x

Ilustrasi Komisi Penyiaran Indonesia. TEMPO/Dasril Roszandi

Iklan

Parliza Hendrawan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Penguatan Konten Lokal dalam Penyiaran

Kenapa peraturan KPI tentang (P3) dan juga standar program siaran (SPS) seperti tak berguna.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengeluarkan sejumlah kebijakan terkait dengan pedoman perilaku penyiaran (P3) dan juga standar program siaran (SPS). Tujuan tidak lain adalah menjadikan industri penyiaran sebagai salah satu media perekat persatuan bangsa. Lainnya, penyiaran dimaksudkan untuk mengangkat potensi budaya lokal agar bisa bersaing di tengah kemajuan global.

Sebagaimana tercantum dalam peraturan no 2/p/KPI/3/2012 tentang Standar Program Siaran (P3), pada pasal 68 salah satu poin pentingnya adalah industri penyiaran baik TV maupun radio wajib memproduksi dan menyiarkan muatan lokal sebagai pengimbang dari siaran nasional. Namun kenyataannya setelah sekitar 5 tahun peraturan tersebut dikeluarkan, belum sepenuhnya industri menjalankan amanat SPS.

Hal ini tidak hanya terjadi di Sumatera Selatan akan tetapi juga di berbagai tempat di tanah air. Daerah masih mengekor isi siaran yang dipancarteruskan dari studio induknya. Sepertinya konten siaran masih Jakarta centris dan atau Jawa centris. Kondisi ini tidak jarang menjadi keluhan penonton dan pendengar media siaran. Sebagai contoh, beberapa hari yang lalu saya mendengar rumpian dari salah seorang penonton TV berjaringan dan berkantor pusat di Jakarta. Televisi dari kelompok usaha besar itu dia sebut belum memperhatikan muatan local daerahnya.

Siaran lokal memang diselipkan oleh TV dimaksud hanya saja durasi dan jam tayangnya belum sesuai dengan standar program siaran sebagaimana tercantum dalam peraturan KPI no 2/p/kpi/3/2012. Pada pasal 68 ayat 1 disebutkan Program siaran lokal wajib diproduksi dan ditayangkan dengan durasi paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) untuk televisi dan paling sedikit 60% (enam puluh per seratus) untuk radio dari seluruh waktu siaran berjaringan per hari. Dalam praktiknya, TV dan radio memproduksi siaran lokal hanya sebatas memenuhi syarat minimal dari peraturan dimaksud. Keluhan permirsa TV khususnya makin panjang karena ternyata siaran tersebut diulang-ulang dalam waktu lama sehingga penonton menjadi bosan.    

Bila didalami lagi peraturan no 2/p/kpi/3/2012, tentu akan semakin banyak ‘pembangkangan’ yang dilakukan oleh pengelola industri. Pada ayat 2 disebutkan Program siaran lokal sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) di atas paling sedikit 30% (tiga puluh per seratus) di antaranya wajib ditayangkan pada waktu prime time waktu setempat. Dikatakan ada pembangkangan, biasanya siaran yang bermuatan lokal itu ditayangakan pada saat jumlah penonton berkurang karena diasumsikan para penonton tengah lelap tertidur atau baru terjaga.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Berdasarkan sejumlah riset menyebutkan tayang utama untuk media TV biasanya berada diantara jam 18:00 hingga 23:00 WIB. Sedangkan prime time untuk media radio berlangsung saat  "Waktu Mengemudi" para pendengar yaitu pada saat berangkat ke kantor, mengantar anak ke sekolah yaitu antara pukul 06:00-10:00. Sementara di sore ahri jam siar utama pada pukul 15:00-17:00. 

Sumatera Selatan disebut sebagai salah satu pasar empuk bagi industri penyiaran. Karena daerah ini memiliki lebih dari 8 juta jiwa penduduk dengan sumber penghasilan yang beragam. Mereka ini sangat berpotensi membeli produk setelah menonton atau mendengar iklan di media.  Untuk itulah kalangan pemilik modal sudah waktunya mengedepankan muatan lokal dalam materi siarannya. Sumsel punya segalanya yang bisa dijadikan bahan siaran baik itu budaya, seni, pariwisata hingga dunia pendidikan. (pharliza@gmail.com)

Ikuti tulisan menarik Parliza Hendrawan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan