Arthur Rimbaud

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

‘Saat fajar, bersenjatakan kesabaran yang berkobar, kita akan memasuki kota-kota yang agung’ ( A Season in Hell )

‘Saat fajar, bersenjatakan kesabaran yang berkobar, kita akan memasuki kota-kota yang agung’ ( A Season in Hell )

Rimbaud, penyair yang murung dan nestapa ini menuliskan bait puisi di atas, lebih dari seratus tahun lalu. Ketika eropa mulai dipenuhi genangan pemikiran yang meluber ke penjuru dunia – dan ketika  kesenjangan diantara kelas-kelas sosialnya saling bertubrukan antara yang konservatif dan progresif.  Bangsawan dan jelata, borjuis dan proletar. Rimbaud, entah mewakili luka siapa, tetapi bait itu menjadi begitu cemerlang, mempesona serta penuh harapan dan perjuangan. Seratus tahun kemudian, Pablo Neruda, penyair dari Chilie meminjamnya sebagai sabda ‘Sang Nabi’ dalam pidato penyerahan Nobel sastra 1971.

Arthur Rimbaud –yang di masa itu tinggal di Perancis dan lama di London, hidup dalam kurungan jiwa yang tak terbatas. Mengembara diantara kota-kota yang berjauhan, dalam renungan yang dicekam miras dan kesakitan yang tak terpahami oleh orang-orang yang waras, ia melihat sesuatu –dari hidup yang sepertinya ia sendiri tak memahami. Mungkin ia hanya ingin memberontak dari keadaan atau menjauh dari hidup yang wajar. Berjalan sebenar-benarnya jalan –dengan kaki dari ujung eropa ke sudut eropa yang lain sebagai bohemian. Sepertinya, ia tak menjadi berguna –dalam lingkungan yang menghamba pada kewajaran sosial yang seringkali munafik dalam moral-moral yang mengikat dan kadang jahat yang tak tersadari.

Namun, ia berjalan saja, seperti waktu yang melintas dan sesaat-saat diam dalam ruang. Ia pun melintasi padang yang tenang, salju yang muram atau kerumunan orang yang riang. Mungkin dengan demikian ia merumuskan, memandang dan menyimpulkannya dalam tumpukan puisi-puisinya yang mengerang. Puisi, seperti kata Pablo Neruda, adalah metafora. Melihat keaadaan di sekitar, ketika kewajaran menjadi tampak luar biasa dan mengesan. Kita menjadi melihat yang esensi dari sebuah hakekat. Dan itulah mengapa, yang tak biasa adalah luar biasa. Mungkin, karena demikian rumusnya.

Dari sini, barangkali juga benar, bila Pablo Neruda, melihat Rimbaud sebagai pengejawantahan dari sebuah persoalan yang mengungkap kebenaran dari sebuah tipu daya kekuasaan pedagang seperti Rockefeller, Dinasti Bush atau para pengembang kapitalisme. Ketika kekritisan orang dibungkam dengan hiburan, ketidakwajaran nilai barang menjadi bingkai pasar normal –puisi, seolah kesenyapan yang mengingatkan kita pada sebuah kewajaran nilai. Ardono, lebih jauh dalam perspektif kritisnya, mengurai dalam narasi sosiologis, membagi apa yang seharusnya bernilai ( agung ) dan murahan ( pop ).

Kita, mungkin tak mampu memahami laku Rimbaud atau Chairil Anwar dalam realitas yang sederhana. Heran –dengan kejalangan dan kenekatan mereka, melintasi lembah-lembah gelap tak bernama. Kita pun menyebutnya sebagai orang dengan masa lalu yang kelam dan bermasa depan suram.  Menyimpang dari  masa depan kebanyakan –tetapi, toh, kita tetap saja, pada akhirnya –mampu memahami dan sering takjub dari setiap puisi yang bisa dikenang. ‘Saat fajar, bersenjatakan kesabaran yang berkobar, kita akan memasuki kota-kota yang agung.’ Setidaknya baris ini, pasti berguna bagi yang demen buku motivasi.

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Ranang Aji SP

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Kalimat Pendek dan Panjang dalam Sastra

Selasa, 18 Juli 2023 12:24 WIB
img-content

Setan Rumah B2A

Rabu, 1 Desember 2021 13:40 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler