x

Iklan

Erik Kuraniawan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Memulihkan Hak Keterwakilan

Salah satu pertanyaan mendasar yang muncul dalam proses pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu adalah berapakah idealnya ukuran parlemen.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Erik Kurniawan

Peneliti Sindikasi Pemilu dan Demokrasi -SPD

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Salah satu pertanyaan mendasar yang muncul dalam proses pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyelenggaraan Pemilu adalah berapakah idealnya ukuran parlemen atau jumlah kursi DPR? Pertanyaan ini muncul salah satunya terkait dengan lahirnya provinsi Kalimantan Utara, dari mana kursi perwakilan untuk propinsi baru tersebut akan diambil? Apakah akan mengambil dari Kalimantan Timur sebagai provinsi Induk? Ataukah jumlah kursi parlemen harus ditambah seperti yang diusulkan oleh beberapa fraksi di DPR.

Menentukan Besaran Parlemen

Sejumlah literatur menyebutkan adanya hubungan sistematis antara besarnya parlemen dengan jumlah penduduk. Taagepera dan Shugart (2002) memberikan jalan tengah untuk mengukur berapa jumlah kursi parlemen seharusnya, yang kemudian ditemukan dalil matematikanya (cube root law). Di negara yang sudah mapan dan juga negara industri maju, besaran parlemen dihitung berdasarkan cube root law yaitu akar pangkat tiga dari jumlah Penduduk. Jika mendasar pada dalil penghitungan tersebut, maka ukuran parlemen Indonesia bisa mencapai 619 kursi.

Akan tetapi, pada sisi lain terdapat dalil yang mendasarkan penentuan jumlah kursi perlemen pada Penduduk Aktif, yaitu dengan menyertakan jumlah Penduduk Usia/Angkatan Kerja dan Melek Huruf. Formula ini disarankan dipakai untuk negara-negara berkembang, di mana hanya Penduduk Aktif yang diperhitungkan. Jika mendasarkan pada basis penghitungan ini, maka ukuran parlemen Indonesia adalah 480 kursi.

Sebagai prediksi, terdapat formula bahwa Jumlah Kursi atau Ukuran Parlemen suatu negara tidak akan lebih dari  Akar Pangkat Tiga dari Dua Kali Penduduk Aktif. Prediksi yang dihitung dari formula di atas dianggap sesuai secara empiris. Hampir tidak ada negara di dunia yang ukuran atau besaran parlemennya dua kali lebih banyak dari prediksi. Hanya beberapa negara yang parlemennya lebih kecil dari setengah angka prediksi.

Selain  dalil Cube Root Law,Hans Hirter dan Susan Benda memberikan pandangan lain tentang ukuran parlemen yang menggunakan perspektif ekonomi perusahaan dan praksis politik. Di mana besaran atau ukuran parlemen yang ideal tersebut terdiri dari 13 sampai dengan 15 orang dalam setiap komisi kerja. Ukuran ini juga dikaitkan dengan jumlah kementerian atau ruang lingkup kerja dari parlemen. Jika di Indonesia terdapat 34 (tiga puluh empat) Kementerian, maka ukuran parlemen yang ideal adalah 34 dikali 15 atau sama dengan 510 kursi. Jumlah dapat bertambah, mengingat ada 46 ruang lingkup kerja DPR, Jumlah anggota DPR bisa mencapai 690.

Sekalipun tanpa basis konseptual yang memadai, fakta menunjukan bahwa besaran parlemen Indonesia saat ini yaitu 560 kursi sesuai dengan prediksi formula Cube Root Law, yaitu antara 480-605 kursi. Atau berdasarkan pada efektifitas kerja komisi dan ruang lingkup kerja DPR antara 510-690 kursi.

Penambahan Jumlah Kursi DPR

            Kita memiliki masalah ahistoris mengenai mengenai besaran parlemen. Penambahan jumlah kursi DPR bukan kali pertama terjadi. Paskareformasi, kita mengalami dua kali penambahan alokasi Kursi DPR. Periode 2004 kursi DPR bertambah dari 500 menjadi 550, demikian juga pada DPR periode 2009 yang bertambah 10 kursi menjadi 560. Akan tetapi, tidak pernah dijelaskan untuk apa tujuan penambahan kursi terebut.

            Jika pilihan penambahan jumlah kursi menjadi konsensus dalam pembahasan RUU Penyelenggaran Pemilu, secara politis hal ini dapat dipahami. Secara kosnpsetual, usulan penambahan kursi DPR oleh beberapa fraksi didasarkan pada dalil cube root law. Selain itu, harus dipahami bahwa penambahan kursi DPR harus ditujukan pada pemulihan kursi keterwakilan yang dulu hilang untuk beberapa propinsi. Diantaranya Papua tiga kursi, Maluku dua Kursi, Nusa Tenggara Barat satu kursi, Sulawesi Utara satu kursi, dan Nusa Tenggara Timur satu kursi. Sementara tiga kursi ditambahkan untuk Kalimantan Utara. Jadi, hal ini merupakan semacam remedi atau perbaikan terhadap daerah-daerah yang keterwakilannya pernah tercederai.

Masa Transisi

            Begawan pemilu dunia Dieter Nohlen mengatakan bahwa tidak ada satupun UU Pemilu merupakan produk ahli pemilu, semua merupakan produk politik parlemen. Atas dasar fakta ini, memang diperlukan kesabaran dan kedalaman tertentu atas proses dan subtansi pembahasan RUU Pemilu. Baik pembuat UU maupun pemangku kepentingan lainnya seperti lembaga riset dan pemerhati pemilu dituntut untuk bisa memahami kondisi sosial dan psikologi politik atas isu yang berkembang dalam pembahasan RUU Pemilu ini.

Khusus untuk isu besaran parlemen atau jumlah kursi DPR kita semestinya dapat memahami adanya kendala psikologi dari pembuat UU dan banyak pemangku kepentingan lainnya, bahwa akan sulit mengurangi alokasi kursi untuk Kalimantan Timur sebagai provinsi induk kepada Kalimantan Utara. Atau mengurangi jumlah kursi Sulawesi Selatan karena kelebihan keterwakilan. Oleh karea itu, ketika usulan penambahan jumlah kursi DPR muncul dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu pada 12 Januari 2017 hampir seluruh fraksi menyambut baik dan kembali menyuarakan isu tersebut di ruang publik.

Akan tetapi, yang perlu ditekankan dalam hal ini adalah pemahaman bahwa baik pembuat UU maupun lembaga riset dan pemerhati pemilu menyadari sepenuhnya isu ini bukan merupakan isu yang dapat diterima oleh publik luas. Bahkan memunculkan pertanyaan sampai kapan kursi DPR akan terus bertambah? Terkait hal ini memang dibutuhkan keberanian dan komitmen yang kuat dari pembuat UU untuk dapat meyakinkan bahwa ada tujuan yang jelas dalam menambah jumlah kursi DPR yaitu untuk memulihkan hak keterwakilan daerah-daerah yang pernah tercederai.

Selain itu, kedepan harus ada konsensus dari pembuat UU untuk menetapkan jumlah fix kursi DPR. Belajar dari pengalaman Amerika Serikat, setelah selalu terjadi penambahan jumlah kursi, pada periode 1920 menyepakati besaran parlemen atau jumlah kursi DPR pada angka 435. Kesepakatan ini diambil agar jumlah DPR tidak terus bertambah seiring bertambahnya jumlah penduduk.

Konsekuensi lain yang juga harus dipahami adalah jika jumlah kursi DPR dipatok maka pengalokasiannya kepada negara bagian atau provinsi merupakan bagian dari instrumen pertumbuhan wilayah. Seluruh pemangku kepentingan khususnya partai politik, harus sadar bahwa merupakan hal yang lumrah suatu daerah atau provinsi jumlah kursi bisa bertambah atau bahkan berkurang. Pengalaman ini terjadi pada negara bagian New York yang terus berkurang alokasi kursinya dalam kurun waktu  tujuh kali pelaksanan sensus penduduk. Pada 1930, New York mendapat 43 kursi, dan kemudian hanya mendapatkan 27 kursi pada 2010. Hal ini dikarenakan laju pertumbuhan penduduk New York kalah dengan negara bagian lain.

Pada banyak negara, evaluasi alokasi kursi DPR kepada provinsi atau negara bagian biasanya dilakukan bersamaan dengan periode sensus penduduk yag dilakukan setiap sepuluh tahun. Hal ini dadasari agar penetapan alokasi kursi DPR dapat berlaku untuk dua kali periode pemilu. Sensus penduduk pada 2020 dapat dijadikan momentum untuk melakukan evaluasi jumlah kursi DPR dan alokasinya kepada setiap propinsi. Dengan demikian penetapan jumlah kursi berlaku untuk Pemilu 2024 dan Pemilu 2029.

Catatan penting lainnya adalah dalam hal pengalokasian kursi DPR idealnya menggunakan metode pnghitungan yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dengan demikian, kedepan tidak ada lagi daerah yang tercederai keterwakilannya di Perlemen, dimana dibanyak negara persoalan ini dianggap sebagai persoalan konstitusinal. Ini merupakan tantangan lain bagi DPR periode saat ini untuk  memberikan legacy yang bijak dengan memberikan pondasi keterwakilan secara adil yang menjadi bagian dalam mewujudkan demokrasi yang subtansial.

Ikuti tulisan menarik Erik Kuraniawan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan