x

Kondisi bangunan wisma atlet yang terbengkalai di Desa Hambalang, Bogor, 19 Maret 2016. Proyek wisma atlet dengan anggaran Rp 1,17 triliun ini dinilai telah merugikan negara Rp 461 miliar akibat kasus korupsi. TEMPO/Lazyra Amadea Hidayat

Iklan

Tasroh

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Strategi Antikorupsi Proyek Strategis

Proyek ‘mangkrak’ kategori PSN sebagian besar adalah ’warisan' rezim sebelum Jokowi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Akhirnya pemerintah menambah daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) dari sebanyak 225 pada penetapan proyek hasil rapat koordinasi bidang perekonomian menjadi 244 proyek yang mencakup 15 sektor dengan nilai Rp 580 triliun lebih (Kompas, 7/4/2017).

Tambahan daftar PSN tersebut tentu saja disatu sisi menunjukkan bahwa pemerintah terus mengembangkan inovasi berbagai agenda pembangunan yang kian massif dan menyeluruh di berbagai sektor/bidang kehidupan guna kian menjawab kebutuhan dan dinamika tuntutan publik secara luas, tetapi sekaligus menambah daftar kekhawatiran akan realisasi proyek yang sesuai target namun terbebas dari kegaduhan korupsi, kolusi dan nepotisme.

Hal mana lantaran dari pengalaman selama ini baik di era presiden Joko Widodo (Jokowi) atau pun rezim sebelumnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa di tengah gencarnya pemerintah melaksanakan berbagai jenis proyek strategis nasional, di kala itu pula mudah menjadi hotbed korupsi khususnya kategori suap, mark up, gratifikasi dan pencucian uang yang sering menghiasi hampir setiap proyek nasional digelar.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Indonesia Corruption Watch (ICW) pada periode 2004-2016 mencatat bahwa proyek-proyek negara yang sering disebut sebagai Proyek Strategis Nasional, sering dengan mudahnya menjadi sarang para pejabat, birokrat dan politisi serta pengusaha nakal untuk menggasak, menyelinap, mengerat dan menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangannya ‘mempermainkan’ anggaran proyek-proyek staregis tersebut. Kisah paling gres adalah kasus E-KTP dimana sejak fase perencanaan anggaran terlihat para wakil rakyat berani ‘bancakan’ dana proyek E-KTP hingga merugikan keuangan negara mencapai Rp 2,3 triliun.

Setali tiga uang dengan rumitnya realisasi proyek pembangunan pembangkit listrik sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dimana 5 proyek PLTU senilai Rp 2,9 triliun kini dipastikan ‘bermasalah’ karena menjadi ajang permainan elite birokrasi dan partai politik. Cerita ‘horor’ korupsi pun dipastikan akan terus terjadi mengiringi derasnya proyek strategis nasional ke depan.

Di era Presiden Jokowi, PSN bahkan kian gencar digenjot! Tidak hanya jumlah proyek staregis nasional yang terus bertambah seiring tuntutan publik dan kebutuhan rakyat, tetapi juga banyak diajukan oleh sejumlah kementrian/lembaga bahkan hingga BUMN dan Pemda. Terkini ada tambahan 44 PSN justru banyak berasal dari BUMN dan Pemda. Ini artinya disamping menambah panjang daftar PSN tetapi sekaligus kian panjang daftar potensi penyelewengan dan penyalahgunaan jabatan, kekuasaan dan anggaran negara yang harus diwaspadai sejak dini.

Padahal pengalaman membuktikan bahwa meskipun pemerintah melalui aparat penegak hukum sudah bekerja keras dengan melakukan ‘inovasi’ regulasi dan kebijakan terkait upaya pencegahan korupsi dalam setiap pelaksaan PSN, fakta menunjukkan bahwa ternyata kian canggih dan ‘inovatif’ pula para pengerat anggaran negara itu melakukan taktik untuk melakukan tindakan pelanggaran hukum.

Untuk alasan inilah, nampaknya pemerintah khususnya Presiden Jokowi melalui jajaran penegak hukumnya butuh strategi khusus anti korupsi dalam PSN yakni strategi anti korupsi sejak dari fase perencanaan (program/kegiatan dan anggaran), pelaksanaan program/kegiatan/anggaran hingga fase evaluasi dan tindaklanjut (feedback) secara terintegrasi dan tuntas sehingga agenda PSN tidak hanya benar-benar beroperasi sesuai target dan tujuan pemerintah, tetapi sekaligus dapat dijauhkan dari laku dan tradisi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang merupakan penyakit turun-temurun yang hampir selalu hadir dalam setiap agenda PNS selama ini. Pertanyaanya bagaimana mendesain strategis anti korupsi dalam agenda PSN kini dan ke depan?

Modus ‘Pemangkrakan’ Proyek

Potensi dan peluang KKN dalam agenda PSN itu bukan hal yang mustahil lantaran prooyek-proyek itu tidak hanya memiliki marwah untuk terjadinya aneka kecurangan, penyelewengan dan laku koruptif lainnya, tetapi juga terlihat seksi karena nilai proyek secara ekonomi dan sosial yang tergolong wah. Bayangkan dana sebesar Rp 580 triliun itu tidak hanya membuat banyak pihak ‘ngiler’ untuk terlibat didalam pengalokasian, tetapi juga berpeluang untuk dibuat ribet dan ribut dalam pembelanjaannya.

Untuk alasan terakhir itulah, hasil ‘evaluasi’ (sementara) atas PSN pada periode 2016, BPK justru masih menemukan banyaknya ‘keganjilan’ dalam realisasi proyek yang masih berkutat pada persoalan klasik yaitu rendahnya penyerapan anggaran di satu sisi, dan masih banyaknya pelaksana proyek (mulai dari pejabat pengguna anggaran, pejabat pembuat komitmen, pejabat pelaksana teknis kegiatan) hingga kian langkanya alternatif pihak ketiga sebagai eksekutor PSN itu sendiri. Akibatnya fatal! Tidak hanya target realisasi proyek yang masih rendah sesuai jadwal yang telah dicanangkan dalam perencanaan proyek, tetapi juga kian banyaknya PNS yang berkategori ‘mangkrak’. Yakni PSN yang sudah didanai dalam fase perencanaan, riset dan eksplorasi, (yang sudah menghabiskan rata-rata 1/3 anggaran proyek—red), ternyata ditengah jalan tak bisa dilanjutkan tanpa sebab-musabah yang dapat dipertanggungjawabkan. Proyek ‘mangkrak’ kategori PSN itu sebagian besar justru ’warisan rezim sebelumnya’, sehingga berpotensi merugikan negara mencapai Rp 9,1 triliun (Koran Tempo, 6/4/2017).

Untuk alasan tersebut, pemerintah perlu lebih waspada dengan modus ‘pemangkrakan’ PSN demikian jika hendak melanjutkan dan atau menambah daftar PSN di masa datang. Hal mana lantaran bukan tidak mungkin masih banyak pejabat/elite kekuasaan gaya lama yang hanya menjadikan PSN sekedar sebagai lalu lintas tambahan penghasilan mereka tanpa serius dan tuntas merealisasikan PNS sesuai target pemerintah (khususnya target presiden Jokowi). Modus dan alibi ‘pemangkrakan’ PSN mulai banyak terkuak dan lama dianggap sekedar kesalahan teknis dan perencanaan, tetapi jika ditelisik lebih jauh, bukan tidak mungkin sebagai modus baru guna menghilangkan jejak para mafia koruptor dari berbagai lini.

Karena diakui dengan ‘pemangkrakan’ demikian, secara administrasi anggaran, dana negara tetap bisa dikeluarkan dengan alasan ‘proyek sedang berjalan’ dan dikala itulah, korupsi dapat berseliweran dengan berbagai motif. Di sisi lain, ‘pemangkrakan PSN’ juga dinilai sebagai cara efektif mengelabuhi aparat penegak hukum sehingga akan kian memperpanjang dan mempersulit pengungkapan nilai korupsinya.

Untuk alasan inilah, strategi anti korupsi yang harus dikembangkan haruslah strategi yang bersifat kolaboratif yakni sejak dari awal perencanaan hingga evaluasi PSN melibatkan lintas stakeholders. Untuk alasan itu pula pemerintah melalui Presiden tidak hanya perlu segera melaksanakan amanat Perpres No. 3/2016 dan Inpres No. 1/206 tentang Percepatan Pelaksanaan PSN untuk mengejar target realisasi fisik dan keuangan an sich, tetapi juga mendesak dikeluarkannya rambu-rambu kebijakan anti KKN dalam PSN tersebut secara lebih rinci.

Hemat penulis, problem terbesar biang PSN ‘mangkrak’ dan rawan KKN (dan mungkin akan menghasilkan kualitas proyek buruk—red) adalah masih munculnya aneka ‘ketakutan’ pejabat dan semua jaringan PSN (khususnya di level eksekutif dan pengusaha—red) untuk segera menuntas seluruh agenda PSN. Ketakutan itu terlihat kian menjadi-jadi bukan hanya karena pengalaman rekan-rekan sejawat yang selama mudah dipersoalkan secara hukum, tetapi juga kesulitan mengambil peran dan pembuatan keputusan yang memuaskan semua pihak terutama pihak-pihak elite/jajaran partai politik yang dengan berbagai dalih menebar teror eksekutif guna melibatkan mereka dalam setiap agenda PSN baik sejak masa perencanaan dan permohonan persetujuan anggaran di legislatif atau pun ketika eksekutif mencari pihak ketiga sebagai ‘pelaksana proyek’ yang sering diarah-arahkan kepada pengusaha yang memiliki afiliasi atau ikatan bisnis dengan partai politik dan jejaringnya.

Oleh karena itu, strategi anti korupsi yang harus dikembangkan setidaknya memiliki tiga karakter yakni pertama, pelibatan dan pendampingan aparat penegak hukum dan jajaran pemeriksa keuangan sejak dari awal perencanaan proyek sehingga dapat mencegah laku korup; kedua, penetapan acuan daftar nilai tertinggi harga-harga spek barang-jasa yang akan dipergunakan (sehingga mencegah mark up karena daftar harga itu dapat diakses di pasaran umum—red) dan ketiga pengawasan kolektif termasuk keterlibatan pengusaha sendiri sebagai pihak yang selama ini menjadi ‘perantara’ laku korup dalam agenda PSN.

Di sisi lain, untuk kelancaran dan kesuksesan PSN ke depan, pemerintah perlu segera merevisi UU No. 30/2004 tentang Administrasi Pemerintahan yang selama dikenal sebagai ‘perangkap’ bagi para pejabat dalam eksekusi PSN karena rumit dan banyaknya tuduhan yang tidak berdasar hingga menyebabkan banyak pejabat lebih baik tak merealisasikan proyek ketimbang harus setiap saat diperkarakan secara hukum. Revisi UU Adminsitrasi Pemerintahan itu setidaknya harus Pertama, mampu merombak kebijakan ‘diskresi’ pejabat yang dalam kondisi tertentu diberi keleluasaan untuk melakukan inovasi tanpa harus menerabas aturan hukum sehingga mempercepat realisasi PSN. Kedua, jika selama proses PSN ditemukan kesalahan administrasi keuangan (yang bukan dalam makna konspirasi-kolusi—red), aparat penegak hukum tak perlu tergesa-gesa melakukan tindakan hukum sebelum terjadinya klarifikasi yang dapat dipertanggungjawabkan sehingga tidak membuat kegaduhan baru seperti selama ini. Terakhir, PSN butuh inovasi cepat dan karenanya aparat hukum tidak bisa sembarangan ‘mengadili kebijakan’ yang memang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum pula. Penulis yakin jika hal-hal diatas diterapkembangkan dengan itikad baik dan dikawal bersama-sama semua pihak tanpa sakwasangka berlebihan, PSN tak hanya akan menjadi media ‘revolusi mental’ agenda pembangunan nasional, tetapi sekaligus cara patas pemerintah mewujudkan janji-janjinya seperti yang tergambar dalam Nawacita. Akhirnya PSN menjadi jawaban cepat dan tuntas kebutuhan rakyat dan pemerintah menuju Proyek Strategis yang anti korupsi!

Semoga!**

Oleh: Tasroh, S.S.,MPA,.MSc

PNS-Pejabat/Ahli Pengadaan Barang dan Jasa Pemkab Banyumas dan Alumnus Ritsumeikan APU, Japan

Ikuti tulisan menarik Tasroh lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan