x

Iklan

Bernadus Guntur

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Aku, Gereja, dan Orang-orang Munafik Itu

Sedih rasanya. Hari-hari ini, rumah Tuhan dicemari dengan hal-hal yang tak patut dilakukan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

(Foto: TEMPO—Dhemas Reviyanto)

 

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hendaklah langit bersukacita, dan bumi bersorak-sorai

Di hadapan wajah Tuhan karna Ia sudah datang

 

Begitu bunyi reff Mazmur Tanggapan (Mazmur 96:1-13). Kita tahu bahwa hari ini umat Kristiani di seluruh bumi gegap-gempita merayakan hari kelahiran Yesus Kristus. Kemeriahan tersebut bisa dilihat dari pernak-pernik yang terpampang di berbagai pusat perbelanjaan, rumah-rumah, hingga Gereja. Jika hari biasa aula Gereja terasa lengang, saat Natal tiba, beberapa jemaat harus rela duduk di teras karena aula tak lagi kuasa menampung banyaknya jemaat yang hadir. Hal yang rutin terjadi setiap tahun.

Tak pelak, hingar-bingar tersebut menjalar di sosial media. Sebelum saya pergi melaksanakan ibadat malam Natal pada Jumat, 24 Desember 2016, linimasa sosial media ramai dengan unggahan foto serta ucapan Selamat Natal. Di Path misalnya, banyak rekan saya berbondong-bondong mengunggah foto Altar Gereja beserta dengan lokasi di mana Gereja tersebut berada. Seolah berpesan bahwa mereka turut merayakan Natal, juga tak absen menunaikan ibadat di rumah Tuhan itu.

Saya mbatin “Ada apa dengan teman-temanku ini? Bukankah beribadat itu urusan vertikal antara manusia dan Sang Pencipta? Kenapa pula hal tersebut dipamer-pamerkan pada khalayak ramai? Dan setahu saya, Tuhan tak punya akun sosial media. Lalu apa gunanya?”

Seketika saya buang jauh pikiran itu. Saya berbalik arah dan memaklumi jika mereka sedang tenggelam dalam euphoria Natal, yang hanya terjadi setahun sekali. Hanya sebatas itu.

 

(Waktu berlalu hingga tiba saat di mana saya dan keluarga berangkat untuk melaksanakan ibadat malam Natal...)

 

Sesampainya di parkiran Gereja St.Yohanes Rasul Somohitan, Turi, Sleman, Yogyakarta, kami turun dari mobil dan mulai berkerumun dengan jemaat lain yang sedang berjalan menuju ke arah Gereja. Di berbagai sudut, berdiri sekelompok pria menggunakan atribut Pemuda Pancasila, Satgas PDIP, dan Linmas. Mereka bersama TNI dan Polisi turut menjaga keamanan di wilayah tersebut. Kami tiba 20 menit lebih awal sebelum ibadat dimulai. Beruntung masih tersedia kursi kosong di aula Gereja, jadi kami bisa duduk di sana.

Di tengah-tengah waktu menunggu itu, saya menemukan fenomena yang, bagi saya, tak lazim. Beberapa jemaat berusaha memfoto isi Gereja, dengan Altar sebagai fokusnya. Mereka dengan santai mengangkat gadget ke langit-langit, berfoto, dan lagi-lagi, mengunggahnya ke sosial media. Jika sore tadi saya hanya melihat hasil foto serupa di Path, malam ini saya melihat dengan jelas bagaimana proses itu berjalan. Berbeda dari semula, saya putuskan bahwa jemaat ini tak ubahnya dengan teman-teman saya yang lain: norak dan payah.

Sedih rasanya. Hari-hari ini, rumah Tuhan dicemari dengan hal-hal yang tak patut dilakukan. Belum usai ribut ihwal halal atau haram ucapan selamat Natal oleh sejumlah saudara sebangsa, kini muncul persoalan baru yang dipicu oleh saudara seagama. Kalau sampeyan-sampeyan ini mau foto di sudut-sudut Gereja yang sudah di desain apik, yang diperuntukan untuk berfoto kala ibadat usai, mungkin tak jadi masalah. Tapi kalau jeprat-jepret hanya untuk unjuk gigi keimanan, kok rasanya munafik sekali? Apalagi sampai mengganggu jemaat lain yang sedang khusyuk menunaikan ibadat. Bagi beberapa orang, mungkin hal ini sekadar remeh-temeh belaka. Tapi tidak dengan saya, juga siapa saja yang mungkin satu suara.

 

Injil Matius 6 ayat 1-18 tak hanya menjelaskan secara gamblang bagaimana kemunafikan itu hadir di tengah-tengah kita, tapi juga menyisakan berbagai hal baik yang dapat dilakukan. Berikut kutipan pada ayat 5-6 yang relevan dengan fenomena hari-hari ini:

 

6:"Dan apabila kamu berdoa, janganlah berdoa seperti orang munafik. Mereka suka mengucapkan doanya dengan berdiri dalam rumah-rumah ibadat dan pada tikungan-tikungan jalan raya, supaya mereka dilihat orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. 6:6 Tetapi jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.

 

Percayalah, tak ada niat saya untuk mengacaukan damai Natal kali ini. Apalagi Kristenisasi. Saya masih Katolik yang payah. Hanya saja, kesalahan tak patut dibiarkan. Dan siapapun punya kewajiban untuk mengingatkan. Seyogiyanya, kita bisa mengekspresikan sukacita Natal dengan hal-hal yang etis—tanpa menodai rumah Tuhan dengan teknologi mutakhir demi mendapat puja-puji penduduk jagat jejaring.

 

 

Sugeng Natal. Berkah dalem

Ikuti tulisan menarik Bernadus Guntur lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler