x

Ilustrasi Telinga (beatcrave.com)

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Seni Mendengarkan bagi Pemimpin

Banyak pemimpin enggan meluangkan waktu untuk mendengarkan apa yang dirasakan dan dipikirkan orang-orang yang ia pimpin.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bagi sebagian orang, berbicara merupakan aktivitas yang lebih menarik ketimbang mendengarkan. Berbicara menjadikan seseorang pusat perhatian orang-orang di sekitarnya. Di manapun akan lebih banyak orang yang berperan sebagai pendengar ketimbang berbicara, jadi berbicara adalah sejenis keistimewaan yang tak semua orang dapat menikmatinya.

Menjadi pendengar boleh jadi membosankan. Di sebuah ruang pertemuan kecil, misalnya, dapat diduga bahwa tidak semua orang yang hadir di situ mendengarkan orang yang tengah berbicara. Sebagai pendengar, seseorang perlu bersikap sabar, memusatkan perhatian kepada yang berbicara, dan menyimak. Dengan peran seperti ini, tak semua orang mampu bertahan fokus lebih dari 1 jam! Sebagian besar orang yang hadir di situ, pikirannya mungkin mengembara entah kemana.

Jika Anda seorang pemimpin—perusahaan, organisasi sosial, partai politik, kantor pemerintahan, dsb—mendengarkan merupakan aktivitas yang lebih penting ketimbang berbicara. Kesediaan untuk mendengar adalah syarat awal bagi pemimpin untuk bersikap adil dalam mengambil keputusan dan bertindak. Melalui aktivitas mendengarkan, pemimpin mampu menyerap apa yang dipikirkan oleh orang-orang yang ia pimpin.

Sebagai pemimpin, sukar untuk benar-benar mengetahui apa yang dipikirkan orang yang mereka pimpin, apa yang membuat mereka gelisah, atau bagaimana membantu mereka, jika Anda tidak menyediakan waktu. Mendengarkan berarti memberi perhatian secara sadar bukan hanya pada ucapan, tapi juga bahasa tubuh, suasana hati, dan ekspresi wajah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Seperti ditulis Erich Fromm dalam The Art of Listening, “Mendengarkan adalah seni memahami sebagaimana seni memahami puisi.” Dengan mendengarkan, seseorang tidak lagi menjadi ‘pusat perhatian’, melainkan mengalihkan ‘pusat’ itu kepada orang lain. Meskipun karya Fromm ini ditulis dalam konteks psikoanalisis, apa yang ia pikirkan relevan untuk konteks yang lebih luas.

Aturan dasar dalam mempraktikkan seni ini ialah: “sebagai pendengar, Anda harus berkonsentrasi penuh”. Menunjukkan kepedulian Anda terhadap apa yang mereka ucapkan akan membuat mereka merasa dihargai. Ini bukan perkara hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin semata, melainkan hubungan antar sesama manusia yang kebetulan sedang berada dalam posisi berbeda.

Pemimpin yang menghakimi orang lain pada dasarnya bukan pendengar yang baik. Ketimbang menghakimi, lebih baik belajar dari apa yang sedang didengar. Inilah pentingnya menjadi pendengar aktif, pendengar yang menyerap apa yang sedang ia dengar. Bukan hanya mendengar, tapi juga terlibat aktif dengan berbagi pandangan, mengajukan pertanyaan, memberi dorongan, dan meluaskan perspektif orang yang dipimpin. Pada akhirnya, orang yang didengarkan akan mengerti bahwa Anda memang menaruh perhatian dan berusaha memahami apa yang ia katakan.

Fromm menyebutkan, untuk dapat mendengarkan dengan baik, seseorang harus mengembangkan kemampuan berempati kepada orang lain dan mampu merasakan pengalaman orang lain seolah-olah pengalamannya sendiri. Empati merupakan wujud ‘mendengarkan’ yang powerful. Memang banyak pemimpin yang menghindari interaksi emosional, tapi pemimpin yang baik tahu bagaimana berempati dan membuka diri agar dapat didekati oleh mereka yang memerlukan perhatian. Pemimpin hebat tahu bagaimana menyeimbangkan kepala dan hati.

Syarat bagi empati semacam itu, kata Fromm, merupakan segi penting dari kapasitas untuk mencintai. Memahami orang lain bermakna mencintainya—bukan dalam pengertian erotik, melainkan mampu menjangkaunya dan mengatasi rasa takut kehilangan jati dirinya. Pemimpin yang mencintai rakyatnya akan memahami rakyatnya. Memahami dan mencintai tidak dapat dipisahkan. Bila keduanya terpisah, berarti pintu pemahaman masih tertutup.

Mendengarkan, pada akhirnya, adalah menyerap pikiran, perasaan, dan pengalaman orang lain. Bagi pemimpin, mendengarkan berarti memahami apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dialami oleh orang-orang yang ia pimpin. Berbicara lebih sedikit, mendengarkan lebih banyak. Jika sebagai pemimpin, ia tak mau mendengarkan, tapi lebih suka berbicara, maka sesungguhnya ia tengah memutus hubungan dari realitas di sekitarnya. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB