x

Ilustrasi buku. Sxc.hu

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bacalah Buku Tiap Hari, Rasakan Efek Dahsyatnya

Letakkan smartphone dan beralihlah membaca buku. Tenggelamlah kamu dalam pengembaraan pikiran, hati, dan imajinasi, dan rasakan efek dahsyatnya pada dirimu

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Jika kamu sanggup bermain game berjam-jam, memelototi pesan-pesan WhatsApp, atau berkomentar di media sosial dan blog media online, mengapa kamu mengaku tidak punya waktu untuk membaca buku? Saya rasa, tidak ada alasan yang cukup kuat untuk mengelak dari aktivitas menyenangkan ini, bahkan membaca buku menghindarkanmu dari keterpancingan emosional untuk memberi komentar-komentar buruk di media sosial maupun situs-situs media online.

Membaca buku adalah cara yang lebih berharga bila kamu tidak mau atau tidak mampu memberi komentar konstruktif di media sosial. Membaca buku juga cara menghindari kegatalan otak dan jari-jemari untuk mengetikkan kata-kata yang menyakitkan orang lain: menyindir, mencela, bergosip, menceritakan aib orang lain, memaki, maupun memprovokasi. Membaca buku bahkan memberi manfaat lebih dari sekadar memperluas pengetahuan dan memperkaya kosakata bahasa.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bukankah kita punya kecenderungan menghakimi pendapat orang lain dan mengklaim kebenaran milik sendiri. Membaca buku membuat kita lebih memahami bahwa perbedaan pandangan adalah sesuatu yang alamiah. Perbedaan perspektif justru membantu kita lebih memahami sebuah persoalan—bahwa ada banyak segi yang sebelumnya tidak kita pahami. Tiap-tiap orang punya latar belakang berbeda-beda, pengalaman hidup yang tidak sama.

Membaca buku membukakan horison-horison baru sehingga seusai membaca kita akan berseru: ‘Amboi, dunia ternyata demikian luas...’ Membaca biografi naturalis Alfred Russell Wallace membuat kita semakin menyadari betapa kaya Indonesia ini, sebab Wallace membangun ‘teori evolusinya’ dari risetnya di wilayah Nusantara. Saat ini saya lagi senang membaca buku-buku kedokteran dan mendapati betapa amat rumit mekanisme yang bekerja dalam tubuh kita manusia dan sangat detail. Manusia diciptakan dengan perhitungan yang sangat matang: hormon, sel darah, saraf, organ, otak, dan seterusnya—semuanya saling terkait.

Pemahaman yang lebih luas dan dalam itu mengantarkan kita untuk berempati terhadap apa yang dirasakan orang lain. Di media sosial, begitu sering kita membaca komentar-komentar yang menyoraki kesalahan dan penderitaan orang lain—kita lupa bahwa tidak semua orang berniat melakukan kesalahan dan karenanya menderita. Sikap berempati membuat kita lebih bersabar dalam menghadapi pandangan dan sikap orang lain.

Membaca karya fiksi sangat membantu kita mengasah kepekaan semacam ini, bahwa orang lain berbeda, bahwa orang bisa berbuat salah, tapi orang juga bisa memperbaiki diri. Mungkin saja kita tidak setuju dengan pikiran, sikap, dan tindakan orang lain, tapi membaca buku—fiksi khususnya—membantu kita dalam mengasah rasa empatetik sehingga kita mengerti mengapa seseorang berpikir, bersikap, dan bertindak seperti itu. Ini membuat kita tidak mudah menghakimi orang lain, apa lagi mengolok-olok dan memaki-maki.

Membaca buku adalah stimulan yang sangat baik bagi saraf-saraf otak kita agar terus aktif, terkoneksi satu sama lain, dan berpikir. Membaca adalah latihan kebugaran yang sangat bagus untuk mengasah kemampuan kognitif kita, agar tidak mudah terperangkap demensia dan Alzheimer. Daya ingat kita akan lebih terpelihara dibandingkan dengan bila menganggur. Membaca fiksi Agatha Christie atau petualangan Sherlock Holmes karya Arthur Conan Doyle akan menstimulasi otak kita untuk memikirkan siapa pelaku pembunuhan ini?

Kamu stres karena pekerjaan atau sekolah? Membaca buku yang berbeda berpeluang jadi media penyaluran stres yang sangat baik. Menarik bahwa riset yang pernah dilakukan peneliti University of Sussex, Inggris, mendapati bahwa membaca buku merupakan cara paling efektif untuk mengatasi stres, bahkan mengalahkan aktivitas favorit lain seperti mendengarkan musik, menikmati secangkir kopi atau teh, atau bahkan berjalan-jalan. Menurut kajian ini, hanya diperlukan waktu enam menit bagi seseorang untuk rileks sejak ia membuka halaman pertama bukunya. Kisah fiksi lebih menyenangkan.

Rileks diperlukan agar kita lebih mudah tidur. Ketimbang memelototi smartphone ketika malam semakin larut, lebih bagus jika kamu membaca buku. Dari sisi kesehatan mata, membaca buku lebih baik ketimbang membaca di layar smartphone mengingat pancaran cahayanya. Membaca buku akan membawa kita tenggelam ke dalam apa yang sedang kita baca: kisah pendakian ke Gunung Everest, petualangan di dunia Nicholas Flamel yang memukau dan mengejutkan, ataupun kisah-kisah inspirasional lain. Membaca buku sungguh pengantar tidur yang baik.

Tatkala menghadapi tekanan hidup, membaca buku bisa menjadi tempat menemukan inspirasi untuk bangkit kembali dari keterpurukan. Sejarah orang-orang besar di lapangan apapun—agama, bisnis, maupun ilmu pengetahuan—penuh dengan kisah ikhtiar yang tidak henti-henti untuk bangkit dari kegagalan. Begitu pula karya-karya fiksi. Novel karya Alexander Sholzenytsin, Sehari dalam Hidup Ivan Danisovich, mungkin dapat menyemangati hidupmu sebab ada orang lain yang mengalami hidup lebih buruk darimu dan mereka mampu bangkit.

Begitu banyak nilai baik dari membaca buku, jadi mengapa tidak kamu luangkan waktumu setiap hari untuk membacanya? Mulai hari ini, letakkan smartphone-mu sekurang-kurangnya satu jam sehari dan beralihlah membaca buku. Tenggelamlah kamu dalam pengembaraan pikiran, hati, dan imajinasi, dan rasakan efek dahsyatnya pada dirimu. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler