x

Kepala pelayan meletakkan papan nama bertuliskan Presiden Donald Trump sata mempersiapkan meja makan untuk makan siang kenagaraan antara Presiden AS Donald Trump bersama sejumlah undangan dan anggota Kongres usai upacara pelantikan Donald Trump menja

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Belajar Selalu Melayani

Kemauan untuk belajar melayani orang lain akan memperkaya diri.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Saya ingin berbicara sedikit perihal kegiatan yang barangkali banyak orang kurang menyukainya: melayani orang lain. Dalam konteks positif, melayani dapat berarti beraneka: membuat orang lain senang, menjadikannya merasa nyaman, memudahkan urusannya, berbagi pengetahuan agar orang lain bertambah pintar dan piawai, dan banyak lagi.

Membuatkan secangkir kopi panas bagi tamu dengan tangan sendiri adalah melayani, jadi mengapa harus meminta pertolongan asisten untuk melakukan tindakan yang mulia seperti itu? Ya, memuliakan tamu. Menyeduhkan secangkir teh atau memasakkan mie rebus bagi keponakan yang sedang lapar karena letih belajar mestikah jadi keengganan?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Apakah melayani sesuatu yang sukar jika membuat orang lain merasa terbantu?

Baiklah, barangkali Anda terlampau sibuk dari hari ke hari. Bila siapapun ditanya: ‘Bagaimana Anda menghabiskan waktu setiap hari dan setiap minggu?’ Salah satu jawabannya mungkin seperti ini: sekian jam bekerja di kantor, pabrik, restoran, toko, atau tempat kerja lain, dan sekian jam sisanya di rumah, serta sebagian lagi habis di jalan. Ada pula yang akan menambahkan: sekian jam lagi untuk hang-out atau bertemu klien.

Hidup seperti itu niscaya rutin. Bagi sebagian yang lain, hidup menjadi lebih menarik ketika mereka mengambil kesempatan untuk menjadi relawan dalam organisasi nirlaba atau aktivitas sosial yang tak terkait organisasi apapun. Orang-orang ini, di antaranya kawan saya, selalu berusaha mengalokasikan sebagian dari waktu yang dimilikinya (365 x 24 jam per tahun) untuk melayani orang lain.

Apa yang ia kerjakan? Kawan saya memanfaatkan kepiawaiannya sebagai seorang chef agar orang lain semakin pintar memasak. Dua minggu sekali ia, dibantu 2-3 teman, mengajak ibu-ibu tetangga untuk memasak bersama. Dalam kesempatan seperti ini, ia berbagi kepintaran dalam mengolah bahan masakan menjadi hidangan lezat.

Kawan saya ini menyadari, di era seperti sekarang, kita mudah kehilangan sentuhan hidup bertetangga di dunia nyata (maupun di dunia virtual—pertengkaran berlangsung di media sosial). Pagi-pagi berangkat bekerja, petang atau malam pulang ke rumah, karena lelah kita lebih suka tinggal di rumah. Ketemu tetangga mungkin ketika kerja bakti tingkat RT. Jam kerja yang panjang dan melelahkan membuat kita menghindari kesempatan menjadi voluntir.

Tapi kawan saya ternyata mampu menyukai aktivitas sosial di luar pekerjaannya. Lewat acara memasak bersama, kawan saya memetik sejumlah pelajaran menarik.

Pertama, ia belajar berbagi pengetahuan dan ketrampilan memasak. Ia tidak takut ilmunya dikuasai orang lain dan orang itu menjadi bertambah pintar. Ia percaya, dengan berbagi pengetahuan, ia juga menjadi lebih pintar. “Berbagi (sharing),” kata teman saya, “ternyata harus dibiasakan bukan hanya dalam konteks bekerja.”

Kedua, sebagai pekerja ia memang terbiasa melayani ‘konsumen internal’ dan ‘konsumen eksternal’. Konsumen internal ini misalnya manajer yang menjadi atasannya atau pun pemilik usaha tempatnya bekerja. Konsumen eksternal, tentu saja, para tamu yang mengunjungi restoran tempat ia bekerja.

Tapi, mengajari ibu-ibu memasak merupakan jenis ‘melayani’ yang berbeda, sebab tidak dalam konteks bekerja, tidak ada urusan dengan bisnis restoran. Ini merupakan aktivitas voluntir yang tidak mendatangkan uang (bila ini yang dicari). Beruntung, kegiatan ini mendatangkan sesuatu yang berharga—membuat orang lain senang memasak, lebih pintar mengolah bahan, dan bareng-bareng menyantap hidangan.

Ketiga, ia memperoleh kepuasan yang berbeda saat mengajari ibu-ibu ini dibandingkan dengan saat melayani tamu restoran, walaupun melayani tamu restoran juga menyenangkan. Kepuasan dan kebahagiaan ia rasakan manakala ibu-ibu itu menceritakan bagaimana ‘seisi rumah’ makin menyukai masakannya setelah mereka mempraktekkan kiat memasak enak.

Keempat, ia mendapatkan pengalaman mengorganisasikan kegiatan sosial. Pengalaman kepemimpinan ini berbeda dengan yang ia dapatkan di tempat kerja yang umumnya sudah dipatok oleh aturan main tertentu. Kegiatan memasak bareng memiliki aturan yang longgar, sehingga dibutuhkan sikap saling mengerti. Tak ada perintah, melainkan persuasi dan ajakan.

Kelima, dengan melayani orang lain berarti ia melatih diri untuk mengurangi ego sendiri. Ia sekarang lebih mampu mendengarkan pendapat orang lain, memahami kebutuhan orang lain, dan mendahulukan kepentingan orang lain.

Semua manfaat tersebut menambahkan dimensi yang tidak bisa diberikan oleh pekerjaan (resmi) kepada dirinya. Aktivitas bersama ibu-ibu itu mengisi kekosongan yang tak bisa dipenuhi oleh dunia kerja yang lazimnya dilandasi oleh hubungan formal (rekan satu tim, atasan-bawahan, antar-bagian, server-client, dst.).

Kawan saya merasa puas bahwa sebagian waktunya mampu ia alokasikan untuk aktif dalam membangun relasi sosial yang bersifat melayani—dalam pengertian berbagi pengetahuan dan ketrampilan, membahagiakan, serta membantu orang lain menemukan kekuatan positif dalam dirinya. Apakah semua ini bermanfaat saat ia berada di tempat kerja? Tentu saja, bahkan bagi kehidupan pribadinya. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler