x

Iklan

Frans Ari Prasetyo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Alun-alun, Palaguna dan Kuasa Lahan (Kota)

Perubahan lansekap alun-alun kota Bandung dalam dua dekade terakhir mengalami fase politik arsitektural yang nyata.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Gedung Palaguna sebelum diruntuhkan. (Foto Frans Prasetyo - Agustus 2014)

Perubahan lansekap alun-alun kota Bandung dalam dua dekade terakhir mengalami fase politik arsitektural yang nyata. Sejak periode walikota AA Tarmana, Dada Rosada dan sekarang Ridwan Kamil, masing-masing memberikan ciri khas politik arsitektural yang khas termasuk resonansi gimmick citra alun-alun yang mewakili citra kota Bandung secara keseluruhan. Bagaimana tidak, alun-alun sebagai representrasi ruang publik yang pertama kali disuguhkan oleh kota sebagai ruang politis sekaligus ruang terbuka hijau bagi warganya. Maka soal, alun-alun menjadi eskalasi geografis, ekologis, kultural dan historis bagi narasi kota-nya, bahkan untuk kota Bandung sendiri ditambah dengan aspek religiusitas. Renovasi mesjid raya Jawa Barat yang notabene berada berdampingan didepan alun-alun kota menjadi salah satu timeline bagaimana perubahan alun-alun terjadi. Alun-alun tidak bisa hanya dilihat sebagai satu tempat atau satu area saja, tetapi dilihat sebagai suatu kawasan termasuk skema, desain dan sejarah perubahannya. Maka perubahan alun-alun juga melibatkan perubahan kawasan disekitarnya termasuk perubahan yang terjadi di depan Gedung Merdeka atau bagian sebelah timur alun-alun yang kemudian dikenal sebagai gedung Palaguna. 

Sebelum Palaguna, gedung ini bernama Miramar yang menjadi pusat perbelanjaan terkenal dikota  bahkan sebelum kemerdekaan. Pada perkembangannya beroperasinya bioskop Elita yang dibangun pada 1908 dan kemudian menjadi primadona penggemar film di Kota Bandung, namun bioskop ini kemudian dibongkar pada 1980-an. Lahan tersebut kemudian dibangun kembali menjadi pusat perbelanjaan bernama Palaguna Nusantara dengan memiliki dua bioskop baru, yaitu Palaguna dan Nusantara. Bersamaan dengan meredupnya Gedung Palaguna Nusantara yang tak mampu bersaing dengan mall-mall baru yang bermunculan awal tahun 2000, Nusantara dan Palaguna pun terkena imbasnya dan diratakan dengan tanah ditahun 2014. Area eks-gedung palaguna ini yang kemudian menjadi lahan yang strategis dan bernilai ekonomi tinggi sehingga banyak investor meliriknya. Bagaimana tidak, palaguna ini berada di poros utama jalan kota Bandung, bersebrangan disemua sisi dengan Gedung Merdeka, Alun-alun kota termasuk Mesjid Raya dan pendopo sebagai rumah dinas walikota Bandung, belum lagi ditambah area komersial dan perkantoran yang juga berada dalam kawasan ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lalu, ketika gedung Palaguna yang tidak produktif lagi secara komersial, berada diarea komersial tinggi dan padat kemudian diruntuhkan sehingga meninggalkan area lahan yang rata dan kosong. Tentu saja sebagian awam akan berfikir lahan ini akan dibangun kembali gedung komersial lainnya yang lebih modern atau benar-benar menjadi lahan untuk publik, apapun itu namanya. Berupa taman kota atau fasilitas publik lainnya, misalnya museum atau perpustakaan yang desas-desusnya pernah terdengar kearah itu, bahkan menjadi komoditas janji politik oleh penguasa. Namun apa daya, pikiran pemerintah nyatanya lebih memilih nilai ekonomi berupa investasi untuk dibangun kembali dengan melibatkan pihak lain, sedangkan pikiran warga awam punya mimpi untuk mengembalikan area tersebut berdasarkan historisitasnya. Selain itu warga perkotaan saat ini juga mulai memikirkan apa yang disebut dengan “suistanable cities” dan ‘right to city’ yang akan berdampak signifikan terhadap derajat kebahagiaan warganya melalui daya dukung lingkungan kota yang berkelanjutan tersebut.

Beragam upaya warga untuk menjadikan area ex-palaguna ini menjadi ruang publik, bahkan menjadikannya hutan kota muncul dala beragam bentuk, seperti petisi publik hingga beragam aksi masa dan pertunjukan seni ‘protes’. Upaya yang melibatkan dan dukungan dari beragam lapisan warga kota Bandung,  baik secara individu maupun organisasi untuk mendorong agar area lahan ex-palaguna ini benar-benar diwujudkan menjadi hutan kota, mengingat ruang terbuka hijau kota ini yang sangat minim dan terus berlangsungnya degradasi lingkungan perkotaan. Upaya ini pun tidak bisa terhindarkan dari upaya politisasi dari pihak-pihak yang ingin memanfaatkan momentum politiknya untuk meraih simpati publik berupa panggung politik dalam bentuk proses-proses pencitraan publik berupa janji-janji baru atau akan berupaya menunaikan janji sebelumnya yang ujung-ujungnya untuk kepentingan transaksi elektoral semata. Belum lagi jika ditambah oleh para pengagum developmentaris yang akan ‘ngehek’ untuk berkomentar tanpa pernah turun kelapangan untuk melihat realitas sosial disekelilingnya. Upaya dari warga kota ini muncul ketika pada awal tahun 2016, dimana area ex-palaguna ini benar-benar dibangun kembali dengan ijin-ijin pendirian bangunan dan amdal yang telah dikantongi oleh pemodal tersebut.

Sejatinya area ini milik pemerintah provinsi Jawabarat, namun pelepasan hak atas tanah terjadi 16 Des 1988 antara perusahaan daerah PD Kerta Wisata ke PT Bale Bandung berdasarkan Perda No.4/1995 dan Perda No.19/2010 kemudian memberikan hak pengelolaan sepenuhnya ke PD Jawi (Jasa Wisata) yang kemudian “menjualnya” kepada pihak swasta-PT Titah Raja Jaya sejak Maret 2003. Semenjak di pegang oleh PT Titah Raja Jaya yang berafiliasi dengan Lippo grup, maka rencananya lahan seluas 10.143 m2 ini akan dibuat superblock properti bernama The Bandung Ikon yang terdiri dari Mall, Hotel, Apartemen dan Rumah Sakit tipe B yang terdiri dari 9 lantai mall, 8 lantai hotel dan 6 lantai rumahsakit dengan ketinggian gedung tertinggi  72,20m. Untuk basement sendiri terdiri dari 3 lantai belum termasuk pondasi, yang akan mengeruk tanah sekitar 50.000 m3. Lahan eks palaguna ini merupakan aset negara, maka juga termasuk aset publik. Oleh karenanya ketika akan dilakukan tindakan apapun apalagi dikomersialisasikan untuk kepentingan privat, pelibatan publik dan dorongan digunakan untuk kepentingan publik yang lebih utama, harus lebih karena jika tidak itu sama saja dengan menjual negara, menjual kepentingan publik. Walaupun ini aset pemerintah provinsi, namun peran pemerintah Kota Bandung dalam hal ini walikotanya sangat vital dalam menentukan masa depan lahan Palaguna ini, karena kawasan ini merupakan bagian dari Kebijakan Kawasan Strategis Kota yang masuk dalam Satuan Wilayah Kota (SWK) Karees.

Jika merujuk kepada keterangan Rencana Kota No. 503.643.4/KRK/-4705 DISTARCIP/XI-2013/Rev.015/III 2015 yang menyebutkan bahwa rencana kegiatan peruntukan area palaguna adalah perdagangan yang juga menjadi pendorong rencana pembangunan tersebut.  Hal ini tidak sepenuhnya tepat karena selain mall terdapat area pemukiman berupa apartemen dan rumah sakit dan ini bertentangan dengan RTRW Kota 2011-2031 dan RDTR 2015-2035. Dalam RTRW kota, alun-alun merupakan Pusat Pelayanan Kota (PPK) yang melayani Subpusat Pelayanan Kota (SPK) yang sebagai dasar kebijakan pengembangannya merupakan urban renewal yang sama sekali tidak menyebutkan terkait pelayanan pemukiman (apartemen) dan kesehatan (rumah sakit).  Selain itu jika merujuk kepada Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah 2012-2025, kawasan alun-alun ini merupakan kawasan wisata, bukan kawasan bisnis, hunian dan rumah sakit. Akan sangat elok jika kawasan ini dikembalikan menjadi kawasan wisata alun-alun sepenuhnya seperti dulu dengan menjadikannya ruang terbuka hijau. Jika melihat rencana pola ruang kawasan Budidaya yang akan menambahkan RTH disepanjang jalan arteri, hal ini sangat tepat mengingat kawasan alun-alun ini berada tepat di jalan Asia Afrika yang merupakan jalan arteri primer, selain itu rencana penambahan RTH di kawasan alan-alun yang juga terdapat juga area pertokoan dan perkantoran.

Perlu diingat, RTH Kota Bandung baru mencapai 12.14%, sedangkan idealnya sebuah kota harus memiliki RTH sebesar 30% sesuai UU No.26/2007. Namun hal ini tidak akan  berguna jika penguasa daerahnya merasa sedang memaksakan skema Desentralisasi dan Public Private Partnership dengan dasar investasi dan peningkatan PAD yang mengesampingkan hak publik, termasuk (usulan) penyediaan RTH yang bahkan dilahan milik pemerintah sendiri.Alih-alih berupaya untuk memperluas kawasan RTH perkotaan sesuai perundandan dan mandat RTRW kota, pemerintah kota malah menerbitkan sertifikat guna bangunan No. 10.15.13.07.3.20029 yang diterbitkan 17 agustus 2003 yang diperkuat surat keputusan kantor pertanahan kota bandung No. 550./79-81/HBG/KP/2003 yang akan melegitimasi kemudahan pembuatan IMB untuk pembangunan The Bandung Icon ini. Selain itu, RDTR menjadi rujukan utama dalam penerbitan IMB karena menggunaakan lembaran peta zonasi yang menggunakan pemanfaatan adanya KDB Koef Dasar Bangunan), KDH (Koef Dasar Hijau). Tapi kondisinya, RDTR saja sudah ‘dilanggar’ dengan rencana keberadaan apartemen dan rumah sakit dan juga melanggar peraturan Zonasi Kota Bandung 2015-2035. Rencana The Bandung Ikon ini tidak pernah termaktub dalam RTRW, RDTR dan RPJMD 2013–2018.

IMB ini akan merujuk kepada Amdal (analisis dampak lingkungan) yang selayaknya merujuk kepada RTBL dimana RTBL sendiri merujuk kepada RTRW/RDTR.  Jangankan membuat RTBL sebagai sebuah produk pengaturan yang disusun dengan harapkan dapat mensinergikan seluruh perencanaan yang ada di suatu kawasan sehingga dapat mendukung dan memberikan kontribusi terhadap terwujudnya kota hijau yang berkelanjutan. Nyatanya amdal sudah tersedia dengan legitimasi dan rekomendasi yang mengijinkan The Bandung Icon berdiri. Rekomendasi dimaksud antara lain dari Komando Operasi TNI AU, Badan Koordinasi Penataan Ruang Kota Bandung, Keterangan Rencana Kota Kecamatan Regol, Badan Pengelola Lingkungan Hidup hingga keputusan Menteri PU/PR. Jika melihat lokasi dimana lahan ex-palaguna ini berada, sangat anomali jika penguasa kota memberikan ijin untuk mendirikan bangunan megah yang salah satunya peruntukan untuk hunian berupa apartemen di pinggir sungai tetapi ditempat lain dialiran sungai yang sama yaitu sungai Cikapundung dimana hunian warga lainnya malah digusur, jadi teringat apa yang terjadi tahun 2015 lalu di Kampung Kolase. Melalui indikasi ini saja dapat terlihat, kepentingan (warga) seperti apa yang dilayani oleh penguasa kota-nya.

Lebih lanjut, pertimbangan jika lahan ex-palaguna ini dibangun mall, apartemen dan rumahsakit tentu saja akan memerlukan pasokan air yang besar sehingga akan terjadi penurunan 86,3 m3/hari kuantitas air tanah dikawasan tersebut, karena kawasan ini berada di zona air tanah yang rawan sehingga akan terjadi penurunan muka air tanah sebanyak 60% dan mengganggu ekosistem dan ekologi dari Daerah aliran sungai Cikapundung bahkan akan mencemarinya. Selain itu, terutama jika adanya rumah sakit akan menghasikan limbah rumah sakit dan limbah radioaktif yang berbahaya.

Jika melihat ekspansi lahan perkotaan yang masif yang diperuntukan gedung-gedung tinggi bahkan area superbloc dengan menyediakan layanan fasilitas terpadu antara hunian, kantor dan ruang rekreasi bahkan rumah sakit dan sekolah, maka pola ekspansi seperti ini akan menyasar lahan-lahan yang berada dipusat kota, baik berupa lahan kosong milik pemerintah, gedung atau bangunan tua, bahkan menghilangkan kampung-kampung kota, hunian padat penduduk yang dinilai oleh modernitas dan pemilik kuasa sebagai arema kumuh, kantong kemiskinan, citra buruk kota. Jika melihat perkembangan mall dikota, beberapa kota di Indonesia telah mengalami over development jumlah mall termasuk di kota Bandung. Maka dari itu nilai ekonominya sebenarnya sudah tidak signifikan lagi untuk investasi dan bisnis, ditambah dengan semakin ekpansifnya bisnis gerai on-line.

Jadi jika menengok lahan ex-palaguna ini yang akan dijadikan mall, sebenarnya itu hanya taktik saja karena seyogyanya yang lebih potensial dalam mengeruk keuntungan dipusat kota adalah dengan bisnis properti dan layanan kesehatan. Seperti kita ketahui bersama proyeksi resmi PBB mengenai penduduk bumi akan setengahnya akan tinggal diarea perkotaan hingga tahun 2050 nanti. Akibatnya kebutuhan akan hunian semakin tinggi dan sudah dimulai serta terlihat ketika generasi milenial sekarang ini tengah/akan kesulitan mengakses properti yang menggunakan lahan tanah untuk bangunannya, jadi hunian vertikal berupa apartemen menjadi solusi untuk memenuhi kebutuhan ini dengan lahan minimal tapi jumlah hunian maksimal. Para investor akan berlomba untuk mencari lahan-lahan pusat kota untuk memenuhi permintaan kebutuhan hunian ini yang akan semakin tinggi dan tentu saja bernilai ekonomi tinggi. Selain properti, bisnis (layanan) kesehatan dengan membuat rumah sakit menjadi daya tarik investasi dimasa depan menginat laju pertumbuhan penduduk yang tinggi dan semakin rentannya kesehatan masyarakat dewasa ini. Lahan ex-palaguna ini menjadi contoh nyata, bagaimana ekspansi modal dengan dalih investasi untuk meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah - Kota) dan meningkatkan citra kota modern lebih menjadi prioritas. Rencana pembangunan mall yang intinya adalah pembanguan apartemen serta rumah sakit adalah bukti nyata untuk pemenuhan kebutuhan tersebut.

Nilai ekonomis sebuah lahan/ruang kota bukan hanya ditentukan oleh aktivasi privatisasi swasta, tapi juga bisa ditentukan dari aktivasi publiknya dalam menggerakan geliat ekonomi tersembunyi yang bukan hanya berupa transaksi ekonomi fisik/normatif, tetapi juga dilihat dari transaksi ekonomi komunal dan kultural yang menghidupkan denyut ruang tersebut yang berdampak langsung secara psikologis, peningkatan kesehatan dan ruang hidup yang menjadi hak warga atas ruang kotanya bahkan dapat meningkatkan indeks kebahagiaan warga yang selama ini tampaknya ‘hanya’ berupa klaim semata pemerintah kota. Sebagai warga kota, kita hanya bisa mengupayakan dan memberikan masukan kepada stakeholder khususnya penguasa kota untuk melakukan apa yang dimaksudkan dengan Hak Atas Kota termasuk salah satunya kebutuhan RTH selanjutnya terserah kearifan, kecerdasan dan kebijaksanaan penguasa untuk kepentingan warganya bukan untuk segelintir orang semata (pemodal).

 

Jika mau adil, mari kita hitung bersama nilai ekonomis lahan ex-palaguna tersebut jika dibangun kembali menjadi gedung (mall, apartemen dan rumahsakit) sesuai dengan keinginan pemerintah dan pemodal atau jika dijadikan hutan kota sesuai dengan keinginan publik kota yang tengah diupayakan bersama sekarang ini. Berapa keuntungan investasi dan nilai kerugian dari degradasi lingkungan termasuk dampak sosial dan kesehatan bagi publik jika lahan ini dijadikan gedung tersebut dalam jangka pendek dan jangka panjang. Lalu hitung juga keuntungan dan kerugian yang berdampak kepada aspek sosial, ekonomi serta kesehatan warga dan kotanya jika lahan tersebut dijadikan hutan kota.

Nilai estetika pohon di jalan, jalan-jalan dan taman-taman kota hendaknya  dihargai, tetapi juga secara signifikansi memberikan akumulasi value ekonomi. Pohon memberikan pelayanan dan memenuhi peran fungsional di kota. Mereka adalah komponen penting dari infrastruktur perkotaan dan memiliki nilai ekonomi yang nyata dan dapat dihitung. Kita dapat menghitung "luas permukaan daun," sebuah kota dan memberikan pohon nilai ekonomi, dari jasa lingkungan yang mereka berikan. Berapa banyak karbon yang tersimpan? Berapa banyak ozon, nitrogen, partikulat negatif yang dihapus? Dampak kesehatan? Efek pemanasan/ pendinginan suhu dan aspek Hidrologi?. Nilai-nilai ini yang bisa menjadi tolak ukur dan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan terkait kebutuhan RTH atau kepentingan investasi.

Sebagai contoh, Hutan kota yang terdiri dari 100.000 pohon dapat menghemat $ 1,5 juta per tahun sebab naungannya mengurangi konsumsi listrik dan menghemat air. Keteduhannya  dapat memperpanjang umur aspal dan pengasingan karbon.  Sebagai contoh, Studi terbaru dari keberadaan pohon  di Tampa-Florida  memperkirakan bahwa mereka telah menyelamatkan kota dan publiknya hampir US $ 35 juta per tahun serta  mengurangi biaya untuk kesehatan masyarakat, penghematan energi, pencegahan erosi tanah, menghindari berkurangnya air tanah dan lainnya.  Perhitungan kontribusi ekonomi dari pohon dapat mengubah algoritma ekonomi di mana keputusan dapat dibuat.  Pada saat perubahan iklim, kepadatan perumahan tinggi dan pembaharuan dalam kota yang mengarah ke penurunan signifikan dalam tutupan pohon di kota-kota besar, keputusan untuk membuat pohon kota lebih banyak menjadi sangat penting untuk infrastruktur perkotaan yang ingin menjadi kota hijau yang berkelanjutan.

Jika selama ini pemerintah kota/provinsi sering memberikan ijin pembangunan dengan cara merubah kawasan RTH yang berwarna hijau menjadi kawasan hunian/komersial dalam RTRW/RDTR atau melanggarnya, sehingga keadaan kota Bandung ini menjadi tidak lagi ekologis dengan alasan investasi dan peningkatan PAD yang ujung-ujungnya untuk peningkatan kesejahteraan publiknya. Maka, jika melihat posisi Palaguna, saatnya pemerintah kota/provinsi membuat skenario terbalik dengan cara merubahnya dalam RTRW/RDTR dari kawasan perdagangan/komersial menjadi kawasan hijau yang tentu saja langsung bermanfaat bagi publik. Hal ini telah dilakukan di banyak kota-kota besar didunia dan menjadi trend, misalnya yang terjadi di Seoul yang menjadikan jalan tol menjadi RTH. 

Melalui kerja telaten menyusun dan menginventarisasi infrastruktur hijau kota, para pembuat kebijakan dapat membuat keputusan yang lebih bermanfaat bagi publik, karena dalam tahun-tahun mendatang, bangsa akan terus tumbuh yang disertai urbanisasi pesat. Pada saat yang sama, kita akan membutuhkan pohon lebih dari sebelumnya untuk menciptakan dan memelihara kota (hijau) layak huni.  Hal ini menunjukkan niali dan manfaat dari perubahan struktur kota melalui vegetasi. Kota hijau yang menginspirasi untuk mengagumi sepanjang waktu atas kanopi alam di atas dan tanah di bawah kaki. Jika Bandung ingin menjadi bagian dari trend kota ekologis dan kota hijau seperti banyak kota-kota besar didunia yang telah melakukannya, maka menjadikan lahan ex-Palaguna menjadi RTH menjadi preseden baik untuk citra kota dan tentu saja citra pemimpin dan warganya. 

Ikuti tulisan menarik Frans Ari Prasetyo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB