Anak-Anak yang Belajar di Jalan

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Iklan

Di jalan, para belia secara tidak langsung belajar menjadi para pelintas kehidupan.

Sejak belia, dengan aneka mobilitas yang melintasi jalan, para bocah bukan saja telah belajar berjalan tapi juga mempelajari jalan. Bahkan, mereka berani menjadi penadah konflik sekaligus harmoni lewat ragam peristiwa di jalan. Jalan kampung, jalan setapak, jalan beraspal, jalan raya, atau jalan tol menjadi wilayah yang turut mengasuh dan mengajarkan para bocah bersikap, beretika, bahkan mengenali lintasan horor pengambil jiwa manusia. Di jalan, para belia secara tidak langsung belajar menjadi para pelintas kehidupan.

Pelajaran berlalu lintas bisa dikatakan sebagai pengajaran mengenali jalan. Di masa sekolah, anak-anak biasanya mendapati ragam rambu di dalam atlas atau poster tertempel di dinding. Mereka juga belajar karena diajak berpergian. Nostalgia pelajaran berlalu lintas bisa ditengok lewat buku pelajaran lawas Membatja dan Membentuk Bahasa Indonesia garapan M.S. Sastrowardojo dan B.M. Nur (1962). Ada gambar anak-anak berdiri di pinggir jalan bersama Pak Polisi. Mereka tampak bergembira mempelajari setiap rambu, menyimak kendaraan, dan menelisik bangunan kota. Jalan memberi ketakjuban bagi anak di hadapan modernisasi tata kota.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pengubah lagu kanak Ibu Soed pun menulis lagu berjudul “Bung Polisi Pengatur Lalu Lintas” (Ketilang,1982). Kita simak: hai kawan bung polisi kita/ bekerja dengan tangkas/ mengatur lalu lintas/ tengoklah tangannya diacu-acukannya/ itulah perintah yang tepat bagi rakyat/ ayuh ini lalu, itu tunggu dulu/ ayuh itu lalu, ini tunggu dulu/ awas kendaraan jalan hati-hati. Di jalan, Bung Polisi ditokohkan dengan cukup heroik yang mengantarkan pengguna jalan berlaku tertib sebagai sesama pengguna jalan. Anak-anak diajak mengenali gerak raga sebagai rambu keselamatan. Namun, dalam lagu merdu ini, para bocah diajari berhati-hati: awas kendaraan jalan hati-hati.

Jalan Selamat

Di masa Orde Baru lewat bacaan anak berlabel Inpres “Milik Negara, Tidak Diperdagangkan”, jalan dipolitisasi pemerintah sebagai infrastuktur agung yang mengantarkan kemajuan memasuki desa-desa. Pembangunan jalan selalu menjadi cerita penuh teladan pembangunan. Pemerintah yang baik dikenali anak lewat jalan-jalan mulus, listrik, modernisasi pertanian, koperasi, pemberantasan buta aksara.

Namun, jalan milik pemerintah memang tidak selalu memberi jaminan rasa harmoni. Di bacaan Sarang yang Aman (1983) garapan Maria A. Sarjono, dua bocah perempuan, Nina dan Ani, berdamai dengan kejadian tragis di jalan. Diceritakan, “Di depan mereka, terkapar Anto di atas jalan. Di dekatnya, sepeda motor dan pengendaranya terbanting.” Anto semulanya gembira melihat layangan putus, tapi dia tidak sadar jalan yang ditembus dengan tiba-tiba sering tidak siap menerima “kesewenangan” langkah riang bocah. Anto tidak sadar bahwa jalan adalah wilayah mobilitas publik dengan segala aturan yang tak boleh diterobos.

Terutama di kota-kota besar, para pengguna jalan yang tidak memiliki akses kendaraan, strategi, dan mental harus siap diumpat, disalahkan, ataupun ditabrak. Sastrawan dan pengamat urban Seno Gumira Ajidarma (2015) mengatakan bahwa penyeberang jalan di Jakarta nyaris selalu “melihat kendaraan yang lewat sebagai ancaman”. Jalan bukan hanya tempat melintas bagi keangkuhan modernitas beralas mesin-mesin, tapi juga ancaman sosial, politik, bahkan fisik-jiwa.

Terkadang ada tawaran berdemokrasi di jalan dengan menghentikan laju mobil demi memberi kesempatan para penyeberang, meski justru membingungkan. Ekspresi dan lagak manusia di jalan ini justru rentan dicurigai, sebagai awal kriminalitas, karena memang hampir tidak ada pengendara memberi kelonggaran buat sesama. Jalan kota tidak seperti jalan kampung yang masih menjadi ruang solidaritas; anak-anak kecil bersepeda atau ibu-ibu mendulang anak sambil mengobrol di sore hari.

Dan dari sinilah, kota-kota yang merasa sudah membangun slogan “Kota Ramah Anak”, harus benar-benar yakin telah memiliki jalan yang tepat dan selamat. Jalan tidak hanya berarti mulus dan lebar, tapi juga jalan yang mampu mencipta watak para pengguna untuk saling memberi rasa aman bagi orang lain. Di jalanlah, anak-anak tidak hanya belajar dari rambu yang tertera pada tiang atau papan, tapi juga dari nyawa hidup tubuh-tubuh dewasa di dalam motor, mobil, bus, angkot, atau truk. Anak belajar berempati, bertoleransi, dan tertib agar selamat dari pengendara-pengendara jalanan. 

Kepentingan personal, entah demi pamrih kesibukan kerja, mengejar target setoran, ketidaksabaran, atau bahkan gaya hidup ugalan selalu jadi alasan utama untuk merampas trotoar, ngebut, mengumpat, menyerobot lampu merah, atau berkonvoi. Semua ini adalah hal-hal yang sangat merisaukan orangtua para bocah terhadap jalan modern beraspal. .

Kita patut memikirkan bahwa banyak anak melihat kesemrawutan itu. Mereka bisa saja terlanjur terbebani memori bahwa jalan adalah pusat segala keburukan yang cepat mengontaminasi bahkan menghancurkan jiwa. Di jalan, hanya ada kecelakaan dan kematian yang sia-sia. Secara sosial pun, masyarakat menganggap bahwa anak yang berkeliaran di jalan raya apalagi pada jam bersekolah sering dicap sebagai anak nakal atau berbahaya.

Lantas, bagaimana dengan para bocah penyeru “om telolet om” yang justru girang di tepi jalan? Kejadian masif ini seolah memang menyampaikan perayaan bagi anak-anak yang tidak nyaman lagi berada di rumah, sekolah, atau kampung. Mereka mungkin sering ditinggalkan orangtua bekerja atau menonton sinetron. Ke jalan bisa meretakkan kesunyian diri. Para bocah bertekad menjadi penonton jalan yang berhasil memotret kebahagiaan kecil, menggenapi kodrat anak-anak sebagai penggandrung suara.

Tentu, akan ada episode seorang bocah memaknai jalan sebagai metafora. Jalan adalah pengembaraan imajiner yang mengantarkan pada impian-keberanian menjelajah dunia, melihat rupa negeri-negeri asing di pelosok jagat, dan menjadi pembelajar tentang keragaman. Mereka sadar berbagi di dunia di antara miliaran manusia dengan antologi perjalanan hidup masing-masing. Inilah jalan pembelajaran bagi para bocah sejak masih belia sampai tua. Dimulai dari jalan yang amat dekat di keseharian, jalan yang tepat akan menjadi wilayah penempaan hakikat jalan hidup beramal sosial bahkan jalan spiritual.

Tulisan ini diikutkan lomba "Air, Sanitasi, dan Jalan"~Infrastruktur untuk Kita Semua~

#InfrastrukturKitaSemua

Beradu di Jalan Raya (dok. pribadi, 11 April 2017)

Jalan Kampung di Tanon Lor, Colomadu, Karanganyar, Jateng (dok. pribadi, 11 April 2017)

Bagikan Artikel Ini
img-content
Setyaningsih

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Anak-Anak yang Belajar di Jalan

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
img-content

Buku, Konferensi, dan Anak

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler