x

Iklan

Flo K Sapto W

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

LGBT di Ruang Publik

Sikap Publik terhadap Hak-Hak Dasar LGBT

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

LGBT di Ruang Publik   

Oleh: Flo. K. Sapto W.

 

Jumat (30/06), Parlemen Jerman menyetujui diberlakukannya perundangan yang memperbolehkan pernikahan sesama jenis kelamin. Di samping itu pasangan yang menikah sesama jenis juga dibenarkan secara hukum untuk mengadopsi anak. Persetujuan ini sendiri merupakan perjuangan panjang setelah pada 2001 para lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di negerinya pembalap F-1 Michael Schumacher berasal itu diperbolehkan berkumpul dan berserikat (nytimes.com, 30/06).

Sejauh ini, keberadaan LGBT memang masih mengundang pro-kontra. Sejumlah pihak dengan tegas menolak eksistensinya di ruang publik, teristimewa karena secara norma agama telah menegasikannya. Adapun pihak lain masih permisif sebatas sebagai kebutuhan untuk diakui keberadaannya. Bagaimana sebaiknya publik menyikapi hal ini?

Salah satu prinsip kepedulian universal yang agaknya bisa disepakati bersama adalah tidak adanya diskriminasi, termasuk terhadap LGBT. Contoh menarik dari adanya putusan pengadilan yang menentang diskriminasi terhadap LGBT di ranah sosial adalah dalam film Philadelphia (1993). Film yang ditulis oleh Ron Nyswaner itu terinspirasi dari kisah nyata Geoffrey Bowers dan Clarence B. Cain. Diskriminasi yang terjadi adalah PHK terhadap karyawan yang mengidap HIV/AIDS. Andrew Becket (Tom Hank) diyakini lalai tidak menyiapkan sejumlah dokumen sehingga dipecat dari firma hukum tempatnya bekerja. Seorang pengacara, Joe Miller (Denzel Washington), akhirnya bisa membuktikan bahwa Andrew Becket memang dipecat karena mengidap HIV/AIDS. Alasan pemecatan itu secara hukum dianggap tindakan diskriminatif.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Judit Takács (2006) dalam penelitiannya yang berjudul Social Exlusion of Young LGBT People in Europe (www.salto-youth.net) juga menemukan fakta-fakta diskriminasi lainnya. Di dalam penelitian yang  disponsori oleh ILGA Europe (The European Region of The International Lesbian and Gay Association) dan IGLYO (International Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Queer Youth and Student Organisation) itu terdapat perlakuan diskriminatif terhadap LGBT di beberapa institusi sosial, seperti lingkungan teman (29.8 %), komunitas (37.7 %), keluarga (51.2 %), dan terbanyak justru di sekolahan (61.2 %). Sehubungan dengan dua persentase terbesar diskriminasi terhadap LGBT adalah justru di rumah / keluarga dan sekolah, maka bisa dimengerti jika di kedua institusi itulah berbagai kepedulian terhadap isu-isu LGBT banyak disuarakan. Lalu bagaimana institusi keluarga dan pendidikan sebaiknya menyikapi LGBT?

Institusi keluarga sudah selayaknya menyikapi anggota keluarganya yang termasuk dalam LGBT secara bijak. Sebab banyak survei membuktikan penolakan terhadap keberadaannya justru berakibat negatif. Caitlin Ryan (2009), Direktur di Family Acceptance Project, San Fransisco State University memberikan pemaparan berbagai akibat dari penolakan itu (nccc.georgetown.edu). Perbandingannya adalah dengan anggota LGBT yang diterima keberadaannya oleh keluarga. Bagi LGBT yang ditolak oleh keluarganya, mereka berpeluang 8 kali lebih  besar untuk bunuh diri. Mereka juga 6 kali lebih besar untuk mengalami depresi. Lalu masing-masing mempunyai potensi 3 kali lebih besar untuk kecanduan narkoba maupun terjangkiti HIV.

Bagaimana dengan hak-hak LGBT di dunia pendidikan? Seturut pemetaan hak yang dirilis oleh ACLU (American Civil and Liberties Union), setidaknya ada 6 hak yang selayaknya dimiliki oleh pelajar berkategori LBGT (www.aclu.org). Pertama, hak untuk tidak mendapatkan pelecehan (harassment) baik dalam bentuk verbal sebagai bahan tertawaan (misalnya panggilan banci, lesbong, dsb.) maupun fisikal (pencabulan). Kedua, hak untuk tetap menyimpan identitas orientasi seksual (privacy). Jadi pihak sekolah dalam hal ini akan dianggap melanggar hak pribadi jika mengumumkan jati diri seksualitas pelajar LGBT tanpa seijin yang bersangkutan. Pelanggaran itu setidaknya didasarkan pada sebuah putusan pengadilan di Pensylvania tahun 1977. Saat itu, kepolisian bersikeras menyampaikan identitas seksual seorang pemuda kepada keluarganya. Akibatnya, pemuda gay itu memilih bunuh diri karena ketakutan menghadapi sikap keluarga yang bakal diterimanya. Si ibu pemuda tersebut tidak terima atas kejadian itu dan melakukan penuntutan hukum. Pengadilan akhirnya memutuskan hal itu sebagai pelanggaran terhadap hak pribadi. Ketiga, hak untuk mendapatkan kebebasan berbicara (freedom of speech). Di dalamnya termasuk kebebasan mengenakan kaos berinisial / berlogo LGBT. Keempat, hak untuk menjadi diri sendiri (transgender & gender nonconforming students). Misalnya seorang pelajar pria gay berhak mengenakan pakaian wanita atau sebaliknya dan wanita lesbi mengenakan pakaian pelajar pria. Namun kebebasan berpakaian ini bukannya tanpa batas. Sebab masih disertai ketentuan lain berdasarkan azas kepantasan. Sepanjang pakaian itu juga pantas dikenakan oleh pelajar wanita atau pria lain, maka diperkenankan. Kelima, hak untuk berserikat dan berkumpul (gay straight alliances), baik dengan sesama LGBT maupun berbagai kelompok berorientasi seksual lain. Keenam, hak untuk mengajak teman kencan sesama jenis (prom, homecoming, & other school events), misalnya dalam acara malam inagurasi, wisuda, maupun perpisahan. 

Jika diasumsikan apa yang menjadi hak LGBT di AS itu juga yang hendak diperjuangkan untuk bisa diterima publik di sini, maka beberapa diantaranya sudah akan kandas oleh peraturan normatif. Misalnya, terkait kebebasan berpakaian di sekolah, maka sejak awal sudah terganjal oleh penerapan surat pernyataan / kesanggupan bagi siswa baru untuk tunduk dan taat terhadap semua peraturan sekolah (baca = berseragam). Pihak sekolah tentu dengan defensif tidak akan memberikan ruang sedikit pun sebagai celah masuknya LGBT. Namun tentunya keprihatinan publik secara umum bukanlah sekedar pada antisipatif regulasi semacam itu. Jadi, konsep pemikiran apa yang lebih layak menjadi kekhawatiran bersama terkait LGBT?

Di dalam kajian pemasaran -tanpa dilandasi niatan untuk mengabaikan teori-teori psikologi maupun melampaui pemikiran para pakar seksologi- agaknya sisi menarik dan cukup berpeluang ‘laku dijual’ di ranah publik terkait keberadaan LGBT adalah output dari insan-insan LGBT sendiri. Kesimpulan itu setidaknya didapatkan dari pengalaman penulis selama 15 tahun lebih bekerja di sebuah lingkungan bisnis yang sebagian diantara anggotanya adalah LGBT. Salah satu contohnya adalah kreativitas dan daya cipta teman-teman LGBT yang terbukti justru cukup produktif. Bisa jadi karena mereka berada dalam zona psikologis antara feminimitas dan maskulinitas. Output-nya adalah produk-produk yang fleksibel dan acceptable untuk diterima oleh konsumen lintas jender (unisex). Contoh kongkretnya adalah dalam kreasi seni-budaya (fesyen, tari-tarian, kecantikan, desain, dsb.). Peran dan eksistensi mereka tidak bisa diabaikan lagi.

Sebagai catatan akhir, LGBT adalah sebuah realitas sosial. Sampai saat ini, setidaknya di AS, populasi LGBT cukup besar karena per 100 wanita terdapat 1 orang lesbian dan per 100 pria terdapat 2 orang gay (www.statista.com). Di Indonesia, seturut data dari Kemenkes, pada 2012 saja sudah terdapat lebih dari 1 juta gay. Secara umum sebetulnya publik tidak akan terlalu mempermasalahkan orientasi seksual seseorang selagi itu masih berada di ruang privat masing-masing. Artinya, terlepas dari LGBT sebagai sebuah pilihan hidup, hak dan kewajiban sosialnya tetaplah sama. Akses mereka terhadap berbagai fasilitas umum (pendidikan, kesehatan, pekerjaan) tidak boleh mendapat perlakuan diskriminatif. Demikian juga sebaliknya dengan sejumlah kewajiban sosial (pajak, hukum) tidak ada pengecualian. Hanya saja, mulai menjadi perkara ketika orientasi seksual itu menimbulkan korban kekerasan seksual. Kiranya hal inipun berlaku sama dan setara terhadap insan non-LGBT. Jadi bagamana sebaiknya: tetap aman di ruang pribadi atau cenderung go public? Biarlah masing-masing pribadi dengan kedewasaannya sendiri-sendiri menjawabnya.

Penulis adalah praktisi pemasaran, pekerja sosial di Lembaga Pembinaan Persiapan Perkawinan (1993 – 2002).

Ikuti tulisan menarik Flo K Sapto W lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB