x

Iklan

Parliza Hendrawan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Gambut Terbakar, Teater Potlot Pentas Keliling Sumatera

Seniman di Palembang prihatin dengan terbakarnya gambut 2 tahun llau. Kini mereka bergerak lewat panggung

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

SEJUMLAH seniman di Palembang, Sumatera Selatan menyatakan keprihatnannya atas bencana kebakaran hutan, lahan, dan gambut yang pernah terjadi di Sumatera dan Kalimantan. Keprihatinnya bukan disampaikan lewat aksi unjuk rasa akan tetapi melalui media panggung. Taufik Wijaya, penyair dan novelis yang juga pegiat lingkungan ini mengatakan mereka akan tampil di Palembang, Jambi, Pekanbaru, Padang dan Bandarlampung, dalam pertunjukkan “rawa gambut”. “Kami Teater Potlot akan mengawali pertunjukkan di Taman Budaya Sriwijaya pekan depan,” kata Taufik.  

Menurut Taufik, saat ini pemerintah daerah dan Indonesia menjadi sorotan internasional akibat bencana kebakaran di lahan rawa gambut (wetland). Sebab hampir setiap tahun kawasan tersebut terbakar, yang menimbulkan berbagai dampak. Mulai pelepasan karbon yang menyebabkan perubahan iklim global, gangguan kesehatan, gangguan aktifitas perekonomian, terancamnya kekayaan hayati dan satwa. Tidak hanya itu kebakaran juga mengancam rusaknya artefak budaya seperti situs pemukiman masyarakat Kerajaan Sriwijaya di sepanjang Pantai Timur Sumatera Selatan. Mirisnya lagi, kebakaran di lahan rawa gambut bukan semata karena alam tapi karena perilaku manusia yang tidak arif dalam memanfaatkan dan mengelola lahan gambut. 

Perilaku manusia seperti ini menjadi perhatian Teater Potlot. Sebab menurut Taufik selain mengancam kerusakan bumi, yang salah satunya berdampak pada keberadaan manusia, perilaku tersebut juga menghancurkan jejak peradaban Kerajaan Sriwijaya yang merupakan peletak peradaban Asia Tenggara (Nusantara). Bahkan, jika dibaca dari Prasasti Talang Tuwo, Kerajaan Sriwijaya sangat arif dalam memperlakukan alam atau bumi. Atas dasar itulah, Teater Potlot mengambil peran dengan “mentas”  keliling dimulai dari Palembang pada 23 dan 25 Maret 2017, di Taman Budaya Sriwijaya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sementara itu Conie Sema, pendiri Teater Potlot sekaligus Penulis naskah dan sutradara pertunjukan ini menjelaskan naskah drama ini mengisahkan tentang pergulatan kehidupan manusia yang berada di kawasan gambut, di pesisir Pantai Timur Sumatera, Sumatera Selatan persisnya di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Banyuasin dan Musi Banyuasin.  Gambut menjadi tokoh-tokoh metafora yang menjelaskan siapa dirinya. Gambut pun bercerita tentang masa lalu dan sejarah. Gambut seakan berkabar dan mengirim pesan kepada semua orang, bagaimana berperilaku dan memperlakukan alam dan aneka hayati yang hidup di lahan basah yang subur dan makmur itu. “Gambut adalah cermin peradaban tetapi kenyataan hari ini, gambut tidak lagi menjadi sorga bagi semua,” katanya.

Gambut juga mengingatkan manusia yang mengelola dan memanfaatkan dirinya sebagai lahan berkebun dan berladang. Kerusakan dan kebakaran hebat lahan gambut di penjuru bumi ini, akibat kesalahan pengelolaan dan pemanfaatan oleh manusia. Gambutpun berkata, “Di sini, semua orang menjadi kebun. Mereka menata dan memilih bibit akan ditanam. Lalu memagarinya dengan akal dan pikiran. Tanah menerima benih-benih itu, dan menjaganya. Merawatnya dengan kasih sayang. Hingga menghasilkan buah. Itulah hakikat berkebun. Semua bekerja. Semua mendapatkan hasil. Itulah hakikat keadilan bagi semua." 

Gambut adalah cermin peradaban. Adalah pesan-pesan cinta yang tertulis dalam prasasti leluhur. Pesan menjaga bumi dan kehidupan. Pesan agar kita selamat dari bencana. Tetapi kenyataan hari ini, gambut tidak lagi menjadi sorga bagi semua. Gambut ditimbun, dibakar, dan dihancurkan. Semua menjadi sepi dan asing. Burung-burung terbang tanpa fajar dan sungai. Ikan-ikan meninggalkan rawa tanpa kemarau. Dan keterasingan itu sendiri adalah jutaan kebun yang pelan-pelan datang tanpa suara dan kegaduhan.    

Itulah kenyataan yang diceritakan dalam drama ini. Sebuah kerja paradoks manusia dan ilmu pengetahuan mengelola alam jagat raya ini. Menggugah hati nurani dan cinta manusia tentang makna menghargai dan menjaga kelestarian alam. Mengingatkan arti dan hakikat keadilan dari jargon-jargon konservasi dan restorasi lingkungan. “Kau tak usah sibuk mengurus kami. Kami bisa mengurus diri kami sendiri. Kau urus saja dirimu,” demikian tegur para gambut. 

TEATER POTLOT berdiri tahun 1984 di Palembang, Indonesia. Teater ini bermula dari komunitas kecil di sebuah kampung. Pada perkembangannya Teater Potlot lebih cenderung bereksplorasi dengan gagasan yang berorientasi kepada konsep-konsep “teater pembebasan”. Potlot menginginkan teater terbebas dari ruang teks yang menyandera kebebasan kreatif. Tetapi tetap bisa berkomunikasi dan terpahami oleh penonton, terutama pesan-pesan moral yang hendak disampaikan. (pharliza@gmail.com)

Ikuti tulisan menarik Parliza Hendrawan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan