x

Iklan

Agus Supriyatna

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ketika Mata Pak Menteri Berkaca-kaca

Dia bukan orang sembarangan di republik ini. Jabatannya, Mendagri, sebuah jabatan startegis di kabinet yang bisa dikatakan 'tangan kanan' Presiden.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sambil berdiri menatap deretan pusara, lelaki bertubuh tinggi besar itu matanya tampak berkaca-kaca. Ia mengambil tisu dari sakunya, lalu mengelap matanya yang terlindung kaca mata. 
 
" Banyak kenangan tentang ayah saya," kata lelaki itu dengan suara lirih. Temannya yang diajak bicara mengangguk-angguk. Lelaki tinggi besar, berkacamata yang matanya berkaca-kaca itu adalah Tjahjo Kumolo. 
 
Dia bukan orang sembarangan di republik ini. Jabatannya, Menteri Dalam Negeri, sebuah jabatan startegis di kabinet yang bisa dikatakan 'tangan kanan' Presiden. 
 
Hari itu, Sabtu, tengah hari, Tjahjo sedang ada di Semarang. Rencananya hari itu juga Tjahjo akan kembali terbang ke Jakarta, setelah sehari sebelumnya melakukan kunjungan kerja ke Kabupaten Grobogan, salah satu kabupaten yang ada di Jawa Tengah. 
 
Sebelum pulang kembali ke Jakarta, Tjahjo menyempatkan diri berziarah ke makam keluarganya di daerah Randusari, Semarang Selatan. Sebelum berziarah, Tjahjo sempat mengajak semua yang ikut dengannya ke sebuah rumah makan untuk makan siang. Di rumah Makan Kepala Ikan Manyung, Bu Fat, Tjahjo santap siang. Selesai makan, baru bergerak ke pemakaman keluarganya yang ada di TPU Bergota, Randusari, Semarang Selatan. 
 
Saya kebetulan ikut dalam acara kunjungan kerja Tjahjo ke Grobokan. Dan, rencananya akan ikut pulang bareng ke Jakarta, satu pesawat dengannya. Ada pemandangan menarik ketika Tjahjo tiba di pemakaman. Beberapa pekerja proyek yang sedang asyik makan dan ngopi di depan komplek makam, tampak kaget, saat mobil Patwal polisi merapat. Apalagi, setelah tahu siapa yang dikawal. Mereka tak menyangka yang turun adalah Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo yang mungkin selama ini hanya dilihat di layar televisi. 
 
Setelah turun dari mobil, Tjahjo pun bergegas menuju komplek pemakaman. Jalanan menanjak menuju komplek makam. Hawa siang itu terasa menyengat. Bahkan, sinar matahari sedang terik-teriknya, maklum waktu sudah masuk tengah hari. 
 
Saat memasuki komplek makam, Pak Acho Maddaremeng, tiba-tiba nyeletuk. " Ini benar-benar makam toleransi. Yang Islam dan Kristen di makamkan satu komplek," katanya. 
 
Saya yang tak perhatikan itu, akhirnya coba memerhatikan beberapa makam. Benar saja, ada beberapa makam di nisannya ada gambar Salib. Tapi, makam-makam lainnya adalah pusara bagi warga yang beragama Islam. Setidaknya dilihat dari nama, serta tak adanya gambar Salib di nisan makam. 
 
" Itu makam keluarga saya," kata Menteri Tjahjo saat tiba di tepi komplek pemakaman sambil menunjuk ke deretan makam-makam berwarna merah marun atau merah tua. Ia pun melangkah perlahan menuju deretan makam yang ditunjuknya. 
 
Setelah tiba, ia pun menunjuk makam sang ayah. " Ini makam ayah saya".  Lalu ia menunjuk makam di sebelahnya. " Ini makam ibu saya. Kalau yang sebelah-sebelahnya lagi, makam kakak dan adik ibu saya," kata Tjahjo. 
 
Sebuah pohon Kamboja tumbuh di pinggir deretan makam keluarga Tjahjo. Di sebelahnya pohon lain yang daunnya cukup rimbun menaungi deretan makam. Sepertinya pohon cherry atau kersen. Terik tak begitu terasa. Komplek makam keluarga Tjahjo tak berpagar. Terbuka saja. Sekitar makam diberi alas paving block. Semua bagian makam di tutupi oleh keramik warna merah tua. Sehingga membedakan dengan makam-makam sekitarnya. 
 
Setelah tegak berdiri depan makan sang ayah, Bambang Soebandiono Tjahjo beringsut. Lalu, ia bersimpuh di sisi makam. Kedua tangannya ia letakan di atas paha. Telapak tangan terbuka ke atas, seperti hendak berdoa. Kemudian matanya terpejam. Mulutnya melapadzkan doa. Hening. Sampai ia kemudian mengusap mata. 
 
Usai berdoa Tjahjo berdiri. Ia kemudian beranjak ke jejeran makan di atasnya. Kata dia, itu adalah makam eyangnya. Dua makam dengan porselin warna ungu yang dituju Tjahjo. Di dua makam itu, tak ada pepohonan yang menaungi. Terik terasa menyengat.
 
Di salah satu makam, Tjahjo bersimpuh. Lalu seperti tadi, ia melapadzkan doa. Matanya terpejam. Sampai ia kemudian mengusap wajah. Usai berdoa di makam sang eyang, Tjahjo melangkahkan kaki kembali ke jejejaran makam keluarganya. Di depan makam, sambil bersender di pagar sebuah komplek makam, Tjahjo menatatap nanar makam ayah dan ibunya. Di sampingnya berdiri temannya asal Semarang. Sejenak tak ada pembicaraan. Sampai ia merogoh sakunya mengambil tisu dan sapu tangan. Lantas ia mengusapkannya ke mata dia. Matanya berkaca-kaca. 
 
" Banyak kenangan tentang ayah saya," katanya dengan lirih. Ingin saya mendengarkan ucapan Tjahjo selanjutnya. Sayang, saya terganggu dengan seorang staf yang berdiri dekat Tjahjo. Ia tiba-tiba meminta saya untuk memfoto dirinya dengan Tjahjo. Ah, ini orang tak tahu tempat berselfie. Di makam masih saja mau selfie, sedikit saya menggerutu. Tjahjo tak marah, ia ramah meladeni yang mau foto bareng. 
 

Ikuti tulisan menarik Agus Supriyatna lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler