x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kisah Cinta dan Pelarian Dari Digul

Karya-karya berlatar-belakang Digul yang dikumpulkan oleh Pramoedya Ananta Toer

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Cerita Dari Digul

Penyunting: Pramoedya Ananta Toer

Tahun Terbit: 2004 (Cetakan III)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia

Tebal: xxiii + 314

ISBN: 979-9023-49-3

Membaca kembali Cerita Dari Digul membuat saya bisa menikmati apa-apa yang terjadi di Digul. Sebab saya membacanya pelan-pelan saja, sehingga saya bisa menemukan detail-detail yang ada dalam lima tulisan yang dikumpulkan oleh Pramoedya dalam buku ini. Saya juga bisa merenungkan mengapa Pram mengumpulkan kisah-kisah ini dalam satu buku.

Seperti di jelaskan oleh Pram dalam pengantar, buku ini adalah kumpulan tulisan tentang Digul dari lima penulis yang berbeda. Tulisan pertama berjudul “Rustam Digulist” adalah karya D. E. Manu Turoe. Tulisan kedua berjudul “Darah dan Air-Mata di Boven Digul,” ditulis oleh Oen Bo Tik. Tulisan ketiga berjudul “Pandu Anak Buangan” karya Abdoe’l Xarim M.s. Tulisan keempat karya Wiranta berjudul “Antara Hidup dan Mati atau Buron dari Boven Digul.” Sedangkan tulisan terakhir tidak diketahui siapa penulisnya, berjudul “Minggat dari Digul.”

Pram menata tulisan ini dengan sangat baik. Tiga tulisan pertama bertema orang buangan hubungannya dengan perempuan. Sedang dua tulisan terakhir berkisah tentang pelarian dari Digul. “Rustam Digulist” berkisah tentang seorang pemuda bernama Rustam yang sudah hampir melamar kekasihnya di Pematangsiantar. Namun lamaran tersebut berantakan karena Rustam keburu ditangkap Belanda karena menjadi pelopor propaganda komunis. Ia sebelumnya berselisih dengan orang Belanda karena membela seorang buruh perkebunan yang disiksa oleh Belanda tersebut. Rustam dibuang ke Digul. Saat pulan dari Digul, keluarga perempuan tidak mau menerima Rustam. Alasan mereka adalah karena Rustam berasal dari orang biasa dan bukan dari keluarga bangsawan. Padahal alasan yang sebenarnya adalah karena Rustam adalah seorang Digulist. Meski mendapat tentangan dari orangtua si perempuan, Rustam dan Cindai (demikian nama kekasih Rustam) memilih untuk melakukan kawin lari. Menyadari bahwa cinta tak bisa dipisahkan, keluarga perempuan mengundang mempelai untuk kembali ke kampung dan dipestakan. Bukannya pesta tersebut untuk mengukuhkan pernikahan, tetapi justru pesta tersebut adalah untuk memisahkan keduanya.

Kisah kedua sungguh serupa dengan kisah pertama, yaitu sebuah kisah percintaan dengan latar belakang Digul. Margono yang menyadari bahwa kekasihnya dibawa oleh orang tuanya ke Digul berupaya menyusulnya. Margono bertingkah seakan-akan dia adalah seorang komunis yang berbahaya. Akhirnya Margono ditangkap dan dibuang ke Digul. Namun apa lacur, saat sampai di Digul kekasih Margono telah dinikahkan oleh orangtuanya dengan pemuda yang sama-sama orang buangan. Oleh sebuah surat rahasia, suami Aminah – kekasih Margono mengetahui bahwa istrinya masih berhubungan dengan Margono. Menyadari bahwa Aminah dan Margono adalah sepasang kekasih yang terpisahkan oleh kondisi, suami Aminah memilih untuk bunuh diri supaya mereka berdua bisa kembali bersatu.

Cerita ketiga mengisahkan tentang Pandu, seorang pemuda dari Madiun yang dinikahkan secara Islam dengan seorang perempuan. Namun akhirnya ia dipisahkan dari istrinya oleh mertuanya karena Pandu terlalu aktif dalam gerakan Syarekat Islam Merah. Akhirnya Pandu menikah lagi dengan seorang perempuan yang sama-sama aktif dalam pergerakan. Pandu memilih menikah dengan cara mengumumkan  kepada teman-temannya, tanpa ada upacara agama. Namun saat Pandu ditangkat dan dibuang ke Digul, istrinya yang berjanji untuk menemaninya ke Digul malah menghilang. Pandu menjadi sangat kecewa dengan perempuan. Ia sangat menentang saat ada upaya untuk mendatangkan para pelacur ke Digul supaya bisa mengisi kekurangan perempuan di Digul. Pandu memilih untuk melarikan diri dari Camp. Dalam pelariannya ia ditangkap oleh Kayakaya (orang asli Papua). Pandu akhirnya menikah dengan perempuan Papua. Saat Pandu akhirnya tertangkap dan dikembalikan ke Camp, istrinya ingin ikut dengannya. Namun karena Pandu malu memiliki istri seorang asli Papua, ia tidak mau mengakui istrinya. Saat ia sadar dan ingin membawa kembali istrinya, sang istri telah meninggal karena kecewa cintanya dikhianati oleh Pandu.

Dua cerita terakhir adalah tentang betapa sulitnya melakukan pelarian dari camp. Pada kisah “Antara Hidup dan Mati atau Buron dari Boven Digul” dari tujuh orang yang melarikan diri satu orang mati karena malaria, satu orang hilang karena tenggelam di sungai, dua orang ditangkap oleh Kayakaya dan hanya tiga orang yang akhirnya toh tertangkap kembali. Sedangkan pada kisah “Minggat dari Digul” dikisahkan perjalanan pelarian dari dua orang yang akhirnya bisa keluar dari camp.

Membaca kelima kisah ini kita disuguhi bahwa Digul adalah sebuah pulau yang dihuni oleh penduduk asli yang disebut sebagai Kayakaya yang jumlahnya tidak banyak. Kayakaya digambarkan sebagai masyarakat yang masih primitif dan suka makan orang. Namun para penulis kisah ini menunjukkan bahwa Kayakaya adalah manusia biasa yang bisa jatuh cinta, punya solidaritas dan suka menolong.

Bagi para tawanan yang rata-rata intelektual yang tangannya lebih banyak memegang pulpen terpaksa harus memegang cangkul, Digul adalah sebuah tempat yang ganas. Malaria, khususnya penyakit kencing hitam adalah penyakit yang mematikan. Hutan belantara yang tidak ada pohon buah dan sungai-sungai yang ganas adalah halangan yang sangat besar untuk melarikan diri. Mereka harus bekerja keras untuk mengubah hutan tersebut menjadi ladang padi dan tanaman-tanaman pertanian lain. Kesulitan lainnya adalah para tawanan ini hampir semuanya lelaki. Kalaupun ada perempuan, mereka adalah istri para tawanan yang ikut serta suaminya. Para lelaki yang tidak memiliki istri ini mengalami siksaan seksual yang amat sangat. Mereka juga mengalami siksaan psikologis karena dijuluki sebagai beyes.

Namun Digul juga menunjukkan solidaritas. Kelima penulis ini menunjukkan bahwa para buangan ini bisa saling solider, saling membantu dalam kesusahan. Terutama saat mereka melakukan pelarian. Bahkan solidaritas antara orang buangan dengan Kayakaya juga digambarkan oleh para penulis ini. Manusia adalah manusia. Mereka bisa berkawan dan saling membantu saat mereka merasa senasip sepenanggungan.

Satu hal lagi yang sangat menarik bagi saya dari buku ini adalah penjelasan Pram tentang adanya tiga bahasa Melayu saat Sumpah Pemuda dikumandangkan. Di sekolah-sekolah diajarkan Bahasa melayu yang kiblatnya adalah Melayu yang dipakai di Malaya. Sementara itu dalam pergaulan sehari-hari dan di surat khabar-surat khabar Tionghoa digunakan bahasa Melayu pasar, atau bahasa melayu rendah. Satu lagi bahasa Melayu yang saat itu adalah adalah bahasa Melayu Riau yang dipakai oleh penduduk Melayu di Riau dan sekitarnya. Jadi, saat para pemuda memilih bahasa Melayu sebagai Bahasa Persatuan Indonesia, sebenarnya bahasa Melayu yang mana yang mereka maksudkan?

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu