Judul: Seribu Senyum dan Setetes Air Mata
Penulis: Myra Sidharta
Tahun terbit: 2015
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tebal: xvi + 328
ISBN: 978-979-709-919-0
Seribu senyum saya dapatkan saat menjelajahi artikel-artikel dalam buku ini. Memang ada setitik air mata saat menemukan kisah sedih yang dideskripsikan sedemikian rupa. Myra Sidharta memang piawai berkisah. 52 artikel yang dikumpulkan dalam buku ini sudah pernah terbit di bebagai media, seperti Kompas, Jakarta Post, Intisari, Mutiara dan Matra. Namun, meski artikel-artikel tersebut sudah pernah diterbitkan, membaca ulang secara sekaligus memberikan kenikmatan sendiri. Sebab dengan membaca tulisan-tulisan ini secara serentak membuat saya mendapatkan seribu senyum dan setetes air mata.
Membaca artikel-artikel dalam buku ini membuat saya tak bisa berhenti sebelum lembar terakhir. Kalimat-kalimatnya lancar, contoh-contohnya nyata, karena beliau menemukan gagasan untuk tulisan dari berbagai cara dan sebelum menulis beliau melengkapi denga riset. “Kalau di dalam mobil saya jarang tidur dan jarang ngobrol. Baca di mobil saya tidak bisa. Jadi saya lihat kanan kiri...,” demikian pengakuan beliau tentang salah satu cara untuk mendapatkan ide yang bisa ditulisnya. Saya yakin yang dimaksud riset dalam hal ini bukan saja memburu informasi secara instan dari perpustakaan atau dari internet, tetapi termasuk juga dari ingatan beliau dari buku yang dibacanya, percakapan dengan koleganya dan pengalaman hidupnya yang secara otomatis tersimpan dalam benaknya. Menyaksikan informasi-informasi tersebut muncul dalam artikel saya membayangkan bahwa kapasitas otak Ibu Myra Sidharta adalah seperti mesin google yang bergerak cepat memberikan tautan yang diperlukannya. Pada atikel “Pos Sampah”, Moy (nama panggilan beliau) memadukan pengalamannya sendiri, pengalaman RA Kartini dan Sigmund Freud tentang bagaimana pentingnya menulis surat.
Tema-tema sehari-hari yang biasanya kita anggap biasa, di tangan Moy menjadi sebuah renungan yang menohok. Analisis dari sisi psikologi, sosial dan antropologi saya dapati saat mengunyah kata-kata yang terangkai dalam paragraf-paragraf Ibu Myra. Artikel beliau tentang Ibu Suryo, Moy menggunakan pendekatan psikologi untuk menggambarkan bagaimana sebuah kehilangan bisa menjadi sebuah pendorong yang dahsyat untuk berbuat. Tokoh Dr Valentino dimunculkan untuk menjabarkan analisis psikologi dalam beberapa artikel.Pandangan-pandangan beliau terhadap perubahan perilaku, khususnya di Ibu Kota, menunjukkan bahwa beliau mempunyai pisau sosial yang sangat tajam. Contohnya dalam artikel “Romantika Istri Konglomerat”. Kejelian pengamatan beliau, khususnya dalam hal makanan, diakui oleh Bondan Winarno “lebih ngantropolog dari antropolog”. Cerita beliau tentang tahu dalam artikel “Penyerbuan Tahu yang Tersembunyi” menunjukkan kepakaran beliau dalam ranah antropologi. Demikian juga dengan artikel-artikel lain yang berhubungan dengan makanan peranakan.
Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.