x

Iklan

firdaus cahyadi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Politik Tai Kucing..

Politik Tai Kucing! kata Gie. Kata-kata yang justru masih relevan saat ini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"Politik tai kucing!" kata Soe Hok Gie, dalam sebuah percakapan di sebuah film GIE. Sebuah ungkapan kekecewaan terhadap kondisi dinamika politik yang tercerabut dari derita rakyat di tahun pertengahan tahun 1960-an. Sebuah kalimat pendek, tapi menghujam ke ulu hati.

Politik Tai Kucing. Kalimat kekecawaan itu ternyata masih relevan diucapkan di saat ini. Bagaimana tidak, kini selepas runtuhnya Orde Baru, para politisi sibuk berantem, sikut-sikutan satu sama lain. Namun, itu dilakukan hanya demi kekuasaan pribadi dan kelompoknya. Tercerabut dari akar persoalan derita rakyat.

Politik Tai Kucing. Masih ingat kasus lumpur Lapindo? Ya, sebuah bencana ekologi terbesar di Indonesia, mungkin juga di dunia. Apa respon para politisi terhadap bencana ekologi terbesar itu? Hampir seluruh politisi sepakat bahwa semburan lumpur yang menghancurkan rumah-rumah dan sawah warga itu adalah bencana alam. Tuhan dikambinghitamkan. Akibatnya, persoalan ganti rugi direduksi menjadi persoalan jual beli tanah dan rumah yang tenggelam. Kerugian warga akibat kerusakan ekologi tidak diperhitungkan. Bahkan tidak ada yang bertanggungjawab. Sebagian besar uang rakyat di APBN pun digelontorkan untuk ikut menyelesaikan persoalan itu. Adil? Jelas Tidak.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Anehnya, tindakan mengkambinghitamkan Tuhan dalam kasus semburan lumpur Lapindo, tidak dikategorikan dalam penistaan agama. Tidak ada aksi yang mendatangkan ratusan ribu hingga jutaan orang yang menggugat istilah bencana alam dalam kasus semburan lumpur di Sidoarjo.

Bukan hanya itu. Lihat saja fenomena yang terjadi akhir-akhir ini di Jakarta. Politik identitas mulai menguat. Sementara, persoalan-persoalan yang menyangkut hajat hidup orang banyak seperti penggusuran warga miskin kota, reklamasi Teluk Jakarta yang mengancam lingkungan dan menyingkirkan nelayan, pembangunan 6 jalan tol dalam kota yang akan menambah polusi udara justru hilang dari perdebatan wacana publik.

Tidak berhenti sampai di situ. Akhir tahun ini Indonesia menjadi tuan rumah perundingan perdagangan bebas ASEAN RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership). Anehnya, meskipun menjadi tuan rumah perundingan RCEP, pemerintah tidak membuka ke publik, sebagai pembayar pajak, apa isi teks yang sedang dirundingkan itu. Padahal justru berdasarkan dokumen yang bocor di internet, RCEP jika diterapkan akan berdampak buruk bagi perempuan, petani, buruh, konsumen obat-obat murah dan pengguna internet.

Ya, Politik tai kucing, seperti yang pernah diucapkan Gie justru relevan menggambarkan kondisi saat ini. Sebuah dinamika politik yang tercerabut dari persoalan derita rakyat. Dan dinamika politik itu kini berada di depan mata kita secara nyaris telanjang. Gie, jika sekarang masih hidup, tentu akan banyak menulis di kolom opini surat kabar, dengan lugas dan berani membongkar politik tai kucing ini. Sayang, sekarang belum muncul intelektual muda yang seperti Gie.

 

Ikuti tulisan menarik firdaus cahyadi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler