Ilusi Kemerdekaan Kampung Kota di Bandung
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBPenggusuran Kampung Kolase dengan dalih kepentingan taman kota (teras cikapundung) oleh walikota Bandung, Ridwan Kamil tidak membuat warga merdeka.
Foto : Frans Ari Prasetyo (Kampung Kolase Bandung : 13 Okt 2015)
Alih-alih warga kampong kota diberikan skema-skema kreatif dan inovatif , misalnya dalam bentuk revitalisasi kehidupan termasuk revitalisasi pemukimannya agar tidak tercerabut memori kolektif historisnya dan akses ekomoninya, karena warga kampong-kampung kota banyak yang telah bertahun-tahun bahkan telah beralih generasi menempati ruang-ruang ini. Warga kampong kota malah disodorkan skema-skema normatif pembangunan, yaitu relokasi yang lebih halus dari penggusuran dengan atau tanpa kekerasan.
Apa yang terjadi di Kampung Kolase di kota Bandung merupakan bentuk nyata dari ilusi hak warga atas kota. Warga di rekolasi atas dasar hukum dan kepentingan pembuatan taman kota (ampliteater/teras cikapundung) dan dalih peruntukan Ruang Terbuka Hijau. Warga kampong sadar bahwa pemukimannya memang tidak memiliki landasan payung hukum perihal kepemilikan lahan, walaupun area tersebut telah ditempati warga sejak tahun 1970an dan telah beralih genarasi hingga saat ini. Apakah skema kepemilikan lahan tidak bisa diupayakan apabila warga telah menempati lahan tersebut dalam rentang kurun waktu tertentu ?. Perampasan kehidupan warga kampong kota melalui sudut pandang legalitas hukum tidak sepenuhnya benar, karena ternyata hukum juga memberikan celah untuk warga berhak memiliki dan menempati lahan dengan syarat-syarat tertentu, bukankah itu salah satu poin yang dimaksud dengan kemerdekaan (hak) warga kota.
Warga Kampung Kolase, akhirnya menerima skema relokasi dengan beragam pertimbangan teknis dan juga mengindahkan aspek psikologis, kultural dan memori kolektif. Relokasi yang disertai dengan 14 poin aspirasi warga yang telah disepakati bersama. Pemukiman kampong yang dibangun dengan keringat kerja keras warga secara bertahap dan bertahun-tahun untuk sekedar bertahan hidup dihancurkan tanpa kompensasi nilai harga bangunan. Memang tidak semua bangunan di Kampong Kolase ini bernilai ekonomis dan permanen tapi tidak sedikit juga terdapat bangunan yang bernilai ekonomis dan permanen, semua dipukul rata harus dihilangkan.
Namun relokasi yang dijanjikan memang terjadi tetapi tidak sepenuhnya mulus, karena ke-14 aspirasi tersebut mayoritas belum terpenuhi secara keseluruhan oleh pemerintah. Warga kembali ditempatkan dalam status illegal karena penempatan relokasi belum ada landasan hukumnya. Warga bisa terusir kapan saja, jika terjadi peralihan kekuasaan kota dan perubahan pembangunan kota. Tidak ada jaminan untuk hal tersebut.
Selain itu, Warga disudutkan melalui penghilangan sumber-sumber penghidupan ekonominya. Basis ekonomi yang selama ini menjadi tulang punggung daya survive warga di mutasi ke tempat relokasi tanpa ada kompensasi dan sosialisasi agar tidak saling berebut dengan sumber-sumber penghidupan warga lainnya di tempat tersebut. Belum lagi perubahan akses pendidikan, kesehatan dan lainnya yang memerlukan perhatian serius dari pemilik kekuasaaan dan kuasa kebijakan publik (warga) kota (Bandung).
Kemerdekaan yang diharapkan warga dengan cara bersikap kooperatif ternyata bertabrakan dengan dengan kekuatan kuasa pembangunan (kota), apalagi jika warga bersikeras untuk bertahan dengan atau tanpa kekerasan, maka niscaya daya tawar warga semakin tipis bahkan hilang seiiring hilangnya kampong-kampung kota ; kampong kolase.
Frans Ari Prasetyo | Urbanist
Tulisan ini pertamakali diterbitkan (des/2015) di : http://membunuhindonesia.net/2015/12/ilusi-kemerdekaan-kampung-kota/
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Arsitektur Masjid Al Jabbar Plagiat?
Senin, 14 Agustus 2023 15:35 WIBDari World Bank ke Global Land Forum: dari Setan Kredit ke Setan Tanah
Sabtu, 15 April 2023 07:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler