x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Cintakah Koruptor kepada Tanah Airnya?

Koruptor merusak bangsa dan tanah airnya sendiri, menghalangi anak cucu mewujudkan cita-cita mereka.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Seberapa besar kecintaan seorang koruptor kepada bangsa dan negerinya? Ketika perang fisik melawan kolonialis atau agresor masih terjadi, mengukur kecintaan seseorang kepada bangsanya mungkin lebih mudah. Bila ia menentang kolonial secara politik, ekonomi, maupun mengangkat senjata, ia seorang nasionalis; bila ia kerap membocorkan rahasia kepada penjajah, ia kolaborator dan bahkan pengkianat.

Zaman sudah berubah. Tingkat kompleksitas hidup berbangsa semakin tinggi. Karena itu, ukuran-ukuran untuk menakar kadar nasionalisme seseorang menjadi lebih rumit, sebab kekuatan asing memiliki beragam cara untuk melemahkan bangsa dan negeri ini—perdagangan, diplomasi, kebudayaan, gaya hidup, narkoba, teknologi, dan informasi. Unsur-unsur ini pada umumnya mampu menjangkau rakyat hingga pelosok terpencil.

Lantas apa yang bisa dipakai secara relatif mudah untuk mengetahui ‘kadar nasionalis’ seseorang? Misalnya saja, suatu ketika terjadi semacam demam busana batik—orang beramai-ramai mengenak batik bukan hanya di acara perkawinan. Seperti biasa, isu nasionalisme pun ditiupkan, hingga kemudian muncul pertanyaan: Apakah jika kita tidak punya stelan batik di lemari, berarti kita tidak nasionalis? Orang banyak berdebat perkara hal ini tanpa kesimpulan yang pasti. Artinya, menjadikan busana batik sebagai ukuran kadar nasionalis seseorang tidaklah mudah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagaimana dengan korupsi dan suap-menyuap?

Dalam konteks tindakan korupsi terhadap milik negara, perdebatan semestinya tidak serumit busana batik. Seorang nasionalis akan pantang korupsi, kira-kira seperti itu. Saya kira ukuran ini relatif terang-benderang dan mudah disepakati mengingat dampak luar biasa negatif yang ditimbulkan korupsi. Ukuran ini sederhana dan mudah diterapkan. Mengapa? Lantaran korupsi bukan saja merugikan negara secara materiil, tapi jauh lebih serius dari itu—merusak institusi negara (sistem, mekanisme, nilai-nilai dan kultur, hingga orang-orangnya) dan menggerogoti mental bangsa.

Korupsi tidak mungkin dilakukan oleh pelaku tunggal, melainkan selalu melibatkan sejumlah orang yang berada di tempat berbeda-beda dengan peran dan fungsi yang saling mendukung agar korupsi terjadi dan berhasil. Sebuah jejaring. Ketika sebuah proyek didongkrak nilainya sehingga negara harus mengeluarkan uang lebih banyak, di dalam jejaring ini terdapat pejabat berwenang di instasi pemerintahan, ada perusahaan yang menangani proyek, ada pihak lain yang jadi perantara, dst.

Kerusakan yang ditimbulkan oleh satu tindakan korupsi berpotensi dirasakan di sejumlah tempat sekaligus: instansi pemerintahan, perusahaan, lembaga pengawas, partai politik, lembaga penegak hukum, parlemen, dan tempat-tempat lain. Masing-masing institusi terganggu dan dimanipulasi oleh pelaku korupsi berjejaring. Korupsi, dan suap, merusak iklim kompetisi yang sehat di antara pihak-pihak yang berminat dalam proyek tertentu. Mereka yang bersekongkol dengan pejabat untuk mendongkrak nilai proyek telah merusak tata kelola yang berusaha ditegakkan.

Korupsi menyebabkan puluhan ribu sekolah kekurangan dana untuk perbaikan kelas, jalan-jalan ke pedesaan tidak kunjung dibangun, fasilitas kesehatan kurang, lapangan kerja terbatas, dan banyak kerugian lainnya. Korupsi menghalangi masyarakat untuk memperoleh hak-hak sebagai warga negara: pendidikan yang baik, layanan kesehatan yang prima, penegakan hukum yang adil, praktik ekonomi yang menyejahterakan semua rakyat, hingga peningkatan kualitas hidup menyeluruh. Praktik korupsi merusak mental dan menurunkan kepercayaan publik terhadap pratik penyelenggaraan negara. Koruptor tidak ubahnya musuh dalam selimut yang menghalangi anak-cucu mewujudkan mimpi mereka.

Dengan kerusakan yang demikian luas dan dalam, masih pantaskah seorang koruptor menyebut diri mencintai bangsanya? Bukankah aksi korupsi merupakan wujud yang terang-benderang bahwa orang itu lebih mencintai dirinya sendiri ketimbang mencintai bangsanya? Karena korupsi menggerogoti sendi-sendi kehidupan bangsanya, melemahkan kekuatannya, merongrong kemandiriannya, dan menghalangi kemajuan rakyatnya, layakkah koruptor mengaku sebagai nasionalis tulen? **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler