x

Iklan

margaretha diana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Generasi Kartini Masa Selfi

semakin hilangnya peran ibu sebagai contoh, pendidik tentang kebaikan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Bulan April telah memasuki penghujung hari, tapi rasa-rasanya perdebatan tentang Kartini, tak jua usai. Sepertinya, semakin kesini, stiap tahunnya, perdebatan tentang kepahlawanan Kartini, akan terus bertambah ramai.Selalu saja ada cerita dan pergunjingan, tentang pantas tidakkah seorang Kartini dianggap menjadi seorang pahlawan gerakan emansipasi wanita, lalu menggugat seorang tokoh Kartini, kenapa harus Kartini, mengapa hanya Kartini. Sementara pada kenyataannya banyak pejuang wanita dari negeri ini yang berjuang mengangkat senjata melawan pemerintah kolonial. Sedangkan Kartini, perjuangannya “hanya sebatas” menulis surat kepada para sahabatnya, yang kebetulan orang Belanda, dan juga sahabatnya ini, kebetulan juga, kok ya mau-maunya mengumpulkan surat Kartini, menjilidnya, menjadikan sebuah buku, yang kemudian hari, terkenal dengan judul, Habis Gelap Terbitlah Terang.

Jika menemukan tulisan semacam itu, beserta banyak argumen tentang kepahlawanan para wanita perkasa pembela nusantara, saya hanya mampu tersenyum.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ah bangsa ini, apa sih yang tidak diperdebatkan?

Apa sih yang tidak dibikin “riweuh”?

Apa sih yang tidak jadi bahan pertengkaran, yang pada akhirnya hanya ad hominem, hla wong pada akhirnya, hanya seperti pepesan kosong, “rebutan balung bebek” alias ndak ada yang mau ngalah, merasa paling benar, grandeur yang condong ke sebuah waham.

Celakanya, kaum perempuan, seringkali justru menjadi yang paling ‘rame’ membahas tentang kepahlawanan Kartini, yang, menurut banyak pendapat, seharusnya bukan dia-lah yang hari lahirnya pantas diperingati, sebagai pejuang emansipasi.

Padahal, saat kita bicara Kartini, maka tak jauh-jauh pula dari kata emansipasi, kesetaraan gender yang dikeluhkannya, diimpikannya bisa dirasakan oleh banyak kaum wanita, yang, bukan melulu pula, tentang kesempatan bersekolah, tapi juga bersuara sebagai wanita, yang sejak dahulu, memang seringkali dianggap hanya sebagai “konco wingking”, yang area kekuasaannya tak lebih dari sumur, dapur dan kasur.

Anggaplah itu memang tidak penting, tentang siapa yang seharusnya diangkat menjadi pahlawan emansipasi wanita. Toh pada kenyataannya, apa iya, seorang Kartini, dari sebuah kota kecil di pesisir pantura, pernah bermimpi, jika surat-surat keluh kesahnya bisa membawa dirinya, diangkat menjadi salah satu pahlawan nasional? Lagipula, yang mengangkat Kartini sebagai pejuang emansipasi wanita, juga pemerintah to, lalu, kenapa harus menggugat Kartini, tidak menggugat pemerintah?

Tapi, lepas dari segala kontroversi “tahunan” tentang Kartini, saya sendiri cenderung berpendapat sama dengan Brigham Young, yang dikenal juga dengan julukan American Moses, bahwa,

“ When you educate a man, you educate a man. But when you educate a women, you educate generation.”

Ya, pada dasarnya, sebuah keluarga, yang menjadi motor penggerak utamanya adalah perempuan. Tanpa perempuan, sebuah keluarga tidak utuh terbentuk, karena dari rahim perempuanlah sebuah kehidupan bermuara, dan perempuan pula-lah, yang, bukan hanya menjadi orang pertama yang mengenalkan cinta pada generasi selanjutnya, tapi juga pada akhirnya perempuan pula-lah, yang menorehkan kalimat pertama, di buku putih kehidupan yang bernama anak.

Yang sayangnya pula, banyak perempuan sekarang, yang juga kebablasan dalam mengartikan kesetaraan gender. Kebebasan yang didapatkan dengan banyak perjuangan, seolah kadang hanya seperti boomerang. Banyak perempuan, yang pada akhirnya abai terhadap apa arti emansipasi, abai terhadap etika, yang sayangnya, justru hal itulah yang dijadikan patokan, cerminan, contoh, oleh anak-anak mereka.

Sudah biasa, pada ghalibnya, para emak berdaster ngerumpi, ngobrol apa saja pada saat belanja sayur. Tapi yang luar biasa adalah, para emak yang sibuk bermedsos tanpa filter, yang asik bergunjing tentang segala macam topic, dan tak lupa dibumbui oleh kata-kata manis semacam ‘bangsat’ dan ‘asu’, sementara si anak melotot membaca obrolan ibunya. Belum lagi jika para “ibu” tersebut terus menerus membahas tentang curiga, kebencian dan olok-olok yang cenderung berbau doktrin dengan embel-embel bahwa kelak Tuhan akan menghukum kita jika kita tidak mengiyakan atau melakukan sesuai apa kata mereka.

 

Apa iya, Tuhan sekejam itu?

Apa mereka pernah bertemu Tuhan?

Atau, apakah karena surga yang disematkan berada di telapak kaki para perempuan yang menyandang gelar ibu, hingga mereka berhak memakai Tuhan sebagai tameng?

Kemudian jadi sebuah elegi yang lucu, saat masih banyak yang membahas tentang patut tidaknya Kartini diangkat menjadi pahlawan nasional, dengan ’stempel’ pahlawan emansipasi, sebuah persoalan yang tidak penting, mengingat itu hanya bersifat simbolik, bukan dasar atau falsafah sebuah negara.

Sementara ada yang lebih urgent, tapi justru dianggap seolah tidak ada, yaitu para perempuan yang sibuk ’selfi’ kebobrokan mereka dimana saja.

Ya, inilah wujud emansipasi kebablasan, saat hak bicara kemudian justru dipakai untuk memaki-maki, juga menghasut orang. Padahal, Kartini, dalam suratnya, hanya mengeluh, tak pernah memaki atau menghasut orang. Tjoet Nyak Dien, sibuk mengangkat senjata mengusir Belanda dari tanah rencong hingga dibuang di Sumedang. Nyai Ahmad Dahlan, telaten mengajari para perempuan, hingga membentuk perkumpulan Aisyiyah, juga mengajarkan para santri perempuan tentang Catur Pusat, karena menurut beliau, perempuan yang terdidik, yang tahu unggah ungguh, gampang diajak maju, juga sebagai kunci dilahirkannya generasi yang berkepribadian utuh. Jadi, emansipasi macam apa yang ditiru? Saat dengan mudahnya memanfaatkan teknologi, hanya untuk menebar kebencian, menghasut, juga pada akhirnya, menghasilkan generasi-generasi pembenci, penghasut, yang juga jelas tanpa etika moral maupun logika. Dan repotnya, sudah begitu pun, mereka tak enggan memamerkannya tidak hanya di dunia maya, tapi di dunia nyata.

Apa harga sebuah selfi, semahal itu?

 

“ Semenjak ia menerima anak di dalam rahimnya, maka sembilan bulan lamanya,selagi pergi, datang, duduk dan tidur, ia selalu dikelilingi penderitaan. Ia tak lagi mencintai makanan, minuman, atau pakaian seperti biasa, dan hanya memprihatinkan keselamatan kelahiran...”

Nukilan Sutra Cinta Agung Orang Tua diatas, selalu saja terbayang saat berbicara tentang perempuan, yang mempunyai gelar agung, ibu. Kita adalah perempuan, anak-anak alam, dimana kunci kehidupan dan kebaikan, bagi generasi selanjutnya ditumpangkan di bahu kita. Apa pantas kita mengajarkan pada anak-anak kita, membenci, melukai, bahkan membunuh orang lain yang juga anak-anak seorang ibu?

Akhirnya tetap tersisa banyak pertanyaan, terutama adalah tentang para perempuan, para ibu, yang sepertinya banyak melupakan tokoh wanita dalam sejarah yang memperjuangkan kesetaraan gender untuk bisa dinikmati oleh generasi setelah mereka. Seperti satu pertanyaan yang sering menggelitik telinga dibawah ini,

“Apa pantas, seorang perempuan, seorang ibu, yang identik dengan yang namanya cinta dan kasih sayang, yang selalu diibaratkan sebagai sumber cinta, hanya demi eksistensi diri, enggan menjaga lisan, enggan menjaga tingkah laku, dan melupakan kodratnya sebagai ibu, yang juga contoh bagi anak-anaknya?”

 

 

Ikuti tulisan menarik margaretha diana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB