x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Hakim dan Sisipus

Bolehkah orang banyak mengatakan bahwa hakim yang takluk di hadapan suap telah menghina kepercayaan rakyat?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Ketika rakyat tidak mudah memperoleh keadilan yang diharapkan, seorang hakim konstitusi ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga menerima suap terkait urusan ‘uji materi’ suatu peraturan. Benteng yang diharapkan tangguh dalam mempertahankan konstitusi ternyata, sekali lagi terbukti, rapuh di hadapan suap. Mereka yang berkepentingan terhadap keputusan tertentu berusaha menemukan celah-celah untuk ditembus, dan celah paling lemah terletak pada manusianya—sang hakim.

Sejak berabad-abad yang lampau, suap dan upeti telah menjadi cara yang ampuh untuk melumpuhkan benteng hukum. Hakim dan hukum sangatlah dekat, kepada hakimlah rakyat mengharapkan keputusan hukum yang adil. Sebab itu, hakim diberi wewenang besar untuk memutuskan perkara—dan hakim konstitusi bahkan memiliki wewenang besar untuk menggugurkan sebuah peraturan perundangan. Rakyat berharap, wewenang besar akan disertai tanggung jawab dan rasa keadilan yang besar. Tapi, suap merusak harapan ini, bahkan menghancurkannya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dengan menerima suap, hakim telah berpihak kepada mereka yang memiliki kapital, bukan kepada upaya menemukan kebenaran dan keadilan. Dengan menerima suap, hakim telah menjadikan kekayaan sebagai ukuran keberhasilan—dan ini menghina kesusahan yang ditanggungkan rakyat banyak. Ia tidak berempati terhadap kesulitan hidup rakyat banyak. Dengan mudah menerima uang untuk dipertukarkan dengan sebuah keputusan, hakim benar-benar telah memperdagangkan kepercayaan rakyat.

Bolehkah orang banyak mengatakan bahwa hakim yang takluk di hadapan suap telah menghina kepercayaan rakyat? Bayangkanlah, siapapun diharuskan mengikuti keputusan hakim-hakim konstitusi. Sekalipun undang-undang itu dibuat oleh DPR, sekalipun peraturan itu dibuat Presiden, apa lagi institusi di bawahnya, bila hakim-hakim konstitusi memutuskan tidak berlaku, maka kata akhir para hakim konstitusi itulah yang mesti ditaati—sebuah wewenang yang amat besar, sebuah kekuasaan yang menyimpan energi luar biasa.

Bagaimana jika wewenang yang sangat besar itu diserahkan kepada ‘orang yang salah’? Salah dalam arti bukan orang yang tepat untuk duduk di kursi hakim Mahkamah Konstitusi. Undang-undang mengatur siapa yang layak menjadi hakim konstitusi—berintegritas, negarawan. Suap membuktikan hal yang sebaliknya dapat terjadi dan telah terjadi.

Rakyat menunggu apa yang hendak dilakukan para hakim konstitusi yang tersisa, langkah-langkah apa yang hendak mereka tempuh, dan bagaimana mereka melakukannya. Rakyat melihat dan mendengar apa yang mereka lakukan untuk menjaga institusi ini. Bila para hakim yang tersisa bersikap dan berkata seolah tidak terjadi apa-apa, sungguh ini meremehkan kesadaran rakyat.

Setelah beberapa waktu lalu seorang Ketua Mahkamah Konstitusi dipenjara karena suap dalam perkara pilkada, rakyat sukar memahami mengapa seorang hakim di institusi yang sama melakukan hal serupa. Ikhtiar yang dilakukan dengan penuh susah payah untuk memulihkan kepercayaan kepada Mahkamah Konstitusi ambruk kembali—bagai Sisipus yang dihukum mengangkat batu ke puncak gunung; belum lagi ia sampai di puncak, batu itu menggelinding kembali ke bawah. Berulang-ulang Sisipus melakukannya, dan berulang-ulang pula batu itu menggelinding ke bawah. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler