x

Iklan

yswitopr

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

#GagalKudeta?

Ada istilah “wong ngalah, luhur wekasane”.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Demo Damai 4 November 2016 telah berakhir. Aksi demo yang dilindungi Undang-undang tersebut berakhir dengan damai. Sayang, setelah aksi tidak lagi dilindungi Undang-undang, mulailah terjadi situasi yang tidak terkendali. Di beberapa tempat terjadi aksi pembakaran, perlawanan kepada aparat,  dan juga penjarahan.

Sampai hari ini, pembicaraan masih tetap ramai. Ada yang menyoroti terjadinya kerusuhan. Ada yang menyoroti jaket Pak Jokowi. Ada yang ngomongin isi pidatonya. Dan masih banyak lagi topik yang dibicarakan.

Ada satu topik yang jarang terdengar atau terbaca oleh saya: apa tujuan aksi damai 4 November 2016? Banyak media massa memberitakan bahwa tujuan aksi damai 4 November 2016 adalah “demo Ahok”. Dengan kata lain, para pendemo meminta penegakan hukum kepada Ahok yang diduga melakukan pelecehan atau penghinaan agama. Para demontrans menuntut ketegasan aparat pada kasus pelecehan agama yang diduga dilakukan oleh Ahok.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ini menarik, dibandingkan topik-topik lainnya: demo ditunggangilah, siapa provokatornyalah, atau topik lainnya. Mengapa menarik?

Pertama, tuntutan menjadi tidak logis. Tujuannya adalah menuntut ketegasan aparat. Setuju untuk kasus apa pun, aparat harus tegas. Salah katakan salah. Benar katakan benar. Dalam pengamatan saya, tujuan ini harusnya selesai. Sebab, aparat telah bergerak untuk menuntaskan kasus ini. Beberapa saksi ahli telah dimintai keterangan. Ahok pun sukarela datang ke Bareskrim. Jadi, apalagi?

Rupanya, dibalik kata “menuntut ketegasan” adalah Ahok salah maka harus ditangkap dan di penjara. Jika tidak, bahkan ada video yang menayangkan sayembara berhadiah 1 M untuk kepala Ahok.

Inilah yang saya katakan tidak logis. Menuntut ketegasan aparat artinya menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab kepada aparat. Masyarakat mengawal proses itu. Selesai, bukan? Bangsa Indonesia ini negara hukum, kan? Dengan tuntutan yang saya katakan tidak logis tadi maka proses menjadi rentan kepentingan. Tekanan yang masif dan terus menerus bisa mempengaruhi hasil penyelidikan, bahkan keputusan. Demi masyarakat, 1 orang dikorbankan. Yang penting kondisi bisa dikendalikan. Jika ini terjadi, muncullah preseden buruk proses peradilan di negeri ini: intervensi atas sebuah proses peradilan. Siapa yang kuat, dia yang menang.

Kedua, pergeseran tujuan. Awalnya adalah tuntutan untuk Ahok. Dalam perjalanan waktu, tuntutan berubah dan mengarah kepada Presiden RI, Bapak Jokowi. Waktu orasi, Fahri Hamsah sudah menegaskan cara melengserkan Jokowi: parlemen ruangan atau parlemen jalanan. Selain FH, Fadlizon juga demikian. Sejak awal sudah menunjukkan arah pergeseran tuntutan.

Selain itu, trending topik di media massa adalah #Presidenkemana dan #JokowiKabur. Setelah itu, #KudetaGagal. Fakta-fakta semacam ini jelas menunjukkan terjadinya pergeseran arah. Dari Ahok ke Jokowi atau bahkan keduanya sekaligus.

Logika yang disematkan adalah Jokowi dianggap melindungi Ahok. Jokowi dianggap mengintervensi sehingga kasus Ahok dinilai lambat ditangani.  Maka, Jokowi pun diikutkan dosanya.

Pergeseran arah ini menarik untuk ditelaah. Kita sama-sama tahu, Presiden Jokowi dan Ahok adalah Presiden dan Gubernur yang sejak terpilihnya sudah menimbulkan gonjang ganjing di negeri ini. Hingga sekarang, masih banyak yang menilai Jokowi gagal sebagai Presiden, maka layak dilengserkan. Demikian juga Ahok. Sampai ada Gubernur tandingan.

Maka, momentum kasus yang diduga dilakukan Ahok menjadi sebuah momentum untuk mencapai tujuan semula: penolakan pada Jokowi dan Ahok. Sekali tepuk dua-duanya kena. Siapa yang paling keras menyuarakan soal Jokowi dalam aksi damai 4 November 2016?

Tekanan yang masih seperti ini, membawa Jokowi pada buah simalakama. Jika mengikuti keinginan masyarakat: tangkap Ahok dan penjarakan, maka Jokowi telah melakukan intervensi para proses hukum. Buahnya: Jokowi bisa kena pasal, bukan? Jika Jokowi terjerat kasus hukum, bukankah dia harus lengser?

Di pihak lain, jika Jokowi tidak mendengarkan aspirasi maka kegaduhan akan terus berlanjut. Suara-suara sumbang akan terus berkumandang lebih kencang dan semakin kencang. Jokowi tidak bisa fokus lagi untuk melanjutkan program-programnya. Stabilitas nasional pun bisa terganggu. Jika demikian kondisinya, maka akan muncul hastag #JokowiGagal. Endingnya?

*****

Sebagai orang Jawa, saya percaya Jokowi demikian pandai mengatur strategi. Demikian halus, namun tanpa terasa sebuah tamparan tiba-tiba mengenai muka. Ada istilah “wong ngalah, luhur wekasane”. Kepandaian Jokowi inilah yang akan mampu mengurai carut marut situasi politik saat ini. Cukup menggoyang dedaunan, dan tikus-tikus pun bermunculan keluar dari sarangnya.

Ikuti tulisan menarik yswitopr lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler