x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tremor Kesepian yang Perih dan Artistik

Laing mengajak kita memahami kesepian manusia melalui pendekatan baru—memadukan pengalaman pribadi dan tafsir atas karya visual.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Andai aku bisa menangkap perasaan itu, aku akan melakukannya; perasaan akan nyanyian dunia nyata, karena seseorang tergerak oleh kesepian dan keheningan dari dunia yang bisa dihuni.”

--Virginia Woolf

 

Judul Buku: The Lonely City: Adventures in the Art of Being Alone
Penulis: Olivia Laing
Penerbit: Picador
Edisi: 2016
Tebal: 315 hlm
 
Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dari balik apartemen yang menjulang, malam terlihat tengah menapaki puncaknya. Kota memperlihatkan diri bagai deretan sel. Ada ratusan ribu jendela di sana, sebagian telah gelap, sebagian masih diguyur cahaya: hijau, putih, keemasan. Orang-orang asing sibuk dengan urusan masing-masing: menonton teve untuk membunuh malam, berpesta anggur, atau berkencan penuh gelisah dengan insomnia. Kamu bisa melihat mereka, tapi tak bisa menjangkau mereka.

Seperti apa kesepian itu? “Itu terasa bagaikan lapar: seperti lapar ketika setiap orang di sekelilingmu tengah mempersiapkan pesta,” tulis Olivia Laing. “Rasanya memalukan dan mencemaskan, dan seiring waktu perasaan ini kian menguar, membuat orang yang kesepian semakin terisolasi, semakin terasing.” Terjebak dalam ‘tremor kesepian’.

Datang ke New York City dari London, Laing ingin menyembuhkan luka hatinya, tapi ia justru mendapati diri terhempas ke dalam ruang kesepian. Berpindah-pindah kamar sewa menyeret Laing menuju kedalaman esensi kehidupan urban: kesepian di tengah hiruk-pikuk manusia. Kesepian tak mesti mensyaratkan kesendirian, tapi lebih karena tidak menemukan keakraban: “Bagaimana kita hidup bila tidak berhubungan dengan manusia lain? Bagaimana kita berhubungan dengan orang lain bila kita tidak merasa mudah untuk saling berbicara?”

Selama periode terendah kehidupannya di NY City, Laing hanya menonton video musik di Youtube, meringkuk di sofa dengan headphone di telinga, mendengarkan berulang kali rintihan yang sama: Billi Holiday melantunkan gubahan atas puisi Abel Meeropol, Strange Fruit, dan Arthur Rusell dengan Love Comes Back-nya. Bersedih bukanlah kejahatan, Laing.

Hingga kemudian kesepianpun kian mengusik. “Ada hal-hal yang membakar tubuhku, tak hanya sebagai pribadi, tapi juga sebagai warga abad kita,” tulis Laing. Ia tergerak untuk mencari tahu lebih jauh segi-segi kesepian manusia urban melalui pengalaman dirinya sendiri maupun dengan menelisik tema-tema kesepian dalam karya seni. Laing bertanya-tanya, apakah teknologi—yang kini jadi bagian hidup keseharian manusia—memang membantu dalam mengusir kesepian. “Apakah teknologi menarik kita lebih dekat satu sama lain atau malah menjebak kita di balik layar?”

Semua itu membingungkan dan mengusik Laing, kognitif maupun emosional. New York City tak pernah tidur, walau tak berarti penghuninya tidak merasa kesepian—atau justru itu manifestasi kesepian. Laing tak mampu terus berpura-pura merasa nyaman. Ia merasa seperti perempuan dalam lukisan Edward Hopper. “Kanvas-kanvasnya,” tulis Laing, “mereplikasi salah satu pengalaman inti kesepian: perasaan terpisah, tercerabut, berbaur dengan perasaan terpapar tak tertanggungkan.”

Kesepian telah lama jadi subyek penulis, pembuat film, pelukis, dan penggubah lagu, tapi Laing berminat pada seni visual sebagai jalan pemahaman ihwal kesepian. Pengalaman Laing menemukan kesenyawaan kimiawi dengan lukisan Hopper, juga karya beberapa seniman lain, termasuk Andy Warhol. Mula-mula Laing membuka pintu rahasia ke dalam karya seniman ini, lalu memasuki kehidupan mereka, dan kemudian menjadikannya penerang bagi pengalamannya sendiri—sebuah investigasi artistik sekaligus refleksi diri.

Laing menulis: “Seni Warhol bergerak di antara orang-orang, melakukan penyelidikan filosofis terhadap kedekatan dan jarak, keakraban dan keterasingan. Seperti kebanyakan orang yang kesepian, Warhol adalah tukang timbun yang berurat-berakar, mengelilingi diri dengan benda-benda, menjadikannya penghalang melawan tuntutan akan keintiman manusia.”

Lukisan, instalasi, foto, film, dan pertunjukan David Wojnarowics, tulis Laing, fokus pada ‘bagaimana individu mampu bertahan di dalam masyarakat antagonistis’—kesepian di tengah keramaian. Karya lukis Henry Darger, bagi Laing, ‘bertindak bagai penangkal petir bagi ketakutan dan fantasi orang lain tentang isolasi dan aspek potensi patologisnya’.

Melalui tafsirnya atas lukisan Hopper, Warhol, dan figur lainnya, Laing membukakan dinamika ruang kesepian bagi pembacanya. Ia mengajak kita memahami kesepian manusia melalui pendekatan baru—memadukan pengalaman pribadi dan tafsir atas karya visual.

Kesepian dan kesendirian mungkin begitu dekat, meski tidak mesti sama. Blaise Pascal, orang Eropa yang hidup di abad ke-17, pernah berujar: “Seluruh persoalan kemanusiaan berawal dari ketidakmampuan manusia untuk duduk tenang di ruang sendirian.” Tiga abad kemudian, Andrei Tarkovsky—orang Rusia, pembuat film—berbagi nasihat: “Belajarlah menikmati kesendirianmu.” Abad ‘sosial segalanya’ menjadikan ‘the art of solitude’ tampak menjadi semakin sukar untuk didapat, bahkan menakutkan. Manusia masa kini semakin gelisah, di tengah keramaian kota kesepian semakin mencekam. Manusia urban teperangkap dalam paradoks.

Berjalan di antara memoir, renungan, dan tafsir, Laing mengeksplorasi upaya manusia urban membebaskan diri dari perangkap kesepian untuk menghuni kembali ruang kepercayaan dan cinta. Bagi Laing, karya Warhol dan seniman lain ‘telah mengobati rasa sepiku, memberiku rasa akan keindahan potensial dalam deklarasi yang jujur bahwa seseorang itu manusia dan, karena itu, (ia) subyek yang dibutuhkan’.

“Kesepian, rindu, bukanlah berarti seseorang telah gagal, melainkan bahwa seseorang itu hidup,” tulis Laing seakan ingin melakukan sejenis ‘pembelaan diri’. Betapapun, ia menawarkan perspektif khas yang membuat buku ini menarik untuk dibaca. Meluncur dari bayang-bayang malam kota New York, The Lonely City mengirim kemilau gelap, bergerak di antara rasa terpikat, penasaran, amarah, dan keasyikan merasakan kesepian manusia urban yang pedih sekaligus artistik. (sumber foto: pexels.com) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Penumbra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terpopuler

Penumbra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu