x

Cagub DKI Agus Harimurti Yudhoyono disambut di Jakarta International Expo Kemayoran, Jakarta, 25 Oktober 2016. Tempo/Avit Hidayat

Iklan

Effnu Subiyanto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Agus Harimurti Yudhoyono, Mayor di Panggung Jenderal

Mengamati kontestasi pemilihan gubernur di Jakarta memang sangat menarik dan mengasyikkan. Bukan saja karena DKI 1 adalah RI 3, namun perkembangan politik

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mengamati kontestasi pemilihan gubernur di Jakarta memang sangat menarik dan mengasyikkan. Bukan saja karena DKI 1 adalah RI 3, namun perkembangan politik Jakarta yang sejatinya pusat ekonomi Indonesia, maka tidak mengherankan jika seluruh perhatian terpusat pada kota ini.

Masuknya jagoan Cikeas baru Mayor (Purn) Agus Harimurti Yudhoyono (38 tahun) berpasangan dengan Sylviana Murni pun penuh kejutan dan kecemasan. Terkejut karena masih sangat muda harus mengakhiri karir sebagai prajurit TNI yang cemerlang dan tentu saja disertai dengan kecemasan bagaimana nasibnya kelak jika gagal menjadi gubernur.

Prediksi beberapa lembaga survei elektabilitas Agus juga tidak menguntungkan. Merujuk data Media Research Center akhir Oktober, kandidat petahana Ahok-Djarot tetap unggul dengan 37,8 persen disusul Anies-Uno 28,3 persen. Sementara peluang Agus-Sylviana berkisar 17,3 persen. Kendati sebanyak 16,6 persen responden belum menentukan sikapnya dan diasumsikan dimiliki Agus, kandidat poros Cikeas ini hanya memiliki peluang 33,9 persen dan tetap tidak akan mampu menggusur dominasi Ahok.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hal yang mencemaskan lainnya sebetulnya pencalonan Agus terlalu dini dan bertentangan dengan strategi TNI itu sendiri dan Agus tentu sangat paham. Dalam doktrin tugas karya TNI/Polri pada era orde baru, sangat dikenali bahwa untuk menjadi gubernur minimal harus berbintang 1 atau bintang 2. Ini dalam rangka untuk koordinasi dengan jabatan panglima Kodam yang juga bintang 2 atau dengan Kapolda. Demikian untuk menjadi bupati, maka prajurit TNI/Polri minimal berpangkat letnan kolonel atau kolonel dalam rangka kesetaraan dengan komandan Kodim dan atau Kapolres. Agus tentu saja melawan arus karena masih 1 dan 2 tingkat menjadi letkol atau kolonel dan bahkan masih 3 tingkat menyandang bintang 1. Bahkan Agus seharusnya belum sepadan menjadi Kabiro Kamtib pada sebuah BUMN yang minimal menentukan pangkat letkol yang segera akan pensiun.

Inilah anomali panggung perpolitikan Indonesia yang tidak biasa, lebih mengedepankan feeling serta intuisi dibanding alasan rasional. Dorongan untuk memasukkan Agus tentu didasarkan atas faktor genetika dari figur SBY yang sangat kuat. Pengusung strategi Cikeas ini hanya mengharapkan pantulan dari voter fanatic SBY yang diprediksikan mampu “mengganggu” petahana Ahok yang sangat kuat.

Ekonomi Politik

Tergodanya Agus meninggalkan karir cemerlang TNI memasuki kancah ketidak-pastian politik praktis sebetulnya tidak bisa ditinggalkan dari interest ekonomi. Pemimpin politik secara otomatis mengontrol sejumlah nilai ekonomi baik secara langsung dan tidak langsung. Untuk DKI Jakarta nilai ekonominya memang sangat luar biasa mencapai Rp 66 triliun dengan kontribusi terhadap PDB nasional 16,17 persen. Untuk diketahui PDB Indonesia tahun 2015 adalah Rp 12.706,98 triliun.

Disebabkan sangat besarnya perspektif ekonomi dalam politik, William Petty (1870) tokoh ekonomi klasik mengemukakan keterkaitan antara politik dan ekonomi. Riset itu dilanjutkan John Kenneth Galbraith (1990) pada masa post-Keynesian yang jelas-jelas menyebutkan power dalam hal ini militer sebagai faktor penting politik ekonomi. Situasi ini persis dialami dalam sejarah politik ekonomi di Indonesia pada masa orde baru dan permulaan periode reformasi dan bahkan beberapa wilayah di Indonesia masih berbasis military ruling (Rahardjo, 2011).

Untuk alasan ini tangsi-tangsi tentara menguasai pos-pos strategis ekonomi Indonesia sepanjang patron pemerintahan Suharto. SBY tampaknya memegang hegemoni ini dan kemudian menjagokan salah satu dinastinya Agus. Betapapun sebagian memang masih menghendaki demikian dan ini adalah bagian dari demokrasi.

Namun penting diingat bahwa masyarakat Jakarta yang merepresentasikan penduduk paling cerdas di Indonesia beberapa tahun terakhir ini menunjukkan perilaku politik ekonomi yang tidak biasa. Figurnya sulit ditebak meskipun politik uang mengintrusi, hal ini paling tidak terbukti saat melajunya kandidat Joko Widodo yang tidak diunggulkan sebelumnya sebagai Gubernur DKI. Jokowi menawarkan terobosan dari kemandekan sosial ekonomi yang ruwet dan akhirnya memberikan tiket ke Istana.

Berikutnya pradigma “Jakarta sudah gila memerlukan pemimpin gila” dipegang kuat oleh Ahok dan menyebabkan popularitas Ahok menjadi kuat. Gubernur Ahok demikian “gila” mencopoti pejabat yang tidak becus bekerja, menayangkan kepemimpinan “ugal’ugalan” secara ekspresif dan sebagian warga Jakarta menikmatinya kendati sebagian lainya berseberangan. Prinsipnya untuk kebaikan, apapun yang dilakukan Ahok diamini warga Jakarta.

Tawaran Agus

Pekerjaan sebagai Gubernur DKI sungguh tidak bisa dilakukan sebagaimana menjadi komandan batalyon dengan kekuatan 500 prajurit. Komandan batalyon tentu hanya memiliki scope yang belum pada lavel komando apalagi dalam lingkup daerah militer. Setinggi apapun kecerdasan militer Agus dan pengalaman internasionalnya, tentu akan sangat kesulitan di Jakarta. Apalagi pasangan Agus yakni Sylviana juga sekelas dan belum menunjukkan prestasi pada tingkat nasional. Tantangan Agus adalah demografi masyarakat Jakarta yang heterogen mencapai 12 juta orang dan sudah pasti memunculkan masalah super kompleks. Bahkan masalah rubuhnya jembatan penyeberangan orang (JPO) Pasar Minggu pada minggu lalu pun cukup memantik reaksi warga Jakarta.

Betapapun Agus masih memiliki peluang pada level kuda hitam yang akan memecah konsentrasi pendukung Ahok. Kompetitor Agus notabene sangat kuat yaitu pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno yang sangat berpengalaman dan matang. Sebagai first runner untuk strategi yang lebih besar, pentas pilkada DKI tentu sangat berharga.

Namun Agus perlu berkreasi lebih banyak dengan jargon yang diusungnya. Tagline “fresh dan bersih” terasa “ringan” dan jauh dari cukup untuk menarik perhatian warga Jakarta meski ada genetika SBY di punggung Agus. Jakarta sungguh tidak sepadan resikonya jika memiliki pemimpin masih dalam tahap “probation”, lebih jauh sesungguhnya Jakarta memerlukan bintang 3 dan atau kandidat sipil sekelas bintang 3 bukan sekedar mayor.

*) Effnu Subiyanto, Senior Advisor CikalAFA Umbrella, Direktur Koridor, Memperoleh doktor ekonomi dari Unair

Ikuti tulisan menarik Effnu Subiyanto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu