Agar dapat bekerja dan menunaikan tanggung jawab tugasnya kepada masyarakat, pers dan para jurnalis di dalamnya memerlukan kebebasan. Oleh sebab itu, pers yang bebas selalu didengung-dengungkan di manapun dan disebut sebagai prasyarat bagi berlangsungnya demokrasi. Hari Kebebasan Pers Sedunia diperingati untuk mengingatkan semua pihak ihwal prasyarat itu.
Di saat peringatan seperti ini, orang banyak mengenang kembali para jurnalis yang berkurban nyawa dalam menunaikan tugasnya. Di banyak negara, termasuk di negeri ini, jurnalis dapat meregang jiwa tanpa pernah terungkap siapa pelaku dan dalang kematiannya. Mereka wafat bukan di medan perang tatkala peluru ataupun senjata apapun dapat menyasar mereka tanpa pandang bulu.
Mereka yang kematiannya dikenang kembali itu meninggal karena mereka diketahui persis tengah menjalankan tugas tertentu untuk masyarakatnya. Mereka memang dipilih sebagai sasaran. Lebih dari mewujudkan kebebasan pers, para jurnalis ini berjuang untuk menegakkan keadilan. Inilah warisan berharga mereka: ketika yang lain sukar bersikap adil, para jurnalis ini berusaha menegakkannya dengan pena.
Pers yang adil berpulang kepada jurnalis yang adil, sebab merekalah yang bekerja—sejak menentukan informasi yang akan disampaikan kepada masyarakat, sudut pandangnya, sumber-sumber informasinya, hingga bagaimana informasi itu ditulis atau dikemas dalam tayangan audio-visual. Mereka menyaring mana yang akurat dan tidak, mereka menakar apakah tulisan mereka sudah berimbang atau belum, mereka yang memilih mana yang harus dikutip dan tidak.
Para jurnalis punya kekuatan besar dalam memengaruhi persepsi masyarakat terhadap sebuah peristiwa—dan inilah yang membuat sebagian pihak sanggup melakukan apapun untuk membungkam jurnalis, termasuk mematikannya jika dianggap perlu. Di sisi lain, bila jurnalis meloloskan begitu saja kabar menyesatkan tanpa mau menjernihkan lebih dulu duduk perkara sebuah isu, dampaknya bisa luar biasa.
Kekuatan besar itu mesnyaratkan sikap adil para jurnalis dalam melakukan aktivitasnya sedari awal. Tidak mudah, memang. Sebab, jurnalis mungkin terperangkap dalam kepentingan pemilik modal yang menguasai perusahaan media tempatnya bekerja—kepentingan bisnis maupun politik. Jurnalis barangkali juga sukar melepaskan diri dari kecondongan tertentu dalam menanggapi sejumlah isu. Lawan kebebasan pers dan jurnalis bukan hanya dari kekuasaan di luar sana--termasuk dari masyarakat sendiri, melainkan juga bibit-bibit yang dapat tumbuh dalam ekosistem pers dan para jurnalis sendiri.
Itulah tantangan yang dihadapi jurnalis untuk bersikap adil, yang di belakangnya ada syarat untuk bersikap mandiri terlebih dulu. Tanpa kemandirian sesungguhnya tidak ada kebebasan untuk menghimpun dan menyampaikan informasi kepada masyarakat, sebab langkah kaki jurnalis diikat oleh kepentingan-kepentingan terbatas. Tanpa kemandirian sungguh sukar mewujudkan pers yang mampu bersikap adil dalam menyikapi persoalan masyarakat.
Disadari atau tidak, sikap tidak adil ini muncul dalam pemberitaan yang tidak berimbang, dalam pengemasan tulisan atau tayangan audio-visual, dalam pemilihan sudut pandang, dalam penulisan judul berita, penentuan sumber-sumber informasi, hingga pemilihan foto yang dipublikasikan. Kecanggihan para jurnalis dalam mengemas penyampaian informasi untuk mengusung kepentingan tertentu atau keberpihakan tertentu berpotensi membuat tindakannya tidak adil. Keadilan inilah yang diperlukan untuk kebaikan masyarakat.
Pers dan jurnalis yang bebas diperlukan, termasuk kebebasan dari para pemilik modal maupun kecondongan berlebihan yang bersifat personal. Namun, lebih dari pers dan jurnalis yang bebas dan mandiri, dibutuhkan pers dan jurnalis yang adil karena di tangan mereka tergenggam kekuatan besar untuk memengaruhi masyarakatnya. **
Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.