x

Iklan

Diaz Setia

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Cultural Lag dalam Rantai Literasi

Namun aksesibilitas informasi yang sudah menyunami (lebih dari banjir), justru menghadirkan pengalaman-pengalaman membaca pada taraf yang amat menyedihkan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Membaca, hakikatnya adalah kegiatan yang kompleks. Namun aksesibilitas informasi yang sudah menyunami (lebih dari banjir), justru menghadirkan pengalaman-pengalaman membaca pada taraf yang amat menyedihkan.

Minat baca ibarat kecambah, sarat utama yang berupa hasrat atau dorongan untuk membaca. Satu hirarki diatasnya adalah kebiasaan membaca: kegiatan berulang-ulang untuk mensuksesi minat baca. Sedangkan budaya baca adalah ekskalasi paling ultima. Aksesibilitas bahan bacaan menjadi variabel yang tak bisa dihapus. Tanpa adanya aksesibilitas, maka minat tak akan bertransformasi sebagai kegiataan membaca, apalagi kebiasaan, apalagi budaya baca.

Tapi apa yang terjadi jika sebaliknya? Jika aksesibilitas bahan bacaan yang tinggi tanpa adanya minat baca sendiri? Kita bisa melihatnya pada fenomena zombie-zombie informasi yang begitu cepat percaya lalu bergentayangan di medium internat. Mengutamakan rongrongan pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri dengan menyebarkan tautan-tautan berita, atau artikel, atau informasi. Tanpa terlebih dahulu menyelesaikan proses membaca. Bagi sebagian orang, tahu lebih cepat itu lebih baik daripada tahu lebih tepat. Mereka yang akhirnya membaca tanpa membaca. Saya tidak lantas mengatakan tsunami aksesibiltas bahan bacaan itu sebagai wadah penyakit, yang musti diberantas. Bukan, bagaimana pun internet telah menjadi bagian dari evolusi budaya baca, dan kitalah pelaku di dalamnya. Tetapi semestinya, kemudahan aksesibilitas tersebut tidak membuat kita memotong proses esensial nan maknawi dari membaca.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kini, sulit ditampik bahwa membaca sudah mengalami spesialisasi makna, menjadi sebatas kegiatan pemahaman literal (tersirat). Memotong prosesi  re-organisasi (tersurat), pemahaman inferensial yang menggabungkan dua point sebelumnya. Dalam Taksonomi Membaca yang dicetus oleh Barret (1968), pemahaman membaca pun tidak berhenti pada tiga tahap itu. Evaluasi, atau sebagai upaya penilaian terhadap suatu bacaan. Terakhir, pemahaman apresiasi sebagai respon-estetis.  Apresiasi terhadap teks bacaan sudah menuntut kreativitas. Yang pada gilirannya dapat bermigrasi pada kemampuan berbahasa paling puncak: menulis.

 

Ketertinggalan Budaya Baca, Output Pendidikan?

Instusi pendidikan kita entah sengaja atau tidak, justru melahirkan makhluk-makhluk mekanis dari hasil repitabiltas membaca buku yang seragam untuk menjawab soal-soal tentang definisi. Diskusi-diskusi tentang intepretasi apalagi sampai pada tahap kritis tak tampak di institusi pendidikan dasar. Bahkan pula di sebagian kampus masih memberi pagar yang sangat kokoh untuk membatasi hasrat diskusi mahasiswanya. Institusi pendidikan justru memotong jalur intelektualitas dari para pembelajar. Bukankah masih ada cerita mahasiswa-mahasiswa kritis yang akhirnya sulit lulus karna doyan mengajak dosen berdiskusi? Mirip praktek sistem feodalis berabad lalu, hanya memang lebih buram. Sistem pendidikan baku menjadi raja diraja, guru dan dosen adalah kelas bangsawan, dan murid adalah jelata. Makhluk-makhluk mekanis akhirnya kehilangan kemampuan mengelaborasi bekal pengetahuannya untuk berjejak diatas persoalan sosial yang riil.

Dan ini erat kaitannya dengan mengkhatami proses pemahaman membaca. Ketika institusi pendidikan bertahun-tahun membatasi pemikiran-pemikiran kita, maka ketika kita lepas dari formalitas tersebut, ada semacam ketertinggalan atau lag yang mesti dikejar.

Lag tersebut sudah masuk dalam ranah cultural lag (ketertinggalan budaya), seperti konsep dari William F. Onburn, sosiolog pertama yang merinci tentang perubahan sosial. Perbedaan antara taraf kemajuan dari berbagai bagian dalam kebudayaan dari suatu masyarakat, dari kebudayaan material dan kebudayaan immaterial. Perubahan material terjadi lebih dulu, dalam bahasan ini adalah teknologi yang mencipta kebebasan aksesibilitas itu sendiri, lebih dulu. Sedangkan budaya membaca sebagai aspek budaya immaterial, tertinggal di belakang. Kebudayaan immaterial lah yang akhirnya harus menyesuaikan diri dengan kebudayaan material yang lebih maju. Budaya membaca sebelum adanya kemasifan aksesibilitas akibat teknologi ini tentu mesti berbeda dengan budaya membaca ketika jalan satu-satunya untuk membaca adalah lewat buku. Kita tahu bahwa ada proses yang panjang dalam mencipta buku. Proses tersebut lebih militan ditempuh oleh penulis-penulis yang melahirkan karya konvensional (tulisan berupa buku secara fisik atau media masa cetak) dengan proses seleksi atau peluang terbit yang lebih ketat. Ini justru berbanding terbalik dengan perubahan budaya sekarang, internet sudah menjadi raja diraja. Sebagian portal media memang menyeleksi tulisan-tulisan yang masuk, namun sebagian lagi tanpa seleksi, belum lagi dengan media sosial dan blog personal. Siapapun bisa menulis apapun. Fakta dan ‘bumbu-bumbu’nya menjadi bias. Itulah yang terjadi dalam tsunami aksesibilitas. Meski saya tidak mengatakan bahwa penulis atau penyedia informasi media konvensional selalu lebih baik dari penulis di media terbarukan ini (internet). Sama sekali tidak. Tapi tahapan-tahapan pemahaman membaca minimal sampai pemahaman inferensial menjadi penting sekali dalam proses penyesuain lag.

Barbar menerima semua informasi saya kira adalah bentuk penolakan terhadap penyesuaian cultural lag. Dan itu artinya kemunduran budaya. Saat membaca yang sudah tidak lagi berarti membaca.

Atau mudahnya, membaca adalah proses mencerna. Buku atau bacaan atau tulisan atau berita atau artikel bukanlah kitab suci, pun penulisnya bukan pula nabi. Prosesnya mencerna bukan mukjizat yang tiba-tiba jatuh dari langit. Proses mencerna bacaan mungkin ibarat mengeluarkan enzim bernama nalar, bernama analisis, bernama kontemplasi. Rentet pekerjaan intuitif yang sebenarnya bisa pelan-pelan terkonstruksi dengan terus melatih diri.

Paranoia pemerintah terhadap bacaan-bacaan yang dianggap akan mencederai Pancasila seolah merupakan pengakuan (tidak langsung) bahwa masyarakat kita memang bukan masyarakat yang siap terhadap informasi. Begitu pula dengan bentuk kemunduran akal dalam penyitaan-penyitaan buku, pembakaran-pembakaran buku, pengusiran kegiatan diskusi buku, dan pergelaran lapak baca. Para pamong menunjung keamanan negara di atas segalanya. Tapi clash yang muncul akibat pengalaman tersebut justru memposisikan negara menjadi tidak aman. Karena? Kehilangan respect dari pelaku evolusi budaya, yaitu orang-orang yang sebenarnya peduli terhadap penyesuain lag.

 

Menyelamatkan Rantai Literasi

Ada sebanyak 88 juta masyarakat Indonesia terkoneksi dengan internet, lebih dari 5 juta blogger, dan ratusan portal online.

Apa artinya? Jika mengambil pendekatan konsep ekonomi, ada peluang sebanyak 88 juta pembaca (demand), dan 5 juta penulis (supply), serta ratusan media (market place). Ini jelas merupakan peluang besar untuk menyelamatkan rantai literasi yang sudah mulai aus oleh cultural lag. Dan rasanya tak ada pilihan yang lebih taktis selain: aktif menyupply bacaan-bacaan yang berkualitas, yang mendidik.

Sebab mendidik bukan hanya kata kerja milik guru. Mendidik bukan lagi tentang ruang-ruang fisik dengan jam tertentu dan doktrin sistem tertentu. Mendidik adalah pekerjaan orang-orang yang setuju terhadap kontinuitas kemajuan peradaban.

Jurnalis formal media populer hari ini adalah aset milik sekelompok orang, yang suka atau tidak suka, ‘arah’ tulisannya digiring oleh idelogi dan kepentingan media. Tapi jurnalis informal, yaitu para pelaku evolusi budaya yang menulis secara independen, di media yang independen pula, adalah power supply yang untuk memenuhi demand penyesuaian cultural lag. Kelak bukan hanya untuk menjadi setara, tapi bahkan melebihi. Aspek budaya immaterial yang lebih maju dari budaya material. Dan pada titik itu, manusia akan kembali menuju fitrah sebagai makhluk paling beradab dengan kemurnian akal pikirannya.

Akhirul kalam, sebuah paragraf milik Tirto Adjie Soerjo (1918) lagi-lagi mengusik saya,

“Kita semua harus menerima kenyataan, tapi menerima kenyataan saja adalah pekerjaan manusia yang tak mampu lagi berkembang. Karena manusia juga bisa membikin kenyataan-kenyataan baru. Kalau tak ada orang mau membikin kenyataan-kenyataan baru, maka ‘kemajuan’ sebagai kata dan makna sepatutnya dihapuskan dari kamus umat manusia.”

Dan kenyataan-kenyataan baru memang hanya mampu ditulis oleh orang-orang yang tidak memiliki kepentingan apapun. Kecuali kepentingan untuk menjaga ‘kemajuan’ sebagai kata dan makna yang tetap ada dari kamus umat manusia.

 

(artikel ini juga diterbitkan di website 1jutabuku.org)

Ikuti tulisan menarik Diaz Setia lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler