x

Iklan

arif bulan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Hedonisme Simbolik

Tulisan ini bertujuan untuk melihat model hedonisme generasi muda,

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Penduduk Indonesia hingga tahun 2017 ini mencapai 250 juta jiwa. Jumlah penduduk yang fantastis dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia. Status Indonesia sebagai negara berkembang dan memiliki banyak penduduk menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang komsumtif, bangsa yang hampir menyayangi simbol-simbol hedonis.

Hedonisme merupakan paham di mana kehidupan ini merupakan sebuah wadah untuk bersenang-senang saja tanpa memikirkan ambang batas kesenangan terhadap simbol-simbol. Hedonisme simbolik merupakan sebuah pola prilaku yang lebih mementingkan gaya hidup hedon, bersenangan-senang, foya-foya dan bergembira ria dengan simbol-simbol yang dianggap sebagai sebagai lambang modernitas suatu peradaban tanpa menyaring nilai guna dan nilai tukar.

Meminjam konsep dari  Karl Marx tentang nilai guna dan nilai tukar, sebenarnya hedonisme simbolik dapat dibatasi ruang geraknya oleh “kita sendiri” dengan betul-betul memahami konsep nilai guna dan nilai tukar sebuah symbol peradaban, misalnya saja handphone. Handphone secara sederhana jika dilihat dari konsep nilai guna dari Karl Marx yaitu memiliki kegunaan sebagai alat komunikasi, yang menghubungkan antara sesama pengguna. Lantas nilai tukar di sini adalah nilai yang dianggap wajar untuk dibeli karena sesuai dengan kegunaanya. Hal ini semakin tergerus dengan adanya budaya hedonisme simbolik, di mana nilai guna dan nilai tukar ‘sepertinya’ tidak penting lagi, yang lebih penting bagi mereka adalah hasrat hedonisnya terpenuhi dengan symbol-simbol peradaban medoren yang mereka maksud.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebagai bentuk ‘evolusi’ dari nilai guna dan nilai tukar tersebut adalah kita tidak lagi memperhatikan guna esensil dari suatu benda yang bernama handphone tersebut, namun kita juga tidak bisa menafikan adanya perkembangan teknologi yang begitu pesat yang menggeret pola hidup kita menjadi pola hidup yang serba instan, maunya cepat, maunya mewah. Kemewahan tersebut ditunjukan dengan simbol yang berbentuk handphone. Dulu, namanya hanya handphone sekarang sudah sedikit maju menjadi ‘smartphone’ (Ponsel Pintar) bahkan manusiapun lebih pintar dari ponsel, sebentar-sebentar “OK GOOGLE” dan lain sebagaianya. Di sisi lain, ada nilai yang tergerus jika kita terlalu bergantung dengan “OK GOOGLE”, dalam kelas kita lebih berani bertanya kepada “MBAH GOOGLE” daripada “DOSEN/GURU”, ada nilai interaksi sosial yang tergerus.

Ada data yang perlu kita apresiasi. Berdasarkan suvey Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII, 2016) pengguana internet di Indonesia mencapai 132,7 juta penduduk artinya ada sekitar 52 persen penduduk Indonesia adalah pengguna internet. Sebagian besar pengguna internet adalah mahasiswa dengan persentase (89,7 persen), pelajar (69,8 persen), dan pekerja (58,4) persen. Ini menunjukan bahwa kaum muda yang paling banyak menggunakan internet. Wajar jika kemudian kaum muda yang paling banyak, karena kemajuan teknologi pada abad XXI ini biasanya dirasakan oleh kaum ‘borjuasi kecil’ atau kaum muda (mahasiswa/pelajar) yang masih menggantungkan suplai ekonomi dari kedua orang tua.

Melanjutkan survey yang dilakukan oleh APJII tersebut, konten internet yang paling banyak dikunjungi adalah Media Sosial. Pengguna media sosial di Indonesia mencapai 129,2 juta orang (97,4 persen). Konten internet yang juga sering dikunjungi adalah hiburan sekitar 128,4 juta orang (96,8 persen) ini menandakan bahwa hampir seluruh pengguna internet di Indonesia adalah pecinta medsos dan hiburan.

Data di atas menunjukan bahwa pelajar/mahasiswa merupakan pemakai internet paling banyak dan tentu saja pecinta sosmed paling aktif. Perhatikanlah teman-teman sekolah dan teman-teman kampus anda, bahwa mereka rata-rata memiliki ‘smartphone’ sebagai alat untuk mengakses internet dan konten medsos lainya. Smartphone tersebut bisa menjadi alat “hedonisme simbolik” jika kita hanya mengedepankan hasrat  dan begitu pula sebaliknya. Mengutip apa yang disampaikan oleh Widhibrata (2016) bahwa “para pelajar/mahasiswa yang mengedepankan logika hasrat demi komsumsi tanda dan simbol tidak akan pernah puas akan kondisinya, ini dikarenakan memuaskan logika hasrat akan membuka kekurangan dari dirinya. Sebagai contoh pelajar/mahasiswa yang membeli Iphone 4 sejenak akan merasa terpuaskan, namun selang beberapa bulan kemudian setelah Iphone 5 sudah dipasarkan, ia akan melihat kekurangan Iphone 4 yang dimilikinya kemudian akan muncul hasrat untuk membeli Iphone 5 yang dianggapnya sebagai mode atau tren baru kehidupan”. Kembali pada konsep ‘nilai guna’ dari Karl Marx, penulis menyimpulkan bahwa suatu benda jika telah melebihi nilai guna maka itulah yang dinamakan “hedonisme simbolik”.

Ikuti tulisan menarik arif bulan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB