN)

 

Jika kita berkaca pada kenyataan yang ada, harus disadari bahwa Negeri ini berada pada jurang kemerosotan yang amat dalam. Ketika sulit sekali menemukan sosok yang dapat ditiru oleh generasi muda sebagai simbol keberhasilan seorang pemimpin. Pada umumnya sistem yang ada hanya menghasilkan individu-individu yang serakah dan hanya peduli akan kepentingan pribadi serta kelompoknya semata. Individu yang amat cerdas, sampai-sampai kecerdasan tersebut mendorong mereka untuk berprilaku korup dan serakah. Ketika kecerdasan yang mereka miliki dijadikan alat dan strategi untuk memuluskan langkah-langkah untuk menggapai hasrat ambisi pribadi dan kelompok mereka masing-masing.

Pendidikan intelegensia nyatanya dapat membawa malapetaka, dimana hal itu jika tanpa diiringi dengan pendidikan moral dan spiritual hanya akan membimbing kita untuk menjadi individu-individu yang korup dan serakah. Maka dari itu benar adanya bahwa pendidikan tidak serta merta bisa diunggulkan dari satu sisi saja, selain kecerdasan intelegensia (Intelligence Quotient), sekurang-kurangnya kecerdasan emosi (Emotional Quotient), moral (Morality Quotient) dan spiritual (Spiritual Quotient) amat berpengaruh terhadap karakter pribadi seseorang. Umumnya para orangtua terjebak dengan hanya mengutamakan kecerdasan intelegensia semata.

Sepertinya ada yang salah juga dengan pola kehidupan yang terjadi di negeri ini. Ketika para orangtua umumnya hanya mendidik anak untuk menjadi orang yang sukses (dalam pengertian mengejar materi semata), diiringi dengan kurangnya pendidikan moral dan spiritual yang baik. Tentu saja selain faktor lain yang amat berpengaruh, keluarga menjadi akar utama dalam membentuk karakter pribadi seseorang. Tidak jarang kita menemukan keluarga yang acuh terhadap pendidikan, bahkan pendidikan intelegensia itu sendiri. Negara juga seringkali tidak bisa menjadi fasilitator untuk mengubah pola kehidupan yang kacau ini. Ketika guru pun tak bisa menjadi sosok tauladan, karena sebagian dari mereka harus kesulitan terhadap diri dan keluarganya masing-masing, sehingga yang ada dipikiran mereka ialah semata soal hasil yang didapat dari mengajar, tanpa adanya ketulusan untuk benar-benar dapat mendidik seorang siswa menjadi pribadi yang tangguh dan bermanfaat. Apalagi ditambah dengan kapabilitas yang tidak memadai, disertai dengan sistem pendidikan etika dan moral yang amat kurang terutama di jenjang terkecil pendidikan formal yang ada di negeri ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ajaran budi pekerti yang ditekankan oleh Konfusius rasanya dapat diterima secara universal untuk kemudian diterapkan dalam konsep dunia pendidikan di Indonesia. Ketika para ilmuwan barat mempelajari keruntuhan empat peradaban dunia kuno (Tiongkok, India, Mesir, dan Babylonia), mereka mendapati hanya kebudayaan Tiongkok yang nyatanya masih dapat bertahan, dan mereka menarik kesimpulan itu terjadi karena Tiongkok setidaknya masih melestarikan kebudayaan pendidikan budi pekerti berbasis keluarga. Materi pendidikan yang bermuatan budi pekerti haruslah ditekankan dalam pendidikan formal saat ini di Indonesia. Kita bisa berkaca pada Tiongkok yang sedikitnya masih mempertahankan konsep tersebut, dimana pendidikan dasar dalam masyarakat feodal Tiongkok diawali dengan bersekolah di rumah guru dalam kampung. Guru tidak menetapkan uang sekolah, orangtua murid membayar sesuai dengan kemampuan masing-masing, karena sudah selayaknya dimengerti bahwa adil itu tidak semata-mata harus sama. Bahkan 2500 tahun yang lalu, Konfusius hanya mensyarakatkan “seikat dendeng” bagi siapa saja yang ingin belajar kepadanya tanpa pandang bulu.

Guru menerima pemberian tanpa pandang bulu, dan menerapkan subsidi silang dimana pemberian seorang yang kaya akan disalurkan kepada mereka yang berkekurangan. Murid yang bersalah di sekolah dan dihukum guru tidak akan berani mengadu kepada orangtua, karena mereka tahu bahwa akan mendapat hukuman yang lebih berat lagi dari orangtua dirumah. Orangtua murid selalu mengajarkan kepada anak-anaknya untuk berprilaku santun dan patuh terhadap para guru, dan guru selalu mengajarkan murid-muridnya untuk berbakti kepada orangtua mereka masing-masing. Hal ini laksana alat musik yang ditabuh harmonis, penuh keserasian  kerjasama antara orangtua dan guru.

Mungkin sedikitnya ini juga pernah terjadi (masa lalu) di Indonesia, namun perlahan-lahan semangat itu telah pudar. Ketika kita bisa melihat kenyataan bahwa banyak guru yang diprotes, diboikot, bahkan dipukuli orangtua murid karena tidak terima anaknya dihukum guru (walaupun hukumannya dalam ambang batas wajar karena kesalahan murid itu sendiri yang tidak lagi dapat ditolerir). Saat terdengar berita banyak guru yang mencabuli murid-muridnya dengan sadar. Saat para intelektual melakukan tindak korupsi dalam kepentingan pendidikan. Sungguh naas apa yang terjadi di dalam dunia pendidikan Indonesia saat ini, dan jika kita tidak ingin peradaban ini punah, tentu saja pemerintah harus bergerak cepat mengatasi kesalahan sistem yang ada sejauh ini.

Selanjutnya jika kita mau berkaca kepada Jepang, murid-murid TK dan SD diutamakan untuk diajarkan tentang pendidikan moral, bagaimana cara kehidupan sesungguhnya di bumi yang kita huni bersama-sama, sehingga tentu saja harus memikirkan tentang kepentingan bersama pula. Hasil didikan yang cukup mengguncang dunia ialah ketika orang-orang Jepang justru bisa mengantre disaat situasi tidak memungkinkan untuk melakukan hal itu (Tragedi Pasca Tsunami), dimana keadaan sedang lapar dan kalut, mereka justru tidak mau berebut, mereka tetap mengutamakan kepentingan bersama untuk hasil yang tentunya akan lebih baik. Belum lagi tentang sosok pemimpin yang mau mengakui kesalahan, bahkan harakiri jika terbukti berbuat salah dan melanggar undang-undang dan merugikan orang lain.

Tentu saja ini menjadi kenyataan yang amat berbanding terbalik dengan rakyat Indonesia yang katanya amat berbudaya dan berbudi luhur. Bahkan untuk menemui pemimpin yang mau mengakui kesalahan saja sulit, mereka tetap merasa benar walau bukti-bukti menyatakan mereka bersalah, terlebih rasanya mereka bangga akan hal itu. Jangankan dalam situasi sedang kalut, saat normal saja umumnya rakyat lebih sering berebut, contoh terkecil ialah rebutan kursi di dalam transportasi umum, tak peduli orangtua ataupun ibu hamil berdiri didepan mata, yang terpenting ialah tentang kenyamanan yang dirasakan sendiri tanpa mempedulikan orang lain.

Siapakah sebenarnya yang harus bertanggungjawab akan hal ini semua? Rasanya semua pihak mempunyai tanggung jawabnya masing-masing, namun tentu saja keluarga layaknya menjadi akar dari tanaman yang akan menghasilkan buahnya masing-masing, jika akar itu kuat, tidak akan goyah walau terkoyak badai sekalipun, tanaman itu akan tetap tumbuh menghasilkan buah-buah yang manis. Tentu saja ada waktunya ia tidak berbuah manis dan bahkan tidak lagi berbuah, begitu juga dengan manusia yang pada dasarnya pasti mempunyai kekurangan, tidak akan dapat menjadi sempurna, dan mempunyai batas waktu.

Keluarga menjadi pondasi utama, karena dengan pendidikan yang baik dan benar di dalam kehidupan keluarga, seorang anak dapat berbakti kepada orangtua. Dengan sikap bakti yang benar tentu saja anak akan menjaga nama baik orangtua dimanapun ia berada dengan perbuatan sikap yang nyata. Karena baik buruk perilaku sang anak, tentu saja orangtua juga akan menanggung beban positif atau negatif dari apa yang dia lakukan. Mereka juga lah yang akan jadi bahan perbincangan, entah kebanggaan atau kemurkaan yang didapat akibat perilaku sang anak. Tentu saja seorang anak yang baik menginginkan orangtuanya bangga akan kehadiran dirinya, bukan hanya sekedar kesuksesan materi, namun dengan kehidupan yang bernilai dan bermanfaat bagi orang banyak.

Orangtua harus benar-benar menjadi akar yang kuat agar sang tanaman tak mudah tumbang, terlebih dapat berbuah manis nantinya. Akar yang buruk tentu saja tidak akan mampu menghasilkan batang yang baik, apalagi untuk menghasilkan buah. Adapun kenyataan badai seringkali siap menerjang, ketika kehidupan diluar saat ini amat lah kejam, jika tak berhati-hati tentu saja anak dapat terjerumus dalam lubang kegelapan. Akar tentu saja tidak seharusnya bekerja sendirian, ia membutuhkan pupuk dan air (peran pemerintah). Pemerintah sudah seharusnya membantu mengembangkan sang tanaman agar tumbuh dengan baik melalui sistem yang demikian teratur. Sistem pendidikan yang benar tidak mengutamakan sekedar kecerdasan intelegensia semata. Sistem pengembangan sumber daya guru yang memadai, dan sistem jenjang pendidikan yang tidak profit oriented. Jika biaya sekolah, apalagi untuk menjadi dokter itu teramat mahal, tentu saja saat menjadi dokter sungguhan (sebagai manusia normal pada umumnya) ia butuh untuk mengembalikan modal yang telah ia keluarkan. Maka tidak jarang biaya kesehatan pun menjadi teramat mahal, karena memang tujuannya bukan untuk membantu orang sakit, tetapi untuk mencari keuntungan dan tentu saja mengganti modal yang ia pernah keluarkan selama jenjang pendidikan. Jika demikan, sepertinya tidak ada bedanya dengan seorang politikus di partai politik di masa pemilihan umum, yang sudah menjadi rahasia umum berjuang dengan materi untuk dapat dipilih, dan pada waktunya nanti mereka akan mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya untuk mengganti biaya politik yang pernah mereka keluarkan.

Jika nyatanya tak ada pupuk dan air yang cukup, tentu saja sang akar harus terus berjuang dengan sungguh-sungguh menopang sang tanaman untuk dapat tumbuh dan menghasilkan buah-buah yang manis ditengah terpaan angin dan badai yang siap menghadang. Sudah saatnya orangtua benar-benar fokus membimbing sang anak menjadi anak yang cerdas dan berbakti. Karena bakti itu ialah sumber dari segala kebaikan. Tidak ada lagi cerita tentang seorang anak yang dijaga oleh baby sitter sepanjang hari tanpa mendapat perhatian dan kasih sayang nyata dari kedua orangtuanya, karena dari situlah sang anak tumbuh, dari perhatian dan kasih sayang yang tulus dan apa adanya bakti itu dapat berkembang. Jika demikan tentu saja harga sang anak tidak lebih mahal daripada sebongkah emas, karena penulis belum pernah mendengar ada orangtua yang menitipkan bongkahan emasnya kepada baby sitter, tentu saja karena ia tidak percaya dan takut kehilangan harta emas tersebut.

Penulis sebenarnya bukan orang yang cukup beruntung secara materi jika dibandingkan dengan para orangtua yang dapat memperkerjakan baby sitter. Penulis harus kehilangan Ayahanda sejak umur 4 tahun karena penyakit leukimia, keadaan itu memaksa Ibunda untuk meneruskan pekerjaan sebagai karyawan swasta. Tentu saja dengan kenyataan itu penulis tidak dapat merasakan kasih sayang yang utuh dari kedua orangtua. Walaupun sejatinya penulis hidup dari dan oleh keringat Ibunda tercinta, tapi tetap saja penulis kekeringan cinta dan kasih sayang secara langsung dari orangtua. Tapi tentu saja penulis bersyukur dan amat berterimakasih mendapatkan sosok Ibunda yang tetap teguh berjuang sendirian untuk menghidupkan penulis.

Terlebih penulis merasa lebih beruntung, karena penulis dijaga oleh Sang Nenek dan keluarga lainnya yang tentu menjaga penulis bukan karena bayaran, namun karena ketulusan semata. Keadaan di lingkungan keluarga yang rajin memberi pelajaran dan pemahaman spiritual agama dengan sendirinya memaksa penulis untuk memahami tentang pelajaran moral sesungguhnnya dari kehidupan yang ada ketika penulis mulai beranjak dewasa. Oleh karena itu, penulis terus berusaha hidup di jalan yang benar minimal dengan tidak bertindak hal-hal yang dapat membuat orangtua merasa sedih dan murka. Tentu saja penulis bukan orang yang sempurna tanpa kesalahan, penulis menyadari banyak sekali kesalahan yang telah diperbuat penulis baik dalam keadaan sadar maupun tak sadar. Namun menurut Konfusius, yang dinamai kesalahan ialah ketika terus mengulang kesalahan tersebut tanpa ingin berusaha memperbaikinya, karena tiada seorangpun manusia yang luput dari kesalahan dan khilafnya. Mudah-mudahan kedepan dapat membuahkan hasil yang semestinya, hidup bernilai dan bermanfaat terhadap keluarga, sesama, bahkan negara, hingga akhirnya dapat terlukis senyuman di raut wajah orangtua dan keluarga.

Pepatah Tiongkok Kuno mengatakan, “Dalam membangun negeri dan menjalankan roda pemerintahan, pendidikan yang harus dikedepankan. Dan hal utama dalam membangun manusia yang seutuhnya ialah dengan menerapkan pendidikan budi pekerti (Morality Quotient)”. Dengan pendidikan yang benar manusia dapat menjadi baik. Jika didalam kehidupan keluarga seorang anak dapat berbakti kepada orangtua, bertakwa kepada agama dengan menebarkan kasih sayang terhadap sesama secara nyata, kemudian dapat mengabdi pada nusa dan bangsa, maka setiap anak bangsa dapat menjadi pemimpin yang dapat menjadi suri tauladan bagi generasi berikutnya.

Anak-anak itu terbentuk karena didikan orangtua dan lingkungan sekitar mereka. Konfusius pernah berkata, “Jati diri manusia itu sebenarnya sama, sangat murni dan sempurna. Tapi karena terkontaminasi dikemudian hari, maka tabiat satu sama lain menjadi berbeda”. Edukasi publik yang terbaik adalah dengan segenap hati mendorong pendidikan budi pekerti (Tan Tie Lun).

Rakyat tidak mengerti tata karma, hukum Negara tidak akan efektif untuk menghadapi mereka. Hukum mungkin bisa memenjarakan anak durhaka, memidanakan pencuri atau koruptor, tapi hukum nyatanya tidak bisa memaksa rakyat bertindak etis dan membuat orang menjadi bermoral. Karena menurut Konfusius, “Dibimbing dengan undang-undang, dilengkapi dengan hukuman hanya akan membuat rakyat berusaha menghindari hukum, dan kehilangan harga diri dan rasa malu atas kesalahannya. Mendidik rakyat dengan etika moral budi pekerti dengan sopan santun, rakyat tidak akan hanya menaati hukum, tapi bisa merasa malu berbuat jahat”. Laozi berkata, “Hukum Negara yang makin rumit dan mendetail, yang melanggar akan semakin banyak”.

Jika bicara cerita hukum di Indonesia, rasanya semua aturan undang-undang berikut hukuman tentang segala hal semuanya ada, bahkan sampai urusan-urusan yang tidak sedikitpun terpikir nyatanya diatur undang-undang berikut hukumannya. Tapi lihat saja kenyataan yang ada di Indonesia, setiap pihak umumnya hanya saling mengelak ketika berhadapan dengan masalah hukum tersebut, berusaha mengelabuhi hukum itu sendiri dengan khayalan tingkat tinggi mereka masing-masing demi terbebas dari hukuman. Apalagi ditambah dengan implementasi hukum yang begitu bobrok, ketika para penegak dan pilar-pilar hukum di Indonesia justru terjerat masalah hukum itu sendiri. Selanjutnya hanya menyisakan teori-teori hukum yang begitu indah dipandang mata, namun jauh dari hasil praktek implentasinya yang dapat dirasakan jiwa.

Yang paling penting dalam rencana satu tahun adalah bercocok tanam. Yang paling berarti dalam persiapan untuk sepuluh tahun adalah menanam pohon. Jika merancang perkara untuk seumur hidup, yang paling penting ialah membina kader generasi penerus (Guan Zi).

Maka jika ingin Negara ini berkelanjutan ke arah yang lebih baik, sudah seyogyanya Pemerintah memfokuskan diri dalam dunia pendidikan dengan konsep yang tentunya tepat, bukan sekedar baik. Sebenarnya hal ini juga seiring sejalan dengan wacana pemerintah yang telah sadar akan pentingnya budi pekerti yang akan lebih ditekankan dalam kurikulum pendidikan nasional. Namun yang perlu diingat ialah pengawasan dalam segi implementasi, karena pada umumnya keinginan pihak atas tidak seiring sejalan dengan implementasi nyata di pihak bawah.

Perlu diingat juga, bahwa menurut penulis pendidikan yang baik rasanya tidak serta merta hanya ada di sekolah. Tapi pendidikan terbaik ialah berada didalam kehidupan keluarga, apapun bentuk positifnya. Menjadi tugas berat pemerintah ialah menyelaraskan hal tersebut menjadi kenyataan, membuat sistem yang mengarahkan kehidupan keluarga yang lebih utama, tidak menjadikan kedua orangtua menjadi fokus dalam dunia pekerjaan mereka masing-masing, tapi juga punya porsi besar untuk meluangkan dan mendidik anak-anaknya secara langsung dengan didikan kasih sayang yang nyata, sampai kemudian anak tersebut betul-betul siap untuk bertumbuh menjadi pribadi yang matang, dengan akar laku bakti yang kuat, sehingga tidak mudah goyah diterpa berbagai godaan dan ujian.

Dalam dunia sepakbola, sebaik-baiknya tim, pemain, bahkan strategi sepakbola, hanya akan menjadi sia-sia jika tidak dapat menyarangkan bola kedalam gawang lawan, dan kemudian memenangkan sebuah pertandingan. Pelatih yang baik akan menggunakan strategi yang tepat sesuai dengan komposisi pemain untuk memenangkan sebuah pertandingan, dan perlu diingat tidak semua strategi sama dalam melawan sebuah tim yang berbeda. Mereka akan menganalisis segala kemungkinan yang ada untuk menghasilkan sebuah strategi yang tepat untuk digunakan untuk memenangkan pertandingan, bukan sekedar bermain secara baik untuk menyenangkan supporter.

Satu hal lagi yang tak kalah pentingya ialah kedewasaan orangtua, pada umumnya orangtua merasa mendidik itu sama dengan ‘memaksa’. Seringkali seorang anak ‘dipaksa’ untuk menjadi apa yang diinginkan oleh orangtua. Memaksa mereka untuk menjadi seorang yang perfeksionis di segala bidang. Sepertinya hal ini keliru besar, karena setiap orang mempunyai passion yang berbeda-beda, memiliki bakat dan keinginan yang berbeda satu sama lain. Sebaik-baiknya tugas orangtua ialah lebih kepada mengarahkan seorang anak menjadi seorang yang bermanfaat apapun passion yang dimiliki. Mendukung secara penuh apa yang menjadi bakatnya, sehingga ia dapat menjadi seorang yang berhasil tidak hanya secara fisik, tapi dalam hati dan jiwanya.

Jangan paksakan ia pintar fisika jika dia memiliki nilai yang tinggi dalam kesenian. Jangan paksakan dia untuk kreatif dalam seni, jika ia memiliki nilai yang tinggi dalam ilmu pasti. Tak perlu memaksakan untuk membentuk secara keseluruhan mengenai hidupnya.

Jangan biarkan mereka tersesat dalam keinginan orangtua. Mimpi, semangat, bakat laksana seekor burung, jangan biarkan ia terkekang di dalam sangkar baying-bayang orangtua. Biarkanlah ia lepas, bebas, kemana hati dan jiwanya pergi, namun tetap tidak merugikan orang lain dan bermanfaat untuk sesama. Biarkanlah ia memilih jalan hidupnya untuk menjadi apa, siapa, dan bagaimana dalam sebuah konsep yang positif dengan bekal moralitas hasil daripada pendidikan budi pekerti.

Konfusius pernah berkata, cintailah pekerjaanmu maka tak akan ada sesal dan gerutu dalam menjalankannya. Biarkanlah mereka hidup dan berkembang melalui apa yang mereka cintai.

 

 

Mario

(Ketua Umum Generasi Muda Khonghucu Indonesia)

Ikuti tulisan menarik Mario Tando lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler