x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ingatan dalam Sepasang Sepatu

Sepatu yang kita pakai memengaruhi kesadaran kita terhadap lingkungan dan konteks.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Berapa pasang sepatu yang kamu punya, sepuluh, kurang, atau lebih? Saya punya dua pasang: satu kulit imitasi dan satu sneaker—saya tidak yakin apakah sneaker sebutan yang tepat untuk sepatu yang terbuat dari karet, bukan hanya alasnya, tapi seluruhnya. Tanpa kanvas, suede, ataupun nilon. Juga tanpa tali.

Di musim hujan, saya merasa aman memakai sepatu karet, tak risau akan rusak dimandikan air dan lumpur, seperti jika memakai sepatu kanvas atau kulit. Bila ada yang berpendapat bahwa sepatu merupakan identitas diri, biarlah ia berkata begitu. Sekalipun bila ada yang ngomong bahwa sepatu adalah perlambang status, biarkan juga.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Semakin mahal sepatu, semakin bergengsi; begitu dikatakan. Di musim hujan, mungkin kita memilih menyimpan sepatu mahal di rak ketimbang mengajaknya menemani kita melewati trotoar yang basah atau jalan yang becek berair; tentu saja, jika kita lebih sering berjalan kaki ketimbang naik sepeda motor atau apa lagi bermobil. Pilihan untuk memakai sepatu mahal serba terbatas, maksud saya cuaca begitu berpengaruh saat kita lebih banyak di ruangan luar.

Dengan sepatu karet bermodel ‘kekinian’ (istilah yang hingga kini masih sukar saya cerna), saya bebas berjalan ke manapun. Nyaman. Tidak ada keluhan. Bila kotor, saya tinggal membasuh, melap, dan mengeringkannya. Mudah. Sederhana. Oh ya, saya kira juga ada aroma kejujuran—sol trepes; tanpa sol tinggi yang membuat pemakainya terlihat lebih jangkung. Sepatu karet terasa lentur, memudahkan saya bergerak.

Ketika datang ke perjamuan, kamu mungkin memilih sepatu high heels agar tampak gimana begitu—di tahun 70an, cowokpun sering memakai sepatu berhak tinggi bukan dari jenis yang runcing ujungnya. Masalah timbul, ketika acara berlangsung di lantai dua bangunan klasik tanpa ada lift sebab keberadaan mesin lift dianggap hanya membuat gedung itu kehilangan nuansa klasiknya. Kamu pun terpaksa naik tangga dengan sepatu berhak tinggi, sembari menghitung jumlah anak tangga lantaran ingin lekas sampai ke lantai atas: “Satu, dua, tiga .....”

Itu tadi sekedar ilustrasi bahwa sepatu kadang-kadang mengandung kontradiksi di dalamnya, antara bentuk, fungsi, dan tujuan. Ketika kita mengejar bentuk, penampilan, kesan yang ingin kita persepsikan kepada orang lain, kita berpeluang kehilangan fungsinya sebagai alas kaki yang nyaman dan aman. Memang tidak selalu demikian. Secara medis, keseringan memakai high heels dengan tujuan tubuh terlihat lebih tinggi, potensi bahaya bagi tubuh kita akan muncul. Fungsi kalah oleh tujuan dan bentuk.

Sepatu itu emosional. Tubuh mengingat berbagai hal melalui sepatu—ada pertautan antara sepatu dan otak melalui saraf kaki. Sepatu menyimpan memori atau sepatu mengingatkan kita kepada sesuatu—benda, tempat, peristiwa. Sepatu lama membawa saya berjalan-jalan ke mana saja, menyusuri gang dan trotoar, menjadi tumpuan ketika melompat, kawan saat berlari mengejar bis, hingga akhirnya solnya jebol—ingatan tentang masa lalu ketika mencari pekerjaan untuk pertama kali. Sepatu jebol mengingatkan saya ketika pulang dari tes masuk perguruan tinggi, di tengah jalan solnya menganga.

Terkadang sayang membuang sepatu yang sudah tidak bisa diperbaiki lagi, sebab itu berarti membuang kenangan. Tapi, diperbaiki pun susah, banyak perbaikan yang harus dilakukan—menjahit dan mengelem, kelihatan sederhana tapi butuh keahlian bila ingin hasilnya bagus. Sementara itu, kalaupun tetap disimpan, akan membikin semakin sumpek ruangan di rumah yang sempit. Heurin, kata urang Bandung.

Tak selalu kenangan menyenangkan. Gambar sepatu lars yang kuat dan kukuh mengingatkan saya pengalaman berinteraksi dengan kekuasaan—mereka yang masa mudanya berada di paruh akhir 1970an dan awal 1980an mengalami situasi ini. Ada semacam nuansa hegemoni di dalam sepatu lars, dominasi, dan kekuatan yang kekar. Melihat sepatu sejenis itu, saya merasa ada kekuatan yang sedang mengawasi. Begitulah, kekuasaan mengalami translasi ke sepatu.

Sepatu yang berbeda, misalnya sepatu boot dari bahan karet mencerminkan pekerjaan lapangan—orang-orang pabrik, pekerja di kebun dan sawah, maupun orang yang menghabiskan banyak waktu di pembangunan infrastruktur. Dalam konteks seperti ini, bentuk, fungsi, dan tujuan sepatu mesti berjalan seiring. Penonjolan bentuk dan pencapaian tujuan keindahan akan membahayakan penggunanya. Jenis pekerjaan ditranslasikan kepada jenis sepatu.

Benda apapun, termasuk sepatu, pada akhirnya memiliki peran yang tidak kalah penting dibandingkan manusia. Di antara sepatu, manusia pemakainya, manusia lain, benda lain, maupun pekerjaan yang dijalani berlangsung interaksi. Meskipun sepatu dianggap ‘benda mati’, ia memengaruhi manusia—secara fisikal, neuromuscular (saraf-otot), kesadaran akan konteks, maupun posisi dalam interaksi dengan manusia dan benda lainnya. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB