x

Iklan

Ikhwanul Halim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

'Kita' dan 'Bukan Kita'

Puluhan tahun bangsa Indonesia hidup rukun dengan keberagaman yang ada. Saat ini rakyat Indonesia diadu domba oleh pihak-pihak yang tak ingin dunia damai.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Heboh tentang ‘kafir’ dipicu oleh kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok dalam pidato kunjungannya ke Pulau Seribu. Polemik terus berlanjut terutama di media sosial tentang terminologi ‘kafir’ yang dianggap merupakan kata yang merendahkan untuk non muslim. Benarkah demikian?

Goy dan goyim.

Goy adalah bahasa Ibrani untuk ‘negara’. Plural (jamak): ‘goyim’, negara-negara yang bukan negara Israel. Tapi juga bermakna yahudi dan bukan yahudi. ‘Kita’ dan ‘bukan kita’. Perbedaan ganda: keturunan dan agama. Arti dari goyim bisa netral dan bisa bersifat negatif, tergantung konteks dalam kalimat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tuhan dalam Taurat adalah Sang Maha Penghukum. Yang bukan bangsa Yahudi penganut Yahudi tak pantas hidup. Hak asasi manusia dalam agama Yahudi hanya berlaku Yahudi pemeluk teguh agama Yahudi. Selain mereka tak lebih dari binatang.

Jika kalimat di atas dianggap berlebihan, silakan berselancar di internet. Googling dengan kata kunci ‘how to kill goyim’.

Ketika Taurat diadaptasi menjadi Kitab Perjanjian Lama, maka ayat-ayat seperti pada Kitab Ulangan 13:6-9 disesuaikan menjadi:

13:6 apabila saudaramu laki-laki, anak ibumu, atau anakmu laki-laki atau anakmu perempuan atau isterimu sendiri atau sahabat karibmu membujuk engkau diam-diam, katanya: Mari kita berbakti kepada Tuhan lain yang tidak dikenal olehmu ataupun oleh nenek moyangmu,

13:7 salah satu tuhan bangsa-bangsa sekelilingmu, baik yang dekat kepadamu maupun yang jauh dari padamu, dari ujung bumi ke ujung bumi,

13:8 maka janganlah engkau mengalah kepadanya dan janganlah mendengarkan dia. Janganlah engkau merasa sayang kepadanya, janganlah mengasihani dia dan janganlah menutupi salahnya,

13:9 tetapi bunuhlah dia! Pertama-tama tanganmu sendirilah yang bergerak untuk membunuh dia, kemudian seluruh rakyat.

Perjanjian Baru juga tidak mentolerir orang-orang yang tidak seiman, seperti dalam ayat-ayat Matius 10:32-35:

10:32 Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Aku juga akan mengakuinya di depan Bapa-Ku yang di sorga.

10:33 Tetapi barangsiapa menyangkal Aku di depan manusia, Aku juga akan menyangkalnya di depan Bapa-Ku yang di sorga."

10:34 "Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi; Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang.

10:35 Sebab Aku datang untuk memisahkan orang dari ayahnya, anak perempuan dari ibunya, menantu perempuan dari ibu mertuanya.

Tapi apakah ada orang Yahudi atau Kristiani yang beriman dan menggunakan logika melakukan—atau mendukung—pembunuhan terhadap goyim atau non-kristiani?

 

Hubungan Muslim dan Non-Muslim

Islam mempunya beberapa kata dengan makna yang berbeda untuk non-muslim: musyrik, syirik, munafik, murtad, namimah dan kafir. Tidak dibahas perbedaannya di sini, karena fokus kita kepada kata kafir yang menjadi heboh karena ucapan Ahok terkait ayat Al Maidah:51.

Kafir (jamak:kuffar) orang yang mengingkari kebenaran. Seorang muslim yang beriman meyakini bahwa Islam adalah agama yang benar dan sempurna.

Berbeda dengan Taurat yang dengan tegas memerintahkan pembunuhan non Yahudi, Al-Qur’an tidak pernah memerintahkan untuk membunuh ‘kafir’. Surah At Taubah ayat 9 yang terkenal dengan nama ‘Ayat Pedang’, yang sering dijadikan argumen bahwa Islam agama yang menganjurkan pembunuhan ‘kafir’ telah disalah artikan.

Tafsir ayat tersebut adalah:

Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Q.S. At Taubah 9 : 5)

Perhatikan, ayat ini menyebut ‘musyrikin’ bukan ‘kafir’. Jika mengkaji Surah t Taubah dari awal, maka kita paham bahwa ayat-ayat tersebut berkenaan dengan perjanjian Hubaidiyah antara Madinah dengan Makaah yang dikuasai para penyembah berhala. Ketika Makkah melanggar perjanjian tersebut, maka turun ayat-ayat yang menyatakan perjanjian Hubaidiyah batal atas kehendak Allah dan kaum musyrikin diberi kesempatan selama 4 bulan untuk memperkuat pertahanan mereka sebelum Muslim Madinah menyerang. Setelah masa empat bulan tersebut lewat, maka Makkah akan diserang. At Taubah ayat 5 adalah peringatan atau maklumat perang!

Bagaimana sikap kaum Muslim terhadap ‘orang kafir?’

Tidak memilih mereka sebagai pemimpin atau orang kepercayaan, suatu hal yang sangat logis bahkan di era moderen sekarang. Manusia akan memilih pemimpin yang mempunyai kesamaan dengannya. Mungkin karena satu suku, satu almamater, satu kepentingan atau oleh sebab kesamaan lainnya. Kesamaan agama tentu hal yang teramat sangat wajar karena menyangkut kesamaan iman.

Namun, tidak ada dalam Al Qur’an perintah untuk membunuh orang ‘kafir’. Tidak ada paksaan untuk orang lain memeluk Islam. Ayat-ayat yang digunakan untuk mendiskreditkan Islasm sebagai agama damai dikutip parsial dan di luar konteks.

Muslim sejati berperang untuk membela diri. Mslim sejati dianjurkan berbuat kebaikan untuk sesama manusia.

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (Q.S Al Mumtahanah:8)

Penutup

Puluhan tahun bangsa Indonesia hidup rukun dengan keberagaman yang ada. Saat ini rakyat Indonesia sedang diadu domba oleh pihak-pihak yang tak ingin dunia damai. Mereka memanfaatkan kepicikan, kebodohan, kesombongan, keserakahan yang ada pada manusia untuk membenturkan manusia dengan manusia, bangsa dengan bangsa agar mudah dikuasai.

Jangan menistakan yang tidak kita ketahui. Ketika ‘bukan kita’ tidak mengikuti cara ‘kita’, selama tidak merugikan kita secara fisik dan psikis, tidak mengancam kelangsungan hidup kita, maka jangan ikut membela mereka yang telah merusak sendi-sendi kerukunan masyarakat Indonesia.

Tergantung bagaimana manusia memaknai arti hidup dan kehidupan. Damai (tanpa toleransi semu itu) indah.

 

Bandung, 27 Desember 2016

 

Ikuti tulisan menarik Ikhwanul Halim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB