x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bagaimana Toko Buku Abad 18 Berinovasi

Dalam sejarah perbukuan, seperti halnya sejarah di bidang lain, selalu ada orang yang berpikir beda dan mampu melakukan perubahan besar.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

London, abad 18. Orang-orang mengenal The Temple of the Muses sebagai toko buku yang menyediakan diskon besar, ruang baca yang lapang—siapapun boleh duduk di sini, membaca, sekalipun pada akhirnya tidak membeli satu bukupun.

Di masa itu, seperti dikisahkan oleh John Pipkin, The Temple of the Muses tercatat sebagai toko buku terbesar di Inggris. Koleksi bukunya mencapai 500 ribu jilid, penjualan tahunannya mencapai 100 ribu buku, dan penghasilan tahunannya 5 ribu poundsterling—kira-kira 700 ribu dolar saat ini. Nama mashur di balik capaian ini adalah James Lackington (1746-1815), tukang sepatu yang dalam sejarah dicatat sebagi orang yang telah merevolusi cara menjual buku.

Meskipun tidak menempuh pendidikan formal, Lackington sejak usia dini sudah tahu bagaimana menghargai buku. Ia dan teman-temannya kerap berburu ke pasar untuk menemukan edisi murah kumpulan puisi, naskah drama, dan karya-karya sastra klasik. Mereka belajar mengajar diri sendiri—belajar membaca dan memahami dunia lewat sastra.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lackington pindah ke London sebagai tukang sepatu. Dengan penghasilan tak seberapa, ia tetap berusaha membeli buku. Baginya, buku lebih penting bahkan dari makan. “Bila kita makan malam, kesenangannya akan cepat berlalu, tapi kita harus hidup 50 tahun lagi, jadi kita harus punya (novel) Night Thoughts untuk perjamuan,” ujarnya.

Di usia 28 tahun, Lackington mulai mampu menyewa toko dan ia memanfaatkan ruang yang tersedia untuk menjual dua barang yang sudah ia kenal dengan baik: sepatu dan buku. Makin banyak orang ingin membaca buku, tapi saat itu buku masih tergolong barang mewah karena mahalnya.

Lackington berusaha menemukan cara menjadikan buku lebih mungkin dibeli oleh masyarakat sembari tetap mendatangkan keuntungan. Pikiran tentang hal ini terus mengusik. Lackington merasa harus melakukan sesuatu dan sejarah akan berpihak kepadanya.

Pertama, ia menghapus kebiasaan perdagangan abad 18, yakni kredit. Ia menjalankan bisnis berbasis tunai saja. Langkah ini jelas mengejutkan kompetitornya dan mengundang kejengkelan sebagaian pelanggan. Tapi, ia beralasan bila ia menjual tunai, ia dapat membeli buku baru secara tunai pula ketimbang secara kredit yang memakan biaya. Ia menghindari bunga.

Sudah lazim, ketika itu, bila penjual buku membeli judul-judul buku dalam jumlah besar dan kemudian menghancurkan tiga perempatnya dengan tujuan menaikkan harga jual karena kelangkaan. Lackington mengubah praktik ini. Ia membeli buku dalam jumlah sangat besar dan kemudian menurunkan secara drastis harga jual seluruh buku agar volume penjualan meningkat. Dengan cara ini, sirkulasi buku berjalan lancar, membuat semakin banyak warga yang bisa membeli buku, dan memberi keuntungan yang layak pada saat yang sama.

Lackington berusaha meyakinkan pelanggannya bahwa mereka memperoleh harga terbaik, dan karena itu ia menolak tawar-menawar harga. Di tokonya, Lackington memasang tanda: ‘Harga terendah tertera pada setiap buku, dan tidak ada pengurangan pada judul manapun.’

Inovasinya menjadikan toko buku The Temple of the Muses terkenal di kalangan pelancong luar negeri dan menjadi tujuan wisata. Luasnya ruangan dengan lobi dan ruang baca yang lega membuat banyak orang betah berada di dalam toko buku ini. Kabarnya, penyair John Keats kerap menghabiskan berjam-jam membaca di ruang baca, dan di sinilah Keats bertemu penerbitnya untuk pertama kali, yang ketika itu masih bekerja pada Lackington.

Di usia senja, menurut sumber yang dikutip templeofthemuses.org, Lackington memilih untuk menyepi ke pedesaan dan menjadi pendeta Methodis paruh waktu. Tokonya yang legendaris itu ia jual kepada sepupunya pada 1798. Sayangnya, toko ini tak berusia lama ketika kebakaran menghancurkan bangunannya pada 1841 dan The Temple of the Muses tidak pernah dibangun kembali. (sumber ilustrasi: templeofthemuses.org) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler