x

Iklan

marwan mas

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Konsisten Merawat Keberagaman

Keberagaman dalam bingkai NKRI merupakan keniscayaan karena senantiasa merekatkan persatuan dan kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Konsisten Merawat Keberagaman

Oleh Marwan Mas

Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa, Makassar

       Istilah “empat pilar kebangsaan” dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 100/PUU-XI/2014, tanggal 3 April 2014 mengenai Pasal 34 Ayat (3b) huruf-a UU Parpol dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pengujian UU Parpol diajukan sejumlah warga negara yang tergabung dalam Masyarakat Pengawal Pancasila Jogya, Solo, dan Semarang (MPP Joglosemar). Para pengusul uji materi keberatan masuknya Pancasila sebagai salah satu pilar kebangsaan. 

       Para pemohon menilai bahwa pasal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum karena menempatkan Pancasila sebagai salah satu pilar kebangsaan yang sejajar dengan ketiga pilar lainnya. Penempatan Pancasila sebagai pilar dianggap kesalahan fatal karena Pancasila yang ada dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945, telah disepakati para pendiri bangsa sebagai Dasar Negara sekaligus sumber dari segala sumber hukum.

       Dalam pertimbangannya, MK berpendapat menempatkan keempat pilar yang berarti tiang penguat, dasar pokok, atau induk dalam posisi sejajar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dari perpektif konstitusional tidaklah tepat. Sebab, keempat materi dalam pendidikan politik seluruhnya sudah tercakup dalam UUD 1945 yakni Pancasila, meski dalam pembukaan UUD 1945 tidak disebutkan secara eksplisit.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

       Kendati begitu, sosialisasi Pancasila sebagai dasar negara dan sumber dari segala sumber hukum, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika (keberagaman) harus terus dilakukan. Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) mengemukakan istilah “Empat Konsensus Kebangsaan”. Jika dipersepsikan dalam sosialisasi sebagai “sebuah bangunan”, maka “Pancasila adalah Dasar Negara atau fondasi negara, tiangnya UUD 1945, atapnya NKRI, dan penghuninya Bhinneka Tunggal Ika (keberagaman)”.

Urgennya Keberagaman

       Pengertian “Bhinneka Tunggal Ika” berdasarkan Wikipedia Bahasa Indonesia adalah “berbeda-beda atau beraneka-ragam tetapi tetap satu”. Kata Bhinneka Tunggal Ika terdapat dalam Lambang NKRI berbentuk Burung Garuda Pancasila. Dalam keseharian lebih sering disebut “keberagaman” yang di dalamnya merangkum eksistensi SARA yaitu suku, agama, ras, dan antargolongan. SARA merupakan pelbagai pandangan dan tindakan. Maka itu, keberagaman seyogianya dimaknai bahwa “meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap dalam satu kesatuan”.

       Kendati bangsa Indonesia beraneka-ragam suku, agama, ras, dan golongan yang memiliki kebudayaan, adat-istiadat, dan wilayah yang juga beragam, tetapi secara keseluruhan tetap dalam persatuan yaitu bangsa dan negara Indonesia. Aplikasi dari keberagaman bukanlah perbedaan yang saling bertentangan atau saling menegasikan. Justru keberagaman adalah keniscayaan dalam satu sintesa yang pada gilirannya memperkaya sifat dan makna persatuan kehidupan bangsa dan rakyat Indonesia.

       Begitu urgennya keberagaman sebagai implementasi dari persatuan dan kesatuan bangsa dalam bingkai NKRI, sehingga negara harus menjaminnya tanpa diskriminasi. NKRI dihuni oleh beraneka-ragam warga negara dengan suku, budaya, bahasa daerah, ras, agama, dan kepercayaan. Itulah yang harus dirawat secara konsisten karena berfungsi sebagai simbol pemersatu seluruh bangsa Indonesia. Terlebih di tengah perubahan kehidupan dunia modern (baca: liberal) yang acapkali berpotensi mengancam keutuhan dan kebersamaan rakyat dari suatu negara.

       Salah satu bentuk konsistensi merawat keberagaman dari aspek yuridis, khususnya kebebasan dan perlindungan beragama diatur dalam Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 1/1965. Kemudian Pasal 4 ketentuan itu ditempatkan di antara Pasal 156 dan 157 yaitu Pasal 156a KUHPidana, Bab V: Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum. Desain pasal tersebut pada hakikatnya untuk melindungi kenyamanan umat beragama di Indonesia.

       Pasal 156a KUHPidana berbunyi: “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun barangsiapa dengan sengajadi muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b.dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

       Pentingnya pengaturan untuk mencegah, melindungi, dan menegakkan penistaan terhadap agama karena persoalan agama dalam kehidupan masyarakat Indonesia sangatlah sensitif. Dalam realitas selama ini, selalu terjadi perbedaan penafsiran suatu ajaran agama yang berpotensi menimbulkan pertikaian atau konflik antarkelompok umat beragama. Apabila tidak diatur pencegahan dan penindakannya dalam undang-undang, dikhawatirkan pemeluk agama melakukan tindakan main hakim sendiri terhadap warga atau kelompok tertentu yang dinilai menodai atau menistakan suatu agama.

       Keniscayaan pencegahan penistaan agama yang diakui di republik ini ditujukan untuk merawat keberagaman dalam bingkai NKRI. Tidak boleh ada pembiaran bagi seseorang melakukan penistaan agama tertentu tanpa tindakan hukum. Penistaan agama dapat memicu terjadinya permusuhan yang mengganggu ketertiban umum. Hak konstitusional kebebasan beragama dijamin dalam Pasal 28E Ayat (1) UUD 1945 bahwa “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya...”. Bahkan Pasal 28E Ayat (2) UUD 1945 juga menjamin hak kebebasan setiap orang meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya.

       Keberadaan Pasal 156a KUHPidana juncto Penpres Nomor: 1/PNPS/1965 juga pernah diuji materi di MK oleh dua kelompok masyarakat. Ada yang menyoal lima norma hukum Penpres Nomor 1/PNPS/1965 dengan asumsi melanggar konstitusi, mengancam kebebasan beragama, bersifat diskriminatif, serta berpotensi melakukan kriminalisasi terhadap penganut agama minoritas. Ada juga yang menilai Pasal 156a KUHPidana “multitafsir” yang bertentangan dengan UUD 1945.

       Uji materi itu ditolak MK melalui putusan Nomor: 140/PUU-VII/2009, tanggal 19 April 2010. Menurut Majelis Hakim Konstitusi, Pasal 156a KUHPidana dan Penpres Nomor: 1/PNPS/1965 tidak membatasi kebebasan beragama, tidak diskriminatif, tidak mengandung kriminalisasi, serta tidak multitafsir sehingga tidak bertentangan dengan UUD 1945. Sebaliknya, menurut MK undang-undang ini melarang mengeluarkan perasaan yang bersifat permusuhan atau penodaan agama atau pokok-pokok ajaran agama yang ada di Indonesia.

       Pada akhirnya diyakini bahwa merawat keberagaman dalam bingkai NKRI, bukan hanya tugas pemerintah dan aparat hukumnya. Semua komponen bangsa harus menjadi filter dari potensi munculnya pertikaian SARA yang dapat memecah-belah persatuan bangsa. Ketegasan dan profesionalitas Polri mencegah dan menegakkan hukum terhadap gangguan ketertiban umum dari aspek penodaan agama dalam rangka merawat keberagaman, harus diapresiasi dan didukung penuh. Alangkah nikmatnya hidup rukun dan saling menghargai dalam keberagaman di negeri yang religius, beradab, dan berdasar atas hukum.(*)

Makassar, 19 November 2016

 

 

Ikuti tulisan menarik marwan mas lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu