Saya akui, menonton film menjadi tidak senikmat dulu ketika retina masih mampu memantulkan sinar membentuk gambar-gambar yang dapat diterjemahkan otak saya. Kali ini saya menonton film bioskop dengan telinga. Tapi yang saya syukuri, saya tidak pernah menonton film sendirian lagi. Karena ada pendamping pembisik yang suka rela menggambarkan adegan tanpa dialog dalam film.
Cerita tentang bioskop bisik sudah banyak beredar. Bahkan tahun 2015 Presiden Jokowi pernah jadi relawan dalam kegiatan ini. Dulu saya membaca beritanya, Jokowi membisikkan adegan tanpa dialog dalam film “Janji Joni” kepada seorang anak tuna netrabernama Kenny. Kegiatan Bioskop Bisik kini bertransformasi menjadi kegiatan yang dinamakan Blind Date Cinema. Pesertanya tentu masih sama, yaitu teman-teman tuna netra yang memiliki hobi menonton.
Ahad lalu, 26 Februari 2017, saya kembali mengikuti kegiatan menonton bersama di Paviliun 28. Kali ini film yang diputar berjudul, 3 (Alif, Lam, Mim) yang bergenre action. Film tersebut melibatkan tiga aktor ganteng. Cornelio Sunny sebagai aparat kepolisian bernama Alif, kemudian Abimana sebagai wartawan investigasi bernama Lam, dan Agus Kuncoro sebagai ustadz bernama Mim. Ketiganya adalah orang yang berdiri pada idealisme mereka mencari kebenaran dalam sebuah intrik politik.
Tentu tidak semua adegan dalam film itu dapat digambarkan oleh relawan pembisik. Sebab, banyak adegan bertarung yang cepat berganti dan tidak perlu digambarkan secara detil. Semua adegan yang tidak dapat digambarkan itu diserahkan relawan pembisik kepada tuna netranya dan otoritas luas bagi tuna netra untuk berkhayal serta menerjemahkan berbagai adegan di dalam pikiran mereka sendiri.
Beruntung ketika masih melihat dulu saya pernah menonton thriler film tersebut. Lebih beruntung lagi, saya pernah mewawancarai salah satu aktornya, Cornelio Sunny. Lio-begitu dulu ia memperkenalkan namanya kepada saya, memiliki mata elang dan alis tebal yang rapih, seingat saya sekilas wajahnya mirip Tom Cruise tapi versi latin.
Medio pertengahan Oktober 2015 saya mewawancarai Lio untuk film tersebut. Saat itu, saya malah belum menonton film 3 secara lengkap, sebab masih belum siap dirilis kepada publik. Saya hanya melihat sebagian adegan dalam thriller, dan mencatat beberapa adegan keren yang ingin saya tanyakan kepada Lio. Saya sendiri mendapatkan namanya atas rekomendasi aktor Tanta Ginting. Saya ingat, Tanta menyebut nama Lio ketika saya tanyakan siapa aktor tampan dan berkualitas di Indonesia saat itu yang bisa saya wawancara untuk dijadikan profil di Koran Tempo.
Kembali pada kegiatan menonton brrsama film 3, usai film diputar kesempatan tanya jawab kepada pemain film, sutradara Anggy Umbara dan penulis naskah, Bonty Umbara dibuka. Kesempatan itu saya gunakan untuk menyapa Lio. Saya piker biarlah Lio lupa kalau saya pernah wawancara dengannya. Toh dia adalahpekerja film yang banyak bertemu wartawan.
Akhirnya, kegiatan menonton bersama ditutup dengan momen foto bersama antara relawan pembisik dan tuna netra. Tiba-tiba saya mencium harum parfum kuat yang semakin mendekat dari arah depan. Seseorang mengambil tangan saya, lalu menggegamnya erat. “Saya Lio mbak, saya ingat pernah
diwawancara di Citos,” ujar suara tersebut. “Ada apa dengan mata mbak?” lanjutnya. Hampir berbarengan saya mendengar suara relawan pembisik bernama Menik mengatakan kepada saya, “Mbak, ini Cornelio Sunny, dia datang bersama kakaknya Nick,” ujar Menik.
Saya tidak langsung percaya awalnya, tapi Lio sendiri yang mengkonfirmasi, saat diwawancara dulu dia datang bersama temannya, perempuan berkewarganegaraan Jerman.
Setelah itu meluncur cerita dari mulut kami masing-masing. Dia langsung mendekap bahu saya usai mendengar soal sobekan retina, operasi yang gagal dan akhirnya menemui kebutaan. Lio pula yang menuntun saya menuruni tangga bioskop, meski beberapa kali saya hampir terpeleset karena Lio masih kikuk menuntun tuna netra berjalan. Sebelum pulang, Lio kembali menyalami tangan saya. Hari itu memang bukan hari spesial bagi saya maupun Lio, tapi buat saya sebuah pertemuan tak terduga selalu bisa terjadi kapan saja dan dalam keadaan apapun, bahkan ketika diri terlahir kembali dengan identitas baru.
Ikuti tulisan menarik cheta nilawaty lainnya di sini.