x

Ilustrasi BPJS Kesehatan. TEMPO/Tony Hartawan

Iklan

Effnu Subiyanto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 16 September 2019 09:35 WIB

Salah Hitung Total Iuran BPJS Kesehatan

Mengurai polemik rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Lembaga ini terlihat salah hitung total iuran dan menggunakan isu defisit untuk menaikkan iuran secara fantastis.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pemerintah rupanya sudah kehabisan akal menangani defisit BPJS Kesehatan. Tahun depan nilai iuran peserta akan dinaikkan luar biasa untuk 4 golongan yakni, Penerima Bantuan Iuran (PBI), pekerja swasta, ASN/TNI/Polri/BUMN/BUMD dan peserta mandiri. Nilai iuran PBI naik 82,61 persen menjadi Rp 42 ribu/peserta/bulan, pekerja swasta naik 50 persen, peserta mandiri dinaikkan masing-masing 50 persen (kelas 1), naik 47,06 persen (kelas 2) dan naik 64,71 persen (kelas 3).

Khusus untuk golongan ASN/TNI/Polri/BUMN/BUMD tetap 5 persen namun jika sebelumnya menggunakan plafon pendapatan maksimal Rp 8 juta/bulan maka nanti menjadi 5 persen dari pendapatan dibawa pulang (THP). Sementara golongan peserta dari pekerja swasta total iuran tetap 5 persen namun plafon pendapatan maksimal sudah dinaikkan menjadi Rp 12 juta/bulan (sebelumnya pendapatan maksimal Rp 8 juta/bulan).

Untuk peserta pekerja swasta jika total iuran 5 persen dengan plafon gaji maksimal Rp 8 juta/bulan adalah Rp 400 ribu/bulan, maka kenaikan nanti dengan plafon gaji maksimal Rp 12 juta/bulan akan menjadi Rp 600 ribu/bulan atau kenaikan 50 persen.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Yang paling tinggi adalah kenaikan golongan ASN/TNI/Polri/BUMN/BUMD karena bakal menggunakan basis take home pay (THP). Jika sebelumnya menggunakan asumsi pendapatan maksimal Rp 8 juta, sementara THP ASN/TNI/Polri/BUMN/BUMD bisa mencapai dua kali asumsi Rp 8 juta, maka kenaikan iuran golongan ini bakal mencapai sekurang-kurangnya 200 persen.

Rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini tentu sangat disesalkan karena pengelolaannya yang amburadul. BPJS Kesehatan berkilah karena selalu defisit, lebih besar kewajiban klaim rumah sakit dibanding besaran iuran peserta. Angka defisit pada tahun 2014 (– Rp 1,54 triliun), tahun 2015 (– Rp 5,85 triliun), 2016 (– Rp 9,7 triliun), 2017 (– Rp 9,75 triliun) dan 2018 (– Rp 9,1 triliun). Prediksi defisit BPJS Kesehatan tahun ini sekurang-kurangnya bakal Rp 32,84 triliun.

Pernyataan defisit BPJS Kesehatan ini aneh karena nilai iuran dari seluruh peserta berjumlah 223,36 juta peserta saat ini sebetulnya positif. Dengan simulasi menggunakan tarif saat ini terendah dan kelas sekarang terendah yakni kelas 3, nilai akumulasi iuran minimal Rp 127,57 triliun per tahun.

Hitungannya adalah peserta PBI baik APBN dan APBD berjumlah 133,93 juta orang, ASN/TNI/Polri/BUMN/BUMD saat ini terdaftar 17,54 juta orang, peserta swasta 34,13 juta dan peserta mandiri 37,76 juta orang. Menggunakan tarif iuran terendah yakni Rp 23.000/bulan setiap peserta untuk PBI, iuran ASN/TNI/Polri/BUMN/BUMD Rp 25.500/bulan, swasta terendah kelas 3 yakni Rp 25.500/bulan demikian pula peserta mandiri dengan tarif yang sama, maka akumulasi iuran total Rp 64,33 triliun/tahun.

Namun harap diingat bahwa untuk pekerja BUMN dan swasta jumlah total iuran yang diterima BPJS Kesehatan adalah 5 persen terdiri 1 persen dari pekerja dan 4 persen dari pemberi kerja berdasarkan Perpres 19/2016. Apabila golongan swasta dan ASN/TNI/Polri/BUMN/BUMD dihitung 5 persen-nya (bukan iuran peserta Rp 25.500/orang) maka total pendapatan BPJS Kesehatan per tahun adalah Rp 127,57 triliun.

Total iuran Rp 127,57 triliun memang pada saat ini dengan total peserta 223,36 juta peserta. Namun dengan persamaan linier karena pertumbuhan peserta per tahun dalam range 2,44 persen sampai 3,51 persen, maka total iuran dapat ditarik mundur pada tahun 2018, 2017, 2016 dan juga 2015.

Untuk meyakinkan perhitungan penulis menggunakan pertumbuhan peserta 5 persen per tahun dan hasilnya akumulasi iuran tahun 2018 adalah Rp 124,46 triliun, Rp 121,42 triliun (2017), Rp 118,46 triliun (2016) dan Rp 115,57 triliun (2015). Nilai akumulasi iuran peserta ini jauh lebih besar dibanding klaim 2018 (Rp 94,3 triliun), Rp 84,44 triliun (2017), Rp 67,25 triliun (2016) dan Rp 57,11 triliun (2015).  

Bahkan meski kewajiban bagian pemerintah tidak dibayar seluruhnya yakni peserta PBI APBN dan PBI APBD Rp 0, hanya total iuran tahun 2018 yang defisit Rp 5,91 triliun. Namun perlu pula diketahui bahwa ketika bantuan PBI diberikan APBN ditambah dengan dana talangan, maka posisi akhir dana diterima BPJS Kesehatan seharusnya surplus Rp 30,09 triliun (2018), Rp 30,69 triliun (2017), Rp 48,48 triliun (2016) dan Rp 29,97 triliun (2015).

Perlu dicatat bahwa dana PBI APBN (belum termasuk APBD) berturut-turut sejak 2018 adalah Rp 25,5 triliun, Rp 25,3 triliun (2017) dan Rp 24,8 triliun (2016). Dana talangan pun diberikan APBN yakni Rp 10,5 triliun (2018), Rp 3,6 triliun (2017), Rp 6,8 triliun (2016), Rp 5 triliun (2015) dan Rp 500 miliar (2014).

Jika melihat hitung-hitungan sederhana ini, maka sangat ironis sekali bagaimana metode perhitungan BPJS Kesehatan saat ini. Terkesan mudah sekali melaporkan defisit agar bisa menolak hak peserta untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, tampak senang sekali menjadi beban laten APBN, dan membuat gaduh sektor sosial karena berita menunggak kewajiban membayar klaim rumah sakit.

Tidak berlebihan apabila Serikat Pekerja atau Serikat Buruh ramai-ramai menolak kenaikan iuran ini dalam bentuk demonstrasi besar-besaran. Bahkan jika melihat usulan besaran kenaikan dari Menteri Keuangan, tarif BPJS Kesehatan menjadi sangat mahal dan tidak masuk akal.

Trade-off BPJS Ketenagakerjaan

Rencana menaikkan iuran BPJS Kesehatan secara spektakuler, nyata-nyata adalah jalan pintas pemerintah yang patut disayangkan. Di tengah himpitan beban hidup rakyat Indonesia yang belum pulih, memberikan beban baru adalah ketidak-patutan. Beban rakyat Indonesia tahun depan pun sudah pasti bertambah karena dicabutnya subsidi listrik untuk golongan pelanggan kelas 900 VA.

Jika dirunut sejarahnya, BPJS saat ini adalah realisasi dari gagasan besar Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diundangkan dalam Undang Undang (UU) Nomor 40/2004. UU SJSN kemudian diturunkan dalam UU Nomor 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Di dalam UU ini ada mandate dibentuk BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Maknanya dua sistem BPJS ini adalah satu kesatuan dari sistem SJSN.

Pada saat ini cerita BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan seolah bagai bumi dan langit. BPJS Kesehatan merilis cerita-cerita sedih karena defisit parah, sementara BPJS Ketenagakerjaan melaporkan prestasi dan kegembiraan karena manfaat investasi. Sampai akhir 2018 lalu, BPJS Ketenagakerjaan melaporkan jumlah peserta 50,57 juta peserta dengan nilai iuran dihimpun Rp 65,1 triliun. Aset dana jaminan sosial yang dikelola sudah mencapai Rp 359,4 triliun naik 15 persen yoy. Total dana kelola Rp 374,3 triliun dengan pendapatan investasi Rp 27,3 triliun.

Jika target pendapatan investasi BPJS Ketenagakerjaan tahun ini tercapai Rp 33 triliun, jika ditrade-off antara kedua badan jaminan sosial tersebut maka dengan seketika selesailah ancaman defisit BPJS Kesehatan sebesar Rp 32,84 triliun itu.

Dua lembaga jaminan sosial ini perlu disatukan dalam laporan keuangan konsolidasi sehingga konsep SJSN dikembalikan seperti saat gagasan ini dibuat pertama kali. Menaikkan iuran peserta di samping sangat tidak bijak, maka pemerintah di sisi lain sudah menciptakan iklim rivalitas antara dua lembaga ini dan tampak sekali tidak strategis.

Yang perlu diketati memang kinerja BPJS Ketenagakerjaan dengan dana begitu besar seharusnya berpotensi mendapatkan manfaat lebih besar. Pada saat ini dana dikelola rata-rata tumbuh sekitar 15 persen per tahun namun nilai manfaat investasi lebih kecil yakni pada kisaran 8,15 persen (2018). Kinerja BPJS Ketenagakerjaan sebagai sumber gain-driver tampak tidak maksimal padahal kekuatan ekonominya demikian besar dilihat dari total dana kelolaan.

Pada saat ini peserta yang notabene pekerja di Indonesia percaya penuh bagaimana uang iuran untuk hari tua/pensiun dikelola BPJS Ketenagakerjaan. Teknisnya bahkan tidak tahu, apakah digunakan untuk investasi infrastruktur atau instrumen keuangan portofolio lain, laporan secara transparan ke setiap peserta selalu tidak ada padahal lembaga ini mendapatkan iuran 10,89 persen per bulan dari perusahaan. Dari nilai tersebut 4 persen dipotongkan dari gaji pekerja. Jumlah ini cukup besar, namun kewajiban lembaga BPJS Ketenagakerjaan tidak secara sistem dilaksanakan untuk memenuhi hak informasi untuk peserta.

Usulan laporan keuangan konsolidasi ini cukup masuk akal dibanding rencana pemerintah untuk mengundang investor China menjadi bohir BPJS Kesehatan. Beberapa waktu lalu sebuah perusahaan asuransi asal China Ping-an Insurance memberikan saran untuk mengatasi defisit BPJS Kesehatan. Usulan perusahaan asing ini adalah menggunakan solusi berbasis kecerdasan buatan artificial intelligence (AI) yang diklaim sudah teruji di 282 kota di China dengan total 403 juta peserta.

Sebelum rencana liberalisasi BPJS Kesehatan dilakukan pemerintah, masih banyak hal yang perlu dikaji dan dibetulkan dalam tubuh BPJS Kesehatan. Jika menentukan nilai iuran saja masih belum tepat padahal menggunakan itung-itungan sederhana, bagaimana lembaga jaminan kesehatan ini berpikir besar menyangkut strategi pengelolaan kesehatan rakyat Indonesia.

 *) Effnu Subiyanto, Dosen dan Peneliti UKWM Surabaya, Ketua Umum Serikat Karyawan Semen Indonesia (SKSI)

 

 

Ikuti tulisan menarik Effnu Subiyanto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler