x

Ilustrasi jempol menyentuh ponsel. shutterstock.com

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tumpah-ruah Informasi, Berkah atau Kutukan?

Banjir informasi tidak membantu warga awam memahami isu-isu yang rumit, melainkan malah membikin bingung.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Bila harus bersandar, di tengah banjir informasi yang tak henti-henti ini, manakah yang harus kita pilih? Atas dasar apa pilihan itu? Memeriksa kebenaran suatu informasi, berita, ataupun kabar yang lalu-lalang di situs-situs internet dan media sosial memang penting. Sayangnya, kita menghadapi tantangan prioritas tentang apa yang harus kita kerjakan hari ini.

Bagi korporasi, data dan informasi semakin penting. Pelaku bisnis besar, khususnya, berbicara ihwal menggali harta karun dari timbunan data—big data. Tak heran bila banyak perusahaan mencari data scientist untuk menemukan mutiara ini. Setidaknya, jasa eksplorasi big data menjadi bertambah populer.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lewat eksplorasi ini, para data scientist dapat menemukan pola-pola tertentu terkait, misalnya, pola perilaku konsumen di bisnis barang-barang konsumsi cepat laku (fast moving consumer goods). Mereka berusaha memahami produk apa yang sedang diminati, berapa ukurannya, harga jual berapa yang paling menarik konsumen, di wilayah mana tarikan pasar paling kuat.

Lewat pemahaman atas big data, perusahaan lebih paham apa yang dimaui konsumen hingga perilaku pembelian mereka. Perusahaan dapat mengunjungi langsung konsumen melalui jalur internet—situs yang tengah dibuka seseorang lewat laptop-nya, atau langsung ke smartphone-nya—dan menawarkan produk tertentu. Perusahaan kini mampu memasuki ruang privat seseorang, bahkan tanpa mengetuk pintu terlebih dulu.

Di ranah politik, lalu lalang informasi di media online maupun cetak, televisi, cuitan di twitter, hingga hasil-hasil survei menjadi big data pula untuk kepentingan berbeda. Trending topic jadi bagian penting untuk dianalisis oleh konsultan media dan politik—dua ranah ini sekarang kerap menyatu, sebab keduanya dianggap semakin saling memengaruhi.

Para kontestan gubernur, bupati, walikota, hingga presiden maupun anggota parlemen berkepentingan terhadap peta politik. Mereka sanggup membayar konsultan untuk memetakan situasi politik dengan memilah-milah mana informasi yang dapat dipegang kebenarannya dan mana yang palsu. Mereka juga dibantu untuk menyusun strategi meringkus kompetitor politik.

Warga awam, yang tidak berasosiasi secara bisnis maupun politik dengan pihak atau kepentingan tertentu, terpaksa mengerahkan kemampuan sendiri untuk memahami apa yang sedang terjadi. Data dan informasi banyak, tapi warga awam menemui kesukaran untuk melihat polanya. Dibombardir informasi melalui berbagai kanal, warga mudah tersesat jalan karena keliru mengambil kesimpulan. Warga awam tak punya data scientist maupun konsultan yang dapat memberi pertimbangan.

Informasi datang silih berganti, dalam kepingan-kepingan, berganti-ganti topik, berbeda-beda sudut pandang, sehingga sukar bagi awam untuk segera memperoleh ‘gambar besar’ mengenai apa sebenarnya yang sedang terjadi. Dalam situasi politik yang relatif panas, kompetisi cuitan twitter berlangsung begitu cepat, media memberitakan berbagai isu yang relevan juga begitu cepat. Awam yang tidak kukuh pendirian akan mudah terombang-ambing.

Kecepatan perubahan informasi membuat kita sukar mencernanya dengan baik. Informasi mudah terdistorsi karena melewati sekian ‘tangan’ dan rawan dimanipulasi untuk kepentingan siapapun. Informasi memang tersedia sangat banyak di mana-mana, begitu pula dengan mis-informasi dan dis-informasi. Banyak informasi membuat kita tersesat karena kehilangan konteks.

Kita, sebagai awam, akan mudah tersesat karena dengan cepat melahap setiap kabar sebagai kebenaran tanpa kita cukup punya waktu untuk memeriksanya lebih dulu. Sayangnya pula, respons emosional cenderung reaktif dan berlangsung lebih cepat ketimbang respons kognitif. Argumen bisa eksplosif dan pengargumen dapat agresif.

Banjir informasi, pada akhirnya, memang mendatangkan keuntungan bagi sebagian pihak, tapi membikin lebih banyak orang terbata-bata menanggapi perubahan sosial. Informasi yang terlampau banyak tidak akan membantu kita dalam memahami isu-isu, terlebih lagi yang rumit, dan membuat kita semakin bingung.

Ibarat menyantap hidangan, kita makan terlampau banyak, bukan hanya porsinya tapi juga ragam menunya. Jelas, ini tidak sehat bagi kebanyakan orang. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan