x

Iklan

Lentera Sastra

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Realita Ironis dalam Bayang Imaji Kumpulan Puisi 'Terlepas'

Realita kehidupan yang penuh dengan gejolak politik, sosial dan ekonomi membawa realita Ironis pada zamannya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh : Nita Ayu Cahyaningrum

 

Realita kehidupan yang penuh dengan gejolak politik, sosial dan ekonomi membawa realita Ironis pada zamannya. Realita Ironis merupakan kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan. Penuangan puisi dari seorang penyair seringkali menggambarkan hal demikian. Gejolak batin pada zamannya membawakan pembayangan yang menguak harapan yang tak lantas menjadi sebuah kenyataan. Kemudian, lewat sebuah karya sastra yang hakikatnya merupakan sebuah penuangan dari berbagai kehidupan yang menyelimuti batin, pikiran dan perasaan penyair tertuang menjadi sebuah karya sastra dengan formulasi gaya pengucapan yang khas, menggunakan balutan imaji sehingga tercipta dunia tersendiri seolah seperti pembayangan yang penuh empati bagi pembaca.

Muhammad Rois Rinaldi menuangkan penggambaran realita ironis kehidupan saat ini, yang penuh gejolak politik, ekonomi, sosial yang memuakkan dengan penuh irama pengungkapan yang khas, sosok penyair muda ini menggambarkan sendi kehidupan bangsa Indonesia yang tidak sesuai dengan jiwa rakyat Indonesia pada umumnya. Ketidakadilan, kepalsuan, korupsi dan segala tipudaya politik yang mengundang keprihatinan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sama halnya membaca kumpulan puisi Aku (Malu) Jadi Orang Indonesia karya Taufik Ismail yang menyuguhkan beragam realita ironis didalamnya. Imaji-imaji bangsa Indonesia yang menyesakkan itu tertuang dengan pengucapan yang menggelikan dan menyesakkan bagi pembaca. Terbenturnya harapan rakyak kecil terhadap kekuasaan yang memihak memberikan gambaran bangsa Indonesia yang penuh dengan ketidakadilan.

Ketika realita ironis diungkapkan oleh penyair, pengungkapan dengan bahasa yang estetis, penuh imaji, konotatif, kiasan dan simbolis itulah yang membingkainya, yang dimana setiap penyair akan memilih dan menggunakan bahasa yang berbeda dengan penyair lainnya. Inilah yang akan menoljolkan hal yang berbeda pada setiap karya sastra walaupun dengan permasalahan yang sama yang terwakili oleh adanya bahasa dalam penuangannya yang terangkai dari pemilihan diksi dari setiap penyair. Dimana bahasa merupakan medium atau media yang tidak dapat terlepaskan dari setiap penuangan karya sastra dari setiap penyair.

Karya sastra pada hakikatnya memang sebuah karya yang terlahir karena adanya imajinasi dari pengarang maka terdapat sebutan karya imajinatif. Segi imajinatif dalam sebuah karya sastra tidak dapat terlepas kembali dengan penggunaan bahasa yang konotatif dalam artian mengandung makna kiasan di dalamnya. Berbicara bahasa puisi Muhammmad Rois Rinaldi dalam kumpulan puisi “Terlepas” memang penuh dengan imaji yang menggambarkan tentang kenyataan zaman yang terus berubah. Pahitnya ketidakadilan dan kepalsuan. Maka disini dapat terlihat pentingnya menelusuri imaji yang ada didalamnya, sebagaimana dijelaskan oleh Waluyo bahwa imaji akan memperjelas dan mengkonkretkan apa yang dinyatakan penyair. Ini berarti imaji akan memberikan ketegasan dari apa yang dituangkan penyair lewat diksi-diksinya.

Imaji dalam konteksnya dapat dikatakan sebagai daya bayang yang melibatkan indra manusia. Rachmad Djoko Pradopo mengungkapkan bahwa imaji sebagai gambar-gambar dalam pikiran dan bahasa yang menuangkannya. Sedangkan Nurgiyantoro menambahkan bahwa pengelompokkan imaji didasarkan pada pengalaman imaji penglihatan (visual), imaji pendengaran (auditoris), imaji gerak (kinestetik), imaji rabaan (taktil), imaji penciuman (olfaktori),

Membicarakan Imaji sebagai penjelas dari ungkapan seorang penyair, maka begitu membaca kumpulan puisi “Terlepas” akan menyiratkan kejelasan dari bayangan-bayangan yang diungkapkan penyair. Zaman yang penuh kepalsuan dan tipudaya yang berkedok, kepemimpinan negeri yang taktertata, korupsi yang merajalela, dan ketidaksesuaian batin rakyat tertindas dari segala kelamnya zaman dan pahitnya keadaan. Dalam bahasa Muhammad Rois Rinaldi puisilah yang mencatat serangkaian kekelamannya dengan huruf-huruf yang sedu, menyentak, meraung bahkan menangis dalam iramanya.

 

Imaji “Visual” yang Ironis

 

“Seorang lelaki depan cermin” merupakan salah satu dari kumpulan puisi terlepas karya Muhammad Rois Rinaldi, puisi yang menyiratkan beragam makna konotatif didalamnya, sindiran ataupun harkat yang tidak sesuai tempatnya ini memberikan ruang tersendiri bagi pembaca dalam memahaminya. Sebuah kepalsuan dalam bingkai keindahan. Judul yang dipilih dalam gambaran visual sudah begitu menampakkan bagaimana permaian makna yang dilukiskan penyair. Judul dari “Seorang lelaki yang di depan cermin akan menimbulkan tanda ketidakwajaran bagi persepsi pembaca yang akan mengisyaratkan sebuah kepalsuan.

 

Seorang lelaki depan cermin tangannya di atas meja

di antara bedak, gincu, eye shadow, dan selembar akta

kelahiran. Puluhan almanak terserak dalam kepalanya:

bulan-bulan kemerahan yang retak mengambang

di ingatan paling darah. Tahun-tahun menyedihkan

membawa badannya terlampau jauh. Dari kota ke kota

demi pertanyaan yang tidak pernah selesai. Melintasi

bangsa-bangsa tanpa kenalan demi menolak segala kehendak.

 

di luar kehendak. Kali ini memang tidak kemana-mana .

Depan cermin Ia memperhatikan dirinya sendiri juga

hal aneh yang tumbuh subur begitu saja. Membayangkan

jalan perkampungan yang jauh sebelum sebuah keputusan

menciptakan jarak tidak terhitung. Lalu ia berdiri

mengambil Laptop dari tas pingky, menyalakan musik.

Ia berdansa sambil menggoreskan gincu di bibir tipisnya

dan membedaki wajahnya yang kuning langsat

dengan kaki tertekuk, menyembunyikan wajah

seperti orang mabuk dalam kisah-kisah kudus yang

penuh kebohongan, Ia terus berdansa dan berceracau

 

dengan kaki tertekuk, menyembunyikan wajah

di antara lutut lalu bersenandung dengan nada yang sulit

diterjemahkan sebagai kesunyian atau kebisingan.

 

(Seorang Lelaki Depan Cermin, 27)

 

Dalam karya sastra prosa membutuhkan daya pengungkapan yang lugas untuk menjabarkan alur yang akan diceritakan, namun lain dari itu, sebuah puisi sebagai bagian dari sastra membutuhkan daya penuangan bahasa yang lebih estetik dari pada prosa. Mengambil pengungkapan dari Waluyo bahwa Imaji memberikan penegasan pada puisi yng dituangkan penyair. Dalam puisi “ Seorang lelaki depan cermin” memberikan penjelasan bahwa banyak kepalsuan yang berkedok keindahan sebagai alat tipudayanya. Pada bait pertama yang disuguhkan penyair terhadap pelukisan yang dapat dilihat pembaca begitu mengesankan. Ini terlihat dari penggunaan diksi lelaki, cermin, bedak, gincu, eye shadow dan selembar akta kelahiran pada baris pertama dan kedua Seorang lelaki depan cermin tangannya di atas meja//di antara bedak, gincu, eye shadow, dan selembar akta kelahiran. Dari pemilihan diksi tersebut seolah penyair ingin melukiskan keadaan yang berbeda terhadap “lelaki” dalam puisi. Ketika melihat beberapa kata yang merupakan identik dengan perempuan maka ketika seorang lelaki dihadapkan dengan beberapa perlengkapan itu maka penyair seakan ingin melukiskan keadaan lelaki yang tidak sewajarnya.

Diksi tas pingky yang kembali itu identik dengan diri seorang wanita. Terlihat pula pada larik menggoreskan gincu di bibir tipisnya. Gincu seperti halnya lipstik dan akan menjadi ketidakwajaran apabila ketika terlihat seorang lelaki memakai lipstik dan diperkuat pada baris terakhir membedaki wajahnya yang kuning langsat, seorang lelaki biasanya jarang memakai bedak dan kecenderengan seorang lelaki memiliki wajah yang hitam maupun kuning namun penyair disitu menggunakan diksi kuning langsat yang kembali identik dengan seorang wanita.

Ketika terlihat suasana yang membingungkan dalam benak pembaca dengan adanya kontras antara lelaki dan perlengkapannya. Disini penyair menyajikan suatu hal yang terlihat menyedihkan dengan adanya beberapa diksi kaki tertekuk, menyembunyikan wajah diantara lutut. Secara menyeluruh jelas terlihat bahwa Rois menggunakan imaji-imaji dalam penuangannya sebagai wujud protesnya zaman akan segala wujud kepalsuan yang menyelimuti wajah negri. Harapan seorang lelaki sebagai seorang pemimpin, seorang lelaki sebagai benteng namun merambat sebagai hal yang tak ada kesan kehidupan laki-laki yang sesungguhnya namun hanya terlintas suatu hal yang kelam.

Dalam sajak lainnya, Rois juga banyak menuangkan bagaimana keadaan bangsa ini lewat penggambaran yang dilukiskannya. Seperti dalam judul puisi “Hompimpa” Sebuah judul yang mengingatkan tentang permainan di masa kecil. Permainan untuk melihat siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dalam pemaknaannya diksi ini mengisyaratkan bagaimana permainan dalam kehidupan politik itu ada. Barangkali ketimbang cuap-cuap soal korupsi//Lebih baik main-main ke gang kelinci atau ke Doli//Menenggak tuak, menuntaskan lelucon sepuluh tahun//Soal pemenang pilpres 2014 itu, lupakanlah//Juga tentang seorang ratu yang gemar main boneka//Ya, ya ya! Masa anda telah selesai// Saatnya kita main-main. Tinggalkan kertas pidato itu//Lagi pula pidato Bapak isinya hanya://“saya turut prihatin” Sajak untuk Bapak Presiden, 52)

Puisi banyak bercerita tentang kehidupan juga merupakan curahan batin seorang penyair terhadap peristiwa yang dirasakan. Dalam bait diatas pada baris kedua Lebih baik main-main ke gang kelinci atau ke Doli, Gang kelinci ataupun doli itu adalah tempat yang dalam pandangan masyarakat terlihat buruk sehingga dalam menggunakan imaji penglihatan dalam kedua diksi tersebut penyair ingin mengungkapkan persepsinya bahwa daripada melakukan sebuah korupsi lebih baik pergi kedua tempat yang dalam konteksnya sama-sama terlihat buruk. Dan pada baris terakhir juga seorang ratu yang gemar main boneka. Diksi-diksi pada baris ini memperlihatkan bagaimana penyair melakukan sindiran terhadap seorang wanita yang terlibat dalam pilpres yang diimajinasikan penyair seorang yang main boneka dalam arti mempermainkan sesuatu yang ada namun terlihat tidak berarti bisa saja diasumsikan dengan rakyat.

Kenyataan yang menyesakkan bahwa seorang pemimpin yang gemar korupsi akan disandingkan dengan gang kelinci dan gang doli yang konteksnya merupakan filosofis tempat yang buruk bagi pandangan masyarakat, namun keburukan itu nampaknya bagi Rois tidak sebanding dengan keburukan yang mengakibatkan kesengsaraan rakyat seperti halnya korupsi. Pemilihan diksi hompimpa tadi nampaknya sebagai simbol kemenangan pemilu.

Pemilihan diksi kertas pidato pada bait di atas menggambarkan keadaan yang dilukiskan penyair yang muak atau dapat dikatakan bosan. Ketika terlihat kertas pidato pembaca akan mengalami imajinasi terkait tentang rancangan-rancangan pembicaraan namun pada bait tersebut penyair memberikan pandangan untuk menegaskan sebigitu syahdunya ketika biasanya pidato itu penting untuk didengarkan namun ini justru sebagai penegasan bahwa bahan pembicaraan itu tidak berguna bagi perkembangan bangsa karena hanya berisi keturut prihatinan. Sehingga pembaca seolah dapat melihat bagaimana isi teks pidato yang kurang ataupun tidak memunyai nilai pembicaraan yang tinggi.

Penegasan akan gejolak bangsa atas keadilan juga merupakan ironi yang membelenggu. Rakyat dengan segala ketidakmampuan dan ketidakberdayaan membutuhkan perlindungan justru mendapatkan sebuah kesengsaraan yang pahit menyakitkan. Hompimpa alaihum gambreng//gara-gara lapar si boneng nyolong bonteng//Boneng malang digelandang ke penjarahakim yang adil menganggit kitab hukum pidana//mengetuk pasal 364//sedang hakim tidak tahu (pura-pura tidak tahu?)//Orang-orang yang meninggalkan kursi titipan rakyak sibuk study tour//pulang nanti mereka membawa tagihan hutang (Hompimpa, 63)

Penyair memilih menggunakan salah satu dari bahasa Sunda yaitu diksi bonteng, bonteng merupakan buah mentimun. Dalam bait tersebut juga terdapat penggambaran tempat seperti diksi penjara dan kitab hukum pidana. Kedua pilihan kata tersebut adalah lingkup dalam bidang hukum. Disini penyair seperti bertujuan untuk melukiskan ketidakadilan dalam sistem peradilan. Seperti halnya pemilihan kata mentimun dengan penjara adalah suatu konkret keadilan yang tidak umum apabila dibandingkan dengan kasus korupsi ataupun kasus lainnya yang prosesnya tidak jelas.

Akhirnya, bagaimana imaji-imaji itu dilukiskan, bagaimana Muhammad Rois Rinaldi melakukan bayangan semu akan imaji dalam realita ironis itu disuguhkan. Ungkapan yang penuh konotasi, irama, diksi yang menyentuh dan ungkapan sederhana namun memberikan kejutan makna untuk menjadikan sesuatu perenungan. Gambaran imaji Indonesia pada zamannya.

 

 

Keterangan: Esai ini memenangi sayembara penulisan esai se-Jatim yang diselanggarakan oleh Balai Bahasa Jawa Timur 2015 dan dibukukan dalam kumpulan esai Jembatan Makna yang Terbuka.

Ikuti tulisan menarik Lentera Sastra lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB