x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Belajar dari Guru Ngaji

Pendidikan Islam yang berwajah kultural dan penuh damai

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Mendidik Tanpa Pamrih (Jilid 2) – Kisah Para Pejuang Pendidikan Islam

Penulis: Abdullah Alawi, dan kawan-kawan

Tahun Terbit: 2015

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia    

Tebal: xviii + 317

ISBN:

 

Ditengah hiruk-pikuknya isu guru agama yang semakin kurang toleran, buku ini tampil memberikan gambar lain dari praktik pendidikan Islam. Para guru ngaji ini memberikan teladan bagaimana bentuk dari proses pendidikan yang penuh damai yang dijalankannya. Menurut Lukman Hakim Saifuddin, sang Menteri Agama, pendidikan Islam yang dijalankan oleh mereka ini memiliki tiga nilai, yaitu (1) istiqamah, (2) akhlak, dan (3) mengajarkan Islam yang rahmatan lil alamin. Lebih lanjut Pak Menteri menyampaikan: “Mereka para guru ngaji yang hidup sederhana di tengah umat. Tak hanya mengajar alif-ba-ta dengan semangat. Tak hanya mengajar rukun dan syarat shalat. Tak hanya mengajar tatacara beribadat. Mereka juga mendidik dan memberi teladan. Bagaimana menjalani hidup keseharian. Agar tetap memiliki pegangan. Dan lurus di jalan kebajikan.”

Buku ini merupakan kumpulan tulisan tentang kiprah para guru agama dari seantero Indonesia. Karya mereka tidak hanya di wilayah yang mayoritas beragama Islam, tetapi juga di wilayah seperti Manado yang mayoritas Nasrani. Mereka mengajarkan Islam dalam segala keterbatasan namun kaya dengan semangat, akhlak dan menyebarkan kasih. Ada 29 kisah yang sayangnya masih didominasi kisah-kisah dari Jawa (17 cerita).

Kiprah mereka adalah sebuah gerakan kultural yang jauh dari hingar-bingar politik. Gerakan kultural mereka tidak merusakkan budaya yang selama ini sudah menyatu dengan masyarakat dimana mereka mengabdi. Upacara peusijuek tetap digunakan untuk melantik calon santri di Aceh. Upacara peusijuek, atau upacara tepung tawar ini telah dipraktikkan di Aceh sejak Aceh masih menganut Hindu. Demikian juga syukuran maccera untuk merayakan keberhasilan siswa yang telah khatam dipakai oleh Ibu Abasia di Polewali Mandar. Bahkan bagi yang mampu upacara maccera dilakukan dengan Sayyang pottu’du (kuda menari) dimana anak-anak tersebut naik kuda yang berjalan seakan menari menuju rumah sang guru.

Kesederhanaan para guru ngaji ini menjadi aspek yang menonjol di semua kisah. Bahkan sering kali mereka mengalami kesulitan ekonomi. Syarif Hidayat contohnya. Guru nyaji dari Sukabumi ini hanya dibayar dengan 2 liter beras oleh siswanya. Saat paceklik bahkan para murid tidak membayar sama sekali. Contoh lain adalah Patri Yenti yang mengupayakan pendidikan Aliyah dengan bayaran Rp. 120.000 sebulan dan diterima setiap 3 bulan. Padahal ia masih harus menjalani kuliah di tempat yang cukup jauh. Namun kondisi yang serba pas-pasan dan kadang kekurangan ini tidak membuat semangat mereka untuk mengajar mengendor. Bahkan di tengah keterbatasan tersebut, sikap untuk memperhatikan yang miskin tetap nyata. Ahmad Suyanto contohnya, ia tak mau menerima honor dari keluarga miskin yang anaknya diajari ngaji.

Semangat untuk mengajarkan agama tidak surut karena usia. Ibu Abasia dari Polewali Mandar dan Haji Hasbullah adalah contohnya. Ibu Abasia sudah berusia 80 tahun dan sudah lebih dari 40 tahun menjadi guru ngaji. Sementara Bapak Haji Hasbullah sudah berusia 87 tahun dan masih mengajar. Kecintaannya akan Islam membuat semangat mereka tak runtuh oleh menyurutnya raga akibat usia.

Haji Hasbullah adalah contoh guru ngaji yang memegang erat akhlak dalam berdakwah. Ia tak segan-segan mengingatkan para jemaahnya untuk tidak korupsi, terutama mereka yang dari kejaksaan. Berbeda lagi pengalaman Ustadz Amin di Madura. Ia menegakkan akhlak untuk mencintai perbedaan. Saat terjadi konflik Sunni-Syah di Madura, banyak murid yang pindah ke pesantrennya karena pesantren mereka tutup akibat konflik. Pada mulanya anak-anak dari pesantren lain ini tidak diterima oleh para siswanya karena perbedaan paham. Namun Ustadz Amin memberikan pemahaman sehingga akhirnya hubungan para santri berbeda paham ini bisa cair.

Dakwah para guru ngaji ini adalah dakwah yang damai. Pengalaman Tarmidi dalam memberantas prostitusi di daerah dimana beliau tinggal adalah contohnya. Alih-alih menggunakan cara kekerasan, Tarmidi lebih memilih cara memberikan pendidikan kepada para pemuda sehingga mereka mengerti kebathilan dalam prostitusi. Meski prostitusi dianggap sebagian warga sebagai cara untuk memakmurkan desa, namun upaya melalui pendidikan yang dilakukan oleh Tarmidi terbukti ampuh untuk menghilangkan penyakit masyarakat ini dengan cara yang damai. Demikian juga yang dilakukan oleh Abdurrahman dalam mengatasi masalah perjudian yang marak di Meratus. Ia memeranginya melalui pendidikan, yaitu pemberantasan buta al-Quran sambil memperbaiki akhlak murid-muridnya, dan kemudian masyarakatnya. Pengalaman lain adalah kisah Gus Suadi yang mengatasi para begal. Dalam ketiga kasus di atas tidak ada cara kekerasan yang digunakan.

Para guru ngaji ini adalah orang-orang yang setia meneruskan warisan guru ngaji sebelumnya. Termasuk metode mengajar yang diterapkannya. Tengku Hanif di Aceh tetap menggunakan metode bagdadiyah padahal metode iqra sudah mulai populer dimana-mana. Sementara itu Ustad Saefuddin Zuhri meneruskan budaya berdahwah dari T.G.H Ibrahim bin T.G.H Khalidi, dimana selain mengajarkan cara membaca Quran juga mengajarkan kitab-kitab klasik.

Dari sisi latar belakang, para guru ngaji ini sangatlah beragam. Ada yang pekerjaannya petani seperti Tengku Hanif dan Syarif Hidayat, ada yang mantan politisi seperti Ahmad Suyanto, mantan tentara seperti H. Hasbullah, mahasiswa seperti Patriyani, penulis/penyair seperti Hajjah Masriyah Amva dan Ajengan Dadang, pedagang keliling seperti Abdurrahman, tukang jahit seperti Hasmi’ah, penjual kue seperti Samania, dan sebagainya. Namun meski berlatar belakang berbeda-beda, mereka semua menyandarkan karyanya sebagai guru ngaji hanya kepada Tuhan, Allah SWT saja. Mereka tidak mau menggantungkan kegiatannya mengajar kepada manusia.

Ada juga para guru ngaji yang mengkhususnya karyanya untuk orang-orang yang dianggap menyimpang. Ahmad Khoirul Anam mengkhususkan diri berkarya bagi orang-orang yang mengalami gangguan jiwa. Sedangkan kang Oto sengaja berkawan dengan para preman.

Jangan mengira bahwa para guru ngaji ini adalah orang-orang udik yang ketinggalan jaman. Mereka adalah orang-orang yang peduli kepada kemajuan teknologi. Kyai Ali Qohar dari Puncak Gunung Gede menggunakan media face book untuk menggalang dukungan pembangunan pesantrennya. Di Pesantren ini juga digunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari, dengan dibimbing oleh para santri muda yang mumpuni, ditemani oleh dua native speaker dari Inggris dan Selandia Baru. Atau Rusdian Malik si Ustadz gaul yang eksis di face book.

Ciri lain dari para guru ngaji ini adalah tidak mau menonjol. Meski mereka adalah seorang tokoh, tetapi mereka tetap rendah hati. Muhsin Bilfaqih adalah seorang Habib. Guru ngaji yang berkarya di Manado ini tetap hidup seperti warga lainnya di tengah-tengah masyarakat yang berbeda agama. Demikian juga Ahmad Suyanto yang adalah mantan politisi. Ia tidak mau diambil gambarnya, meski beliau adalah seorang yang sangat di kenal di masyarakatnya.

Sungguh sejuk melihat orang-orang yang penuh komitmen, hanya bersandar kepada Allah dan berkarya nyata dengan mengutamakan kedamaian. Karya mereka juga tak merusakkan adat budaya yang sudah melekat di masyarakatnya. Melihat sepak terjang mereka nyatalah bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

16 jam lalu

Terpopuler